Chapter 4 - Bab 04

1 minggu kemudian...

"Masih belum ada perkembangan?" tanya Erick kepada suster yang bertugas bergantian mengontrol Soully.

"Belum, Dok," jawab suster yang sudah selesai mengecek kondisi Soully lalu ia pamit pergi meninggalkan ruangan.

Terdengar bisik - bisik di luar saat suster itu keluar lalu bertemu rekan - rekan se-profesinya.

"Sst..memangnya siapa perempuan yang ada di dalam itu? Dokter Erick begitu memperhatikannya, di setiap saat di setiap waktu, dokter Erick tak pernah sekalipun absen hanya sekedar menemuinya, mengecek perkembangannya, bahkan rela berjaga dan tidur di kamar itu untuk menemaninya," tanya salah satu rekan suster itu penasaran.

"Entahlah, aku rasa perempuan itu kekasih dokter Erick."

"Dokter sedingin itu punya kekasih? Apa kamu percaya?" cibir salah satu suster itu.

"Tapi selama ini dokter Erick tak pernah berlaku sebaik dan seperhatian itu dengan pasiennya. Hanya kontrol lalu pergi. Tidak kepada perempuan itu, terlihat jelas dokter Erick begitu khawatir dan menyayanginya," jelas suster yang lain.

"Iya bahkan ini sudah satu minggu tapi perempuan itu belum sadarkan diri. Beruntung dia selamat dari maut dan hampir saja dokter Erick menyayat tubuhnya untuk mengambil jantungnya. Kurasa itu yang membuat dokter Erick begitu memperhatikannya, karena jika dia benar - benar mengambil jantungnya, maka kesalahan fatal seumur hidupnya akan ditanggungnya," jelas suster lain bergosip.

"Tentu saja, karena dia akan di anggap melanggar kode etik kedokteran, mengambil paksa hidup seseorang hanya untuk transplantasi," sambung suster yang lain.

"Tapi apa kalian tahu? Keluarga tuan Dikra marah besar karena merasa dipermainkan. Untung saja dokter Erick begitu tegas."

"Dan sungguh beruntung perempuan itu. Mendapat perhatian dokter Erick...Ughhh..." ucap salah satu suster yang lain dengan mukanya yang tersipu - sipu karena terbawa perasaan.

"Lagipula perempuan itu memang begitu cantik saat dilihat dari dekat. Cantik natural. Dulu waktu wajahnya penuh darah memang ngeri, tapi dokter Erick begitu telaten membersihkan darah - darah kering di tubuhnya dengan hati - hati."

"Bahkan dokter Erick sendiri yang merawat semuanya. Memakaikan pakaiannya dan setiap hari menyeka tubuhnya untuk membersihkannya. Kita sebagai para suster dilarang menyentuhnya. HARUS dia sendiri yang melakukannya. Padahal dia pria dewasa yang mengurus seorang gadis, tak ada kecanggungan sama sekali. Jadi, aku rasa perempuan itu memang spesial."

"Oh...Aku ingin sekali di perlakukan seperti itu...bikin iri saja..."

Gosip para suster pun, terus berlanjut entah sampai di mana.

***

Erick memang menjaga dan merawat Soully dengan penuh perhatian. Dipandanginya terus wajah Soully seakan semua lelah dan penatnya hilang hanya dengan melihat wajah Soully yang begitu menenangkan hatinya.

Tak terasa sinar matahari yang menyinari jendela kaca di ruangan Soully sudah mulai redup. Erick menjetikkan jarinya lalu gordyn penutup kaca jendela tertutup dengan sendiri, dia mengedipkan mata menyalakan lampu tidur di samping tempat tidur Soully. Erick adalah 'orang spesial' sama halnya dengan Yafizan.

"Hai, gadis mungil..." lirih dokter Erick mengajak Soully bicara. Dipegangnya tangan mungil Soully lalu ia mengelus wajahnya perlahan.

"Apa kamu bermimpi indah? Tidurmu sangat nyenyak dan begitu lama. Aku ke sini untuk memberitahumu. Maafkan aku, karena besok aku ada tugas ke luar kota dan tak bisa menemanimu," sedihnya.

"Apa kamu tak keberatan? Tapi aku janji aku akan segera menemui dan mengurusmu kembali secepatnya. Dan kamu harus berjanji, saatku kembali kamu akan bangun dari mimpi indahmu lalu menyebutkan namamu dan memanggil namaku, Erick White," sambung dokter Erick berbicara yang tanpa ada respon apapun dari Soully. Di usap - usapnya tangan Soully ke sisi pipinya yang tampan lalu ia mengelus rambut kepala Soully dengan lembut.

***

Keesokan harinya di apartement Yafizan

"Apa kau sudah dapatkan informasi, bagaimana perkembangan terbaru soal gadis itu?" tanya Yafizan yang masih menyelidiki Soully diam - diam.

"Dia masih koma. Dan entah sampai kapan dia akan sadar," jawab Rona datar.

"Keluarganya? Teman atau kerabat?"

"Kurasa dia sebatang kara. Setelah kejadian itu kudengar tak ada seorang pun yang mencarinya, menjaganya ataupun menjenguknya," terang Rona. "Tapi para suster bergosip kalau hanya satu orang yang terus merawatnya tanpa lelah. Dokternya..." sambung Rona sedikit berbisik sambil mengangkat telapak tangannya seolah tak ingin ada orang yang menguping pembicaraannya.

Yafizan terdiam. Seminggu itu dia terus kefikiran kejadian yang menimpanya. Bayang - bayang kejadian saat Tamara meninggalkannya, amarahnya yang tak terbendung sampai membuat salah satu pohon terbakar lalu tak sengaja menyakiti tangan Soully yang terkena percikan api yang dibuatnya, bahkan ia melempar uang pada Soully.

Yang paling dia ingat adalah ketika Soully mengetuk kaca jendela mobil dan mengejarnya hanya untuk menyelematkannya dari bahaya yang akan menimpanya. Hingga yang paling klimaks adalah saat mobilnya menyenggol sepedanya hingga tubuhnya tertabrak truck lalu Soully terpental jatuh ke atas mobilnya, tepat di depan kedua matanya, sangat jelas hanya terhalang oleh kaca mobil depan.

Yafizan menggeleng - gelengkan kepalanya lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang seolah tak ingin percaya atas kejadian yang menimpanya.

"Ron, antarkan aku untuk melihatnya," celetuk Yafizan tiba - tiba.

"Apa kau yakin?" tanya Rona yang hanya dijawab anggukan kepala oleh Yafizan.

.

.

.

Sepanjang perjalanan hanya suasana hening di dalam mobil berkelas mewah itu. Yafizan hanya terus memandang keluar dari kaca jendela mobilnya. Benaknya terus bergejolak, Apa yang harus dia lakukan ketika melihat Soully nanti?

"Bos, sampai kapan kau akan begini?" tanya Rona tiba - tiba membuyarkan fikiran Yafizan.

"Apa maksudmu?" Yafizan mengerutkan kening.

"Ini sudah seminggu dan kau hanya berdiam saja dalam persembunyianmu. Para wartawan masih bisa di handle, perusahaan juga sudah diatur, tapi setelah ini apa yang akan kau lakukan?" tanya Rona lagi.

Mengingat bahwa sebelumnya Yafizan sangat gila kerja. Ya, walaupun tanpa kerja sebenarnya harta Yafizan tak akan habis karena perjuangan hidupnya selama seribu tahun ini yang telah dikumpulkannya membuat dirinya seperti sekarang.

"Lebih baik aku tenggelam dan mati saja Ron," ujar Yafizan datar sambil terus menatapi pandangannya ke luar jendela.

"Huss, kau jangan berbicara seperti itu!" sanggah Rona sedikit kesal.

"Tamara sudah pergi meninggalkanku. Untuk apalagi aku bertahan di bumi ini. Bahkan sekarang kekuatanku malah tidak stabil. Waktu bersama Tamara kekuatanku masih bisa ku kontrol dengan tenang. Jadi aku yakin Tamara adalah jodoh yang tepat untukku. Dengannya bisa membuat kekuatanku kembali dan mungkin aku bisa kembali ke tempat asalku lalu bahagia bersama Tamara," terang Yafizan sambil memainkan jari - jari tanganya yang mengeluarkan jenis cahaya api yang berbeda - beda.

"Bos, jangan sampai kau membakar mobil ini hanya karena kau fikir mobilmu banyak. Ingatlah aku masih ingin hidup." Rona cemas saat melihat tingkah Yafizan.

"Dulu kesalahan apa yang aku perbuat sehingga si tua bangka itu menurunkan aku ke bumi? Aku tidak mengerti. Apa kau tahu sesuatu, Ron?" tanya Yafizan yang membuat Rona gelagapan. "Seingatku aku hanya harus bisa melindungi wanita yang aku cintai dan membuatnya bahagia. Bahkan aku rela hartaku habis jika Tamara menggunakannya untuk bersenang - senang hanya demi membuatnya bahagia dan aku pun setia padanya..." sambungnya bersedih.

"Emm...ituu...aku juga lupa lagi Bos. Hehe..."

"Aku rasa kau tahu, Ron. Kau tak usah berpura - pura." pandangan Yafizan tajam sampai ia memajukan tubuhya menatap Rona yang gugup. "Jika sudah saatnya nanti kau bisa menceritakannya padaku Ron," sambung Yafizan yang ditutup dengan menyandarkan punggungnya kembali pada jok mobilnya dengan nyaman.

"Maafkan aku, Bos. Kelak kau akan tahu dan mengingat semuanya saat kau benar - benar mencintai seseorang dengan segenap hatimu. Saat kau benar - benar rela menukarkan hidupmu hanya demi orang itu. Mungkin kau memang mencintai Tamara, tapi cinta itu hanya obsesi yang sekedar memenuhi hasrat kepenasaranmu saja. Bahkan kau tak perhatian dan masih dingin walaupun kau habiskan semua hartamu dan tetap setia untuk Tamara," ucap Rona dalam hati.

Maafkan aku yang sengaja menghilangkan sementara memori yang ingin kau ingat, dan kekuatan spesialmu karena dulu kau begitu terpuruk dan membahayakan negeri kita karena ulahmu. Tugasku adalah menemukan tulang rusukmu yang sesungguhnya. Maka semua kekuatanmu dan anugerah - anugerah spesial lainnya yang sebelumnya kau miliki akan kembali seutuhnya. Dan tentunya kau akan kembali ke tempat asalmu...

***

Setibanya di rumah sakit. Para pegawai menundukan kepalanya untuk memberi hormat saat Yafizan mulai memasuki rumah sakit tersebut. Orang - orang yang melihatnya begitu segan. Tubuh kekar dan tegaknya memang berkharisma, ditambah wajahnya yang tampan membuat siapapun yang melihatnya akan jatuh cinta padanya.

Terlebih semua suster - suster dan para wanita di rumah sakit itu sibuk merapikan dirinya hanya sekedar ingin terlihat menarik perhatiannya Yafizan.

Yafizan yang hanya memakai kaos polos hitam dan outfit mocca-nya di padukan dengan celana jeans simple tetap membuatnya berkharisma walau dalam balutan apapun.

Tanpa bertanya, Yafizan dan Rona segera menuju ruang di mana Soully dirawat. Yafizan hanya mengintip untuk melihat tubuh Soully dari kejauhan lewat kaca pintu yang tertutup.

"Apa kau hanya akan melihat gadis itu di sini? Masuklah," sahut Rona mendorong tubuh Yafizan mendesaknya untuk masuk kedalam.

"Ayolah, bukankah kau ingin menemuinya? Aku juga ingin tahu bagaimana wajahnya," ajak Rona penasaran.

"Tunggu." Yafizan menghentikan tubuhnya menahan Rona yang terus mendorongnya masuk. "Selama ini kau tidak pernah melihatnya sekalipun?" tanya Yafizan kaget yang hanya di jawab dengan gelengan kepala karena Rona sebenarnya belum pernah melihatnya.

"Aku hanya melihatnya dari kejauhan karena terakhir kali kulihat wajahnya penuh darah dan membuatku ngeri. Masih terbayang jelas dan aku takut kalau..." terang Rona yang tak digubris oleh Yafizan.

Setelah memakai pakaian steril, mereka berdua masuk ke dalam. Dengan ragu dan berjalan perlahan mereka mendekati tubuh yang masih terbaring dengan berbagai macam selang dan infus yang menempel pada tubuhnya. Bunyi monitor ICU yang hanya menyelimuti suasana di ruangan itu.

Mereka berdua mendekat. Detak jantung Yafizan terus berdegup kencang, seolah ada perasaan aneh lagi yang mengaliri seluruh tubuhnya

"Ya Tuhan. Apa dia Nona Mayra?" seru Rona pelan bahkan terkaget - kaget tak percaya karena sosok yang dilihat ngeri ternyata secantik bidadari yang ada di alamnya bahkan Soully lebih cantik. Wajah bulat yang cantik tapi mungil itu memancarkan aura yang belum pernah dilihatnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi sehingga kau bersikeras untuk melihatnya dan ingin mengetahui kondisinya, Bos?" gumam Rona penasaran.

"Eh tapi dia bukan Nona Mayra. Ouhh...gadis ini sungguh manis..." mata Rona berbinar - binar saat melihat Soully yang walaupun terbaring tak berdaya.

Tanpa terasa bulir - bulir di pelupuk mata Yafizan menetes. Dia tak percaya apa yang dilihatnya dan tak ingin mengerti kenapa perasaannya begitu iba melihat Soully. Terngiang jelas saat Soully memanggilnya 'Paman'.

Yafizan mencoba mengingat kembali karena penasaran dengan ucapan 'Paman' itu. Dalam fikirannya terngiang suara saat Soully kecil dulu menemukannya di gudang kosong, saat Soully remaja dan saat Soully menemuinya di Hutan Taman Kota waktu itu.

Yafizan merasa pusing, tubuhnya sempoyongan merasakan sakit yang ada di kepalanya, tubuhnya lunglai hampir terjatuh namun dengan sigap Rona menahannya.

"Bos, kau tak apa? Apa sebaiknya kita periksakan dirimu, selagi kita di rumah sakit?" cemas Rona.

"Jangan bersikap bodoh!" bentak Yafizan seraya memaksakan tubuhnya untuk pergi keluar.

Rona baru ingat kalau tubuh Yafizan akan baik - baik saja. 'Bodoh' dia merutuki dirinya sendiri. Sambil memapah Yafizan keluar dan mendudukannya di kursi tunggu yang ada di luar ruang kamar Soully.

***

Keesokan harinya, Erick bergegas menuju ruang ICU di mana Soully dirawat.

Dia mendengar kalau seseorang menjenguk Soully dan masuk ke ruangannya. Bahkan dia mendengar para suster bergosip ria seakan sengaja membuat Erick cemburu.

Ya, memang benar perasaan cemburu itu begitu jelas membuat sesak di dadanya. Dengan wajah yang memerah padam seakan ingin sekali memasang keamanan yang begitu ketat agar tak boleh seorang pun menemui Soully saat ini. Hanya dia dan hanya dia.

***

1 Bulan kemudian...

Erick sedang membersihkan tubuh Soully. Disekanya perlahan dengan menggunakan air hangat dan penuh hati - hati. Dia melakukan kegiatan rutinnya selama sebulan ini. Menjaga, merawat dan menemani Soully tanpa lelah sejak dia pulang dari tugas luar kotanya. Bahkan dia menolak tugasnya lagi jika dia harus melakukan operasi darurat ke luar kota. Karena takut ada orang yang menemuinya tanpa seizinnya lagi saat dia pergi.

"Kenapa kamu masih saja bermimpi indah? Apa kamu tak bosan terus berbaring seperti ini? Lihat, aku selalu di sampingmu tapi kamu tak pernah membuka matamu untuk melihatku." Erick mengajak Soully bicara lagi.

"Kamu harus melihat, aku bisa melakukan hal yang indah dari kekuatanku. Ya, kekuatan indah saat kau memegang tanganku pertama kalinya." Erick membayangkan saat tangan Soully yang berlumuran penuh darah keluar dari penutup kain dan tanpa sengaja menyentuh tangannya.

Bukan hanya Yafizan, Erick pun serasa memiliki kekuatannya kembali. Erik menjetikkan jari - jarinya, mematikan lampu kamar lalu membuat cahaya gradasi warna dari kekuatan air yang bertebaran seolah menghiasi ruangan yang gelap itu.

Cahaya warna warni terang, dengan menjetikkan jarinya dia membuat bermacam - macam variasi bentuk dari air seolah menunjukkan keahliannya hanya untuk dilihat Soully. Namun Soully masih terkujur kaku tanpa respon dan tetap terpejam lelap...

***

Bersambung...