Tiba di rumah Lusi merasa kakinya pegel dengan kehamilannya yg semakin besar membuat tubuhnya mudah capek, namun dia tetep masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Dia harus menuruti saran dokter kalo pinginnya kelahiran normal tanpa operasi caesar maka harus banyak gerak, no males, no bobok bobok terus, and makan yang sehat. Aduh gimana lagi buat si dedek sehat yang kemunculannya sudah dinantikannya bersama sang suami tercinta semua akan dilakukan.
Lusi lebih segar setelah mandi bebek hanya untuk ngilangin keringat karna aktifitas jalan jalan pagi nya, Untungnya kehamilan yang masuk bulan ke 8 baju longgarnya masih nyaman dipakai. Paling enak memang rebahan di saat tubuhnya memang mudah lelah, Lusi menerawang kembali pertemuannya dengan putri nya Putri sahabatnya di masa kuliah, dan sedikit renggang karna sikap Putri yang seakan melakukan pendekatan kembali pada suaminya, sedang mereka sekarang satu kantor yang notabene Putri selaku Ketua Prodi di tempat Ardan mengajar sebagai Dosen.
Lusi agak aneh dengan sikap yang ditunjukkan Ardan suaminya pada gadis muda yang ketemu saat jalan jalan pagi dan bertemu kembali di tempat bubur ayam, bukankah dia anak Putri temen kuliahnya, sepertinya sikap mas Ardan canggung, mudah mudahan aja hanya kecurigaan yang tanpa alasan. Sebuah hubungan akan retak berawal dari kesalah pahaman, kecurigaan, dan ketidak jujuran dari masing masing pasangan. Sebaiknya nanti saya tanyakan aja sama mas Ardan, apa Putri sudah menikah ? atau apakah saat ini Putri Janda ? wah akan sangat vulgar kalo langsung dengan kalimat sarkas. Enaknya pake kalimat, apa ya biar ndak terkesan menyudutkan, dak taulah pusing, nunggu suaminya cerita aja deh lebih aman.
Suara langkah kaki Ardan terdengar semakin mendekat ke kamar mereka, kenapa Lusi jadi deg degan padahal hanya mau nanyakan perihal remaja yang bahkan tidak banyak diketahuinya, seperti ada sesuatu yang sedang dirahasiakan suaminya, tapi benerkah ?.
Ardan mendekat menghampiri Lusi yang rebahan dengan kepala disandarkan pada dua bantal ditumpuk, "Capek, yang" Ardan mengelus perut Lusi dan mencium pipinya lembut." Jangan terlalu lelah, " Ardan menatap mata lentik yang selalu membuatnya terpesona sejak awal mengenal wanita yang sedang mengandung buah hati mereka. Ardan menoel hidung istrinya yang terlihat pesek karna tertutup kedua pipi gembul karna berat badan Lusi yang naik entah berapa kilo akibat hamil anaknya. Tangan kanan Ardan masih setia mengelus perut buncit Lusi dengan lembut mengajak bicara calon anaknya, terlihat jelas perut Lusi langsung mengerucut nampaknya baby menendang perut sang bunda,"Hei jagoan ayah, tenang sayang, nanti bundanya sakit kalo ditendang," tangan Ardan tetap mengelus perut istrinya sambil menatap mesra wanita cantik yang sedang tersenyum padanya.
"Mas, boleh tanya ndak tentang Putri," Ardan langsung berhenti mengelus perut istrinya,"Tadi anak Putri kan, sudah besar ya mas," Ardan belum menyahut pertanyaan istrinya, "Ada sesuatu yang mas tahu tentang pernikahan Putri, kenapa dengan pernikahannya mas, dia juga dulu sahabatku kan mas, masa dak boleh ngerti sih tentang nya," Lusi terus aja penasaran dengan cerita tentang Putri dan anaknya.
"Hemm," Ardan menarik nafas panjang seakan sesak di seluruh rongga dadanya langsung jantung Ardan berdetak lebih kencang, "Mas akan cerita, ". kembali Ardan menatap Lusi dengan perasaan carut marut, apakah nanti Lusi tetap menerimanya atau akan meninggalkan Ardan karna kecewa.
"Ya, tentu saja akan ku dengarkan ceritamu mas, meski bersambung sampe tiga hari tiga malam," Lusi tertawa sambil menutup mulut dengan telapak tangannya,"Mas kenapa sih, bikin penasaran tahu ndak ?" kenapa Ardan tak respon dengan candaannya, biasanya Ardan akan membalas lebih dengan guyonan. Lusi tambah bingung atas sikap dan respon Ardan yang dianggap berlebihan nanggapin kisah sahabatnya.
"Sebelum kenal denganmu, Aku dah kenal Putri duluan, sebelum aku pindah di Jogja, aku pernah satu sekolah dengan kakaknya Putri di Semarang," helaan halus menjeda cerita Ardan, ragu antara meneruskan dan menghentikan cerita yang menyangkut masa lalunya. "Apapun yang kamu denger nanti, tetaplah bersamaku," Ardan menggenggam erat tangan Lusi, menyalurkan kegundahan, seakan memastikan kalo mereka akan baik baik aja setelah ini.
"Kenapa jadi serius banget, apa Mas ada ambil bagian dalam cerita Putri ?," Lusi mulai tidak tenang, apa ada hubungan dengan kisah suaminya. Meskipun tampak samar Lusi melihat Ardan mengangguk pelan, "Mas jangan buat aku takut,"suara Lusi lirih terdengar di telinga Ardan, semakin membuatnya ciut melanjutkan cerita.
"Kejadiannya saat aku SMA dulu, aku membuat kesalahan dan ternyata Putri hamil saat kami masih sekolah, bingung tidak tahu harus apa, kemudian aku kecelakaan dan ternyata mengalami amnesia, sebagian ingatanku hilang Lus, dan keluarganya tidak tahu kalo aku pindah ke Jogja, kami hilang kontak" Ardan menatap istrinya sendu,"Aku ke Semarang mencari rumah lama Putri, dan kebenaran itu kudapatkan, aku ketemu Abi temen SMA ku dulu," Ardan menunduk tak mampu melihat wajah cantik istrinya, Lusi hanya diam menanti boom waktu atas cerita Ardan."Aku tidak kenal Putri saat kita ketemu di kuliah dulu, aku hanya mengenalnya sebagai sahabatmu," Ardan memberi penegasan kalo dia memang tidak menghindar dari tanggung jawabnya.
Mulut Lusi melongo, tak tahu harus mengatakan apa hanya berharap semoga tebakannya salah, "Jangan bilang kalo..." Lusi menarik nafas, "Gadis itu anakmu mas," mata Lusi mulai memanas tak sanggung membayangkan kekacauan pada pernikahannya. "Jawab mas," Lusi mulai meninggikan suaranya.
"Maaf, sebagian memoriku hilang, mas ndak pernah ingat kejadian lima belas tahun yang lalu, aku tahu dari Putri, maafkan aku," Ardan menangis melihat istrinya meneteskan air mata, Ardan merengkuh tubuh Lusi yang sudah beranjak dari tempat tidur ingin menghindarinya, "maaf kita cari solusinya bersama ya ?" Ardan mencoba menenangkan istrinya takut terjadi sesuatu dengan kehamilannya.
"Lepaskan aku mas," Ada banyak pertanyaan pertanyaan yang belum terjawab, kenapa waktu itu Putri tidak berterus terang padanya kalo dia kenal Ardan, Lusi meronta dalam pelukan Ardan, namun pelukan lelaki itu berusaha menenangkan dengan mengelus punggung perempuannya,"Aku akan tetap bersamamu Lus, dia masa laluku, dia kesalahanku, maaf," Ardan mencoba menatap Lusi dan mencoba memberinya pengertian bahwa tidak akan ada yang berubah dengan dirinya. Meskipun dalam hati dia tidak akan bisa menghindar bahwa gadis itu tetap anaknya, tanggung jawabnya.
"Lusi...." Ardan kaget tubuh Lusi melemas dalam dekapannya, istrinya pingsan.