Satu bulan telah berlalu, Leo sudah mendapatkan izin untuk pulang, Saat siuman pertama kalinya, ia tidak mengingat siapa pun, seiring perawatan dan pemulihannya, Leo sudah diperkenalkan dengan orang tua nya.
"Mama, kita mau kemana?" Suara lembut dari Leo dengan ekspresi polos, Laren pun dengan cepat memeluk anaknya kemudian menggendongnya sambil tersenyum lebar, "Kita akan pulang ke rumah sayang, Leo bisa bermain sepuasnya di sana." Ucap Laren dengan penuh semangat.
"Beneran mah". Jawab Leo dengan wajah berseri-seri, namun dalam sesaat menjadi murung kembali, menunduk malu, dan hanya diam mengangguk.
Selang beberapa hari di rumah, Sikap Marvin mulai menunjukkan perubahan besar pada anaknya, Leo yang dulunya sangat ceria dan senang belajar kini telah berubah menjadi sosok yang murung, pendiam dan sulit memahami sesuatu.
Tidak hanya itu, di sekolah dia mulai kesulitan untuk menerima pelajaran yang diterimanya, kini dia menjadi anak biasa yang pemurung, bahkan tak mampu mendapatkan nilai bagus dan tak mendapatkan peringkat dikelasnya.
Semua guru hanya bisa mendesah khawatir, sangat menyayangkan musibah yang menimpa Leo si anak genius yang awalnya menjadi harapan sekolah tersebut.
Melihat perubahan besar yang terjadi pada anaknya, Marvin juga mulai khawatir, mimpi dan harapannya untuk memiliki anak genius kini mulai sirna.
Dengan status sosial yang tinggi dia tak ingin menjadi ejekan orang-orang, karena memiliki anak yang tergolong bodoh, seiring berjalannya waktu kasih sayangnya kepada Leo pun mulai memudar.
Pagi hari yang cerah berselimutkan kabut, Leo masih tertidur lelap di hari liburnya, terdengar suara lembut dari ibunya sembari mengetuk pintu dengan pelan, "Leo sayang sarapan dulu."
Namun tak ada jawaban dari Leo, karena saat itu dia merasa tidak enak badan, setelah dipanggil beberapa kali namun tidak ada jawaban, sentak membuat Marvin geram, dan Langsung menggedor pintu kamar Leo dengan keras, dia tidak tahu saat itu Leo sedang sakit.
"Anak Bodoh, keluar kamu jangan buat ayah marah" Bentak Marvin dengan nada keras,
"Ya pa Leo keluar." Sahut Leo dengan lemas, mengumpulkan tenaga untuk bangkit dari tempat tidurnya, dengan wajah pucat dan bibir yang terlihat pecah-pecah, ia melangkah pelan untuk membuka pintu.
"Kalau kamu tak mau keluar, makananmu papa kasih kucing saja." Sambung Marvin keras dengan penuh rasa kesal pada Leo, "Pa, jangan keras-keras, kasihan Leo." Laren terlihat khawatir, mengelus pundak Marvin agar tenang dan tidak bersikap keras lagi kepada Leo.
Saat Leo ingin membuka pintu, tiba-tiba Laren merasakan sakit yang luar biasa di perutnya, dia memegang perutnya dengan merintih kesakitan, "Aduh ... aduh perutku ... Sakit, Pa ... sakit."Teriak Laren dengan wajah pucat, tubuhnya langsung lemas dan bersandar ditubuh suaminya.
"Apakah sudah waktunya?" Dengan perasaan campur aduk, Marvin segera membawa Laren ke rumah sakit, tidak peduli lagi kepada Leo yang masih didalam kamarnya.
Pada hari Minggu pagi, Laren melahirkan bayi perempuannya yang diberinya nama 'Shin Eliana Marvin'.
"Sekarang, kamu akan menjadi harapan baru ayah." Ucap Marvin kepada Shin kecil dengan nada lembut penuh kebahagiaan dan kebanggaan.
Walaupun jauh dalam hatinya dia menginginkan anak laki-laki untuk menggantikan Leo yang menurutnya tidak bisa diandalkan lagi.
Semenjak kelahiran Shin, Leo tak lagi mendapatkan perhatian dari ayahnya, namun karena kepolosannya, dia tidak menganggap serius hal tersebut, dia masih beranggapan tidak ada yang berubah.
Waktu demi waktu telah berlalu, semenjak mendapatkan tugas di luar kota, Marvin sangat jarang pulang ke rumah, Laren mulai merasa risih, apalagi mendengar banyak cerita tentang suaminya yang sering bermain dengan wanita lain.
Suatu malam yang gelap dan dingin, "Papa ke mana saja, kenapa jarang pulang? Apakah karena wanita jalang rendahan itu?" Tanya Laren dengan suara geram yang mendalam penuh tatapan selidik.
"Aku lembur mah, mama kan tau sendiri pekerjaanku sekarang sangat banyak." Marvin dengan santai melonggarkan dasi di lehernya, tidak menganggapnya serius, semenjak saat itu pertengkaran kecil mulai sering terjadi, hingga hari itu pun datang.
"Prakkk! ... prakkk!" Suara piring pecah sentak membuat Leo terbangun, "Dasar laki-laki brengsek. Kau bajingan!" Suara keras dari Laren, "Jadi benar yang aku dengar selama ini, kamu keluar masuk kota hanya untuk main dengan wanita jalang itu di luar sana, dasar sampah." Teriak Laren dengan keras, dia tidak bisa menahan amarahnya lagi.
Sebelumnya, dia telah meminta seseorang untuk mengikuti suaminya, dan benar saja, dia telah mendapatkan banyak bukti foto ketika suaminya berkencan dnegan wanita lain.
"Jaga ucapanmu." Suara tinggi dari Marvin penuh amarah. Meskipun dia sadar dirinya salah, tapi dia adalah orang yang keras kepala dan tidak akan mau di salahkan.
Keributan itu pun kini membuat Shin kecil menangis tanpa henti, dan itu membuat Leo menjadi semakin gelisah, dengan penuh rasa khawatir ia memberanikan dirinya untuk keluar dari kamarnya dan melihat apa yang sedang terjadi.
Dia melihat ibunya dengan napas terengah-engah duduk dipojok dapur penuh linangan air mata, "Jahat ... jahat." Kata yang terus diucapkan ibunya sambil memukul kaki suaminya.
Marvin yang masih berdiri memandang dengan tajam Leo yang tiba- tiba keluar dari kamarnya, "Ahh ... Sudahlah. Kalian berdua sama saja, benar-benar bodoh." Sahut Marvin kesal, dan langsung beranjak keluar dari rumah, tanpa menoleh sedikit pun.
Dengan tubuh gemetar, Leo berlari memeluk ibunya, "Mama kenapa? Jangan nangis." Kata Leo sambil memeluk erat tubuh ibunya, hingga suara tangis sang ibu pecah tak mampu dipendamnya lagi, Leo mempererat pelukannya, tanpa sadar air matanya pun ikut menetes karena tangisan ibunya.
Selang beberapa jam, tatapan ibunya sudah menjadi kosong, seolah tidak peduli dnegan apa pun lagi, sebelumnya dia telah menelpon ayahnya, yang merupakan kakek dari Leo.
hanya berselang beberapa jam, sebuah mobil Van berhenti di depan rumah mereka, Leo melihat Neneknya keluar dari mobil, itu adalah keluarga dari ibunya yang datang, dan tujuannya untuk menjemput ibunya.
Leo yang polos belum mengerti apa pun, dia melihat ibunya keluar sambil menggendong si kecil Shin dan membawa sebuah koper berisikan pakaian dan barang-barang lainnya.
Leo langsung berlari, menangis memeluk sang ibu, "Ibu mau ke mana? Bu ... ibu, jangan pergi, jangan tinggalkan Leo." Ucap Leo menangis, memeluk kaki ibunya dengan penuh linangan air mata, sedangkan Laren hanya mengusap air matanya sambil berjalan ke arah mobil tanpa menghiraukan Leo.
Tangisan Leo semakin keras karena ibunya tidak mau berhenti, Leo kini memanggil ayahnya, "Ayah ... ayah, Ibu mau pergi, tolong hentikan." Suara keras Leo meminta bantuan ayahnya untuk menghentikan kepergian ibunya tersayang, namun ayahnya tidak berada di rumah, berkali-kali Leo terjatuh, namun terus bangkit untuk menghentikan langkah ibunya.
Semua tetangga di dekat rumahnya keluar dan dengan sigap meraih Leo yang tak mau melepaskan pelukan dari kaki ibunya, namun Leo terus memberontak hingga ia kehabisan tenaga dan hanya terbaring lemas.
Kini dia pun duduk bersandar di teras rumahnya, memeluk kedua lututnya yang tertekuk sembari menangis tanpa henti.
"Ibu jangan pergi ... Jangan tinggalkan Leo." Kata-kata yang terus diulangnya sambil melihat kepergian ibunya.
Perceraian antara orang tua Leo pun tidak bisa dihindari lagi, kini Leo hanya hidup berdua dengan ayahnya, membuatnya menjadi semakin pemurung.
Setiap saat menangis memanggil ibunya, hal yang selalu berujung kemarahan ayahnya, Ayah yang dulu sangat perhatian penuh kasih sayang kini menjadi sosok pemarah.
Hampir setiap waktu Leo selalu memikirkan dan merindukan ibunya, ia masih terus merengek, menyebut nama ibunya, terkadang keluar rumah berjalan berkilo-kilo jauhnya sambil menangis untuk mencari sang ibu tercinta, "Ibu ... ibu di mana, kenapa ibu pergi?" Kata yang terus diucapkan dalam hati kecilnya.
Hal tersebut tentu membuat Marvin murka, dan mulai melontarkan kata-kata kasar dam keras pada Leo, "Dasar anak bodoh, ibumu sudah pergi jauh, dia sudah tak mau mengurusmu lagi, kalau kau menyebut namanya lagi, awas saja! ayah tak akan memberimu makan."
Leo yang mendengar hal tersebut hanya terdiam, "Kamu dengar tidak." Lanjut Marvin keras sambil melotot ke arah anak laki-lakinya. Leo hanya mengangguk tak mampu mengeluarkan suara.
Dengan sikap ayahnya yang mulai berubah menjadi pemarah dan kasar, membuat Leo menjadi semakin pemurung, caci makian tanpa sebab dan kata-kata kasar kini menjadi makanan untuk Leo, perasaan penuh cinta kasih dari ayahnya dahulu sudah sepenuhnya lenyap.