Seorang gadis kecil yang bernama Aira Baylee sedang bermain seorang diri disebuah taman kanak-kanak di dekat rumah sewaan mereka. Aira mengumpulkan pasir dengan kedua tangannya, sesekali ia membentuk pasir dengan menggambar sosok wajah manusia.
Aira tersenyum disaat ia menabur pasir untuk menyerupai bentuk hidung dan bibir, sosok wajah yang digambarnya adalah sosok wanita dewasa yang sangat ia sayangi. Ibunya adalah keluarga satu-satunya yang ia miliki di dunia ini. Bukan berarti Aira tidak memiliki sosok ayah, ia memilikinya tapi setahun yang lalu ayah nya meninggalkan mereka dan menikahi wanita yang lebih kaya. Aira tidak menyukai sosok pria yang menjadi ayahnya itu, karena Aira sering melihat tingkah kasar ayahnya pada ibunya. Tidak sekali dua kali ia melihat ayah nya memukuli ibunya dengan brutal disaat mabuk, kadang ia hanya menangis dan mengintip dari pintu kamar ibunya, ia tidak bisa melarang ayahnya karena ia masih kecil. Dan pernah juga ayahnya memukul pipinya dengan keras karena mencoba melawan ayahnya yang sedang hendak menendang ibunya dan itu adalah pertemuan terakhir mereka.
Pada saat itu ayahnya mengambil beberapa pakaiannya dan mengatakan pada mereka bahwa ayahnya akan menikah lagi dengan wanita yang lebih kaya. Diminggu pertama ayahnya pergi, ibunya mulai batuk-batuk dan sakit, ibunya selalu beralasan itu karena kelelahan, tapi sampai sekarang penyakitnya bukannya berkurang malah semakin parah dari tahun ke tahun.
Aira membentuk telinga dan rambut dari pasir yang ia genggam. Aira ingin memperindah gambaranya di tanah, ia ingin hasilnya benar-benar mirip dengan ibunya. Nanti setelah ibunya pulang bekerja Aira akan menunjukkan hasil karyanya sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Ibunya saat ini sedang berulang tahun yang kedua puluh delapan, Aira tidak bisa membeli kado karena ia tidak memiliki uang. Bahkan biaya sehari-hari mereka pun, ibunya harus bekerja paruh waktu setiap hari, berangkat pagi dan pulang malam. Jika ibunya bekerja ia akan di titipkan kepada Nenek Sachi yang tinggal disebelah kamar sewa mereka.
Nenek Sachi adalah wanita tua yang hidup sendiri, bukan berarti ia tidak memiliki keluarga. Nenek Sachi memiliki seorang anak yang tinggal di Seattle bersama istri dan anaknya. Sesekali mereka akan mengunjungi Nenek Sachi jika mereka memiliki waktu libur. Nenek Sachi sudah tidak memiliki suami, karena suaminya sudah meninggal delapan tahun yang lalu. Beruntung Aira bisa menemani nenek Sachi jika ibunya sedang bekerja. Nenek sachi selalu mengajarinya tentang ilmu psikolog padanya, karena nenek Sachi dulu lulusan Psikolog dari universitas bergengsi di kota itu. Nenek Sachi saat ini masih sangat sehat karena ia mengikuti pola makan sehat untuk menjamin kesehatannya. Nenek Sachi tidak ingin sakit apalagi anak dan menantunya sedang tinggal jauh darinya, nenek Sachi tidak ingin merepoti siapapun. Nenek Sachi sangat menyayangi Aira karena menurutnya gadis itu sangat cantik, wajah gadis kecil itu sangat mirip dengan ibunya yang memiliki wajah khas Rusia. Nenek Sachi sangat senang jika Carmelia menitipkan Aira padanya jika berangkat bekerja. Nenek Sachi akan mengajak gadis cantik itu melakukan hal-hal yang disukainya.
"Aira," Aira mendongakkan kepalanya untuk melihat nenek Sachi yang memanggil namanya dengan lembut. "Apa yang kau lakukan, Dear?"
Aira berdiri dan menggenggam jari-jari keriput nenek Shaci. "Aku akan memberikan kejutan untuk Mommy, Nek." Aira menunjuk gambarnya pada nenek Sachi.
Nenek Shaci tersenyum lembut dan menunduk dan menatap wajah cantik dan polos Aira. "Kau yang membuatkan itu, sayang?"
Aira mengangguk. "Nanti jika Mommy pulang bekerja, aku akan menunjukkan ini untuk hadiah ulang tahunnya."
Nenek Sachi memeluk Aira dengan lembut. "Oh, sayang." Tangannya mengurai rambut panjang coklat Aira. Nenek Sachi tidak bisa menahan kesedihannya mendengar ucapan polos Aira. Nenek Sachi menghapus air matanya dengan punggung tangannya sebelum Aira tahu bahwa ia menangis. Ia menangis karena ia sangat sedih melihat kehidupan Carmelia dan putrinya. Ia bertemu dengan mereka satu tahun yang lalu ketika mereka pindah di samping kamar sewa miliknya. Ia juga tahu bahwa Carmelia saat ini sedang mengidap penyakit kanker rahim stadium empat, jadi bagaimanapun Carmelia tidak akan bisa disembuhkan karena sudah terlanjur semakin parah, jika dulu Carmelia mengobatinya di awal ia pasti akan sembuh.
"Kau gadis yang sangat baik, sayang. Aku tahu ibumu pasti sangat menyukainya nanti."
Aira melepas pelukan nenek Sachi. "Benarkah?" ucapnya dengan berbinar.
Nenek Sachi mengangguk.
"Aku sudah tidak sabar untuk menunggu Mommy pulang."
"Sebentar lagi ibumu akan pulang, baiklah nenek akan kembali ke dalam untuk menyelesaikan masakan untuk makan malam kita. Kita akan merayakan ulang tahun ibumu."
Aira mengangguk antusias dan mencium pipi Nenek Sachi. Aira kembali mendekati hasil karyanya untuk memperbaiki supaya lebih bagus lagi, begitupun nenek Shaci masuk ke flat sewaannya.
Aira sangat berkonsentrasi mengerjakan gambarannya sehingga tidak tahu bahwa seorang anak laki-laki sedang menatapnya dengan tatapan sulit di artikan.
"Wajah siapa yang kau gambar itu, gadis kecil?"
Aira mengangkat kepalanya dan menatap anak laki-laki yang berdiri didepannya. "Kau bicara padaku?" tanyanya dengan polos.
Anak laki-laki itu berdecak angkuh. "Kau pikir pada siapa lagi aku bicara?"
Aira mengedipkan matanya, "Tidak ada salahnya bukan jika aku bertanya?"
Anak laki-laki sombong itu mengerutkan keningnya atas jawaban gadis kecil di depannya. Tadinya ia hanya ingin kabur dari pengawalnya untuk jalan-jalan sendiri menikmati taman kanak-kanak sederhana yang terletak di kota itu. Ia tidak sengaja melihat gadis cantik yang sedang menggambar ditanah menggunakan pasir. Gadis itu memiliki mata bening yang berwarna biru. Rambutnya berwarna coklat, panjangnya sampai pinggang. Sudah lama ia mengamati gadis cantik itu diam-diam.
Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya tanda perkenalan. "Aldrich!" Ia tersenyum segaris, tapi matanya tak mencerminkan keramahan sekalipun.
Aira terdiam dan mengamati uluran tangan Aldrich. Kemudian menatap mata coklat tajam itu dengan sedikit ragu-ragu.
"Tidak usah takut padaku, aku tidak akan berbuat jahat padamu." Aldrich tahu gadis kecil itu ragu atas sikapnya yang dingin dan sedikit kejam.
Aira mengulurkan tangannya dan membalas jabatan tangan Aldrich. "Aira!"
Aldrich mengangguk dan melepas jabatan tangan mereka. Ia kemudian menatap hasil karya Aira yang di tanah. "Siapa yang kau gambar itu, gadis kecil?" tanyanya kembali.
Aira menunduk menatap hasil karyanya. "Itu Mommy, aku ingin memberikan surprise untuknya. karena hari ini Mommy ulang tahun."
Aldrich mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa harus capek-capek menggambarnya? Kau kan bisa beli benda apapun yang ibumu suka."
Aira menggeleng pelan. "Hanya ini yang bisa kuberikan pada Mommy, aku tidak memiliki uang untuk membeli benda kesukaan Mommy."
Aldrich melunturkan tatapannya. Ia tertegun mendengar jawaban gadis kecil itu. Ia pikir semua anak seperti ia yang memiliki segalanya. "Hasil karyamu lumayan bagus." Ucapnya memberi pujian pada gadis kecil itu.
Aira menatap Aldrich dan menunjukkan wajahnya yang berbinar. "Aku senang mendengarnya, karena bukan hanya nenek Sachi yang memuji hasil karyaku, kau juga."
"Aku memujimu karena itu pantas. Kurasa umurmu masih sangat muda."
Aira mengangguk.
"Berapa umurmu, gadis kecil?"
"Lima tahun."
"Benar apa yang kuduga."
Aira memperhatikan tubuh Aldrich dari bawah sampai atas, "Apa kau pria dewasa?"
Aldrich mengangkat bahunya, "Bisa dibilang seperti itu."
Aira mendekatkan tubuhnya pada Aldrich, "Tapi bentuk wajahmu masih tampak seperti anak-anak."
Aldrich terkekeh dan sedetik kemudian berubah menjadi datar. "Aku berbeda denganmu, gadis kecil! Mungkin bisa dikatakan aku jauh lebih dewasa darimu."
Aira menatap Aldrich dengan serius. "Memangnya berapa usiamu?"
Aldrich berdecak, "Kau tak percaya padaku?"
Aira menggeleng cepat, "Bukan begitu, kau tahukan anak kecil sepertiku selalu penasaran tentang hal-hal kecil."
"Empat belas tahun."
Aira seketika berbinar gemas, "Waow, kau jauh lebih tua dariku ternyata, apa aku bisa memanggilmu dengan sebutan kakak?"
Aldrich menggeleng tegas, "Tidak!"
Aira cemberut, "Kenapa?"
"Karena aku tak menyukai anak kecil!"
Mata Aira berkaca-kaca, "Berarti kau juga tak menyukaiku?"
Aldrich menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Hatinya tersentuh menatap mata gadis kecil itu berkaca-kaca.
"Hikss..., hikss..." Aira menangis khas seperti anak kecil yang dimarahi orangtuanya.
Aldrich yang mulai merasa bersalah mendekat pada Aira dan mengelus kepala Aira lembut. "Tenanglah, kau berbeda dari anak-anak yang tidak kusukai."
Mendengar itu, seketika tangis Aira berhenti. Tangan mungilnya menghapus sisa airmata dipipinya, "Jadi, kau tidak membenciku?"
Aldrich menggeleng dan mengelus pipi Aira, "Tidak. Mana mungkin aku membencimu, malahan dari pertama melihatmu, aku sudah menyukaimu."
Mata Aira berbinar, "Wah, ternyata hatimu cepat berubah yah."
Aldrich terkekeh dan mencubit kedua pipi Aira gemas.
"Aish.., jangan lakukan itu." ucap Aira kesal. Ia menjauh untuk membuat jarak pada Aldrich.
Raut wajah Aldrich kembali dingin dan kejam, "Kenapa kau menjauh?"
Aira tertegun bingung dengan sifat berubah-ubah Aldrich. "Aku hanya menghindari cubitanmu, aku tak suka dicubit seperti itu."
Wajahnya kembali melembut, "Kukira kau juga akan menjauh dariku, sama seperti anak-anak lain."
Mendengar itu, Aira mendekat. "Apakah itu alasannya kau membenci mereka?" ucapnya pelan dan lembut.
Aldrich tidak menjawab. Mata tajamnya hanya menatap Aira dengan diam.
"Maafkan aku, aku tak bermaksud menjauh tadi." Aira mengelus lengan Aldrich.
Aldrich menatap tangan Aira yang mengelus lengannya. Ia heran tangan gadis itu tak membuatnya risih, malahan membuatnya sedikit nyaman dan hangat. Biasanya jika orang lain yang menyentuh sedikit saja kulit bahkan pakaiannya ia akan sangat marah, kerena menurutnya sentuhan orang-orang itu menjijikkan untuknya. Apalagi sejak tahu bahwa banyak orang yang mencoba membunuhnya, ia semakin bersikap defensif.
Ia kembali menatap mata biru bening gadis itu, mata itu juga mencerminkan ketulusan disana, "Apa kau takut padaku?" tanyanya sambil membaca ekspresi Aira.
Mata Aira membulat mendengar pertanyaan itu. tapi tak hayal ia menggeleng dengan tegas.
Aldrich tersenyum puas melihat ekpresi Aira.
Aira memperhatikan senyuman tulus Aldrich padanya, "Kau jauh lebih tampan jika tersenyum seperti itu."
Aldrich menghentikan senyumannya, tapi debaran jantungnya membuatnya meringis. Hanya dengan mendengar gadis itu menyebut ia tampan, jantungnya hampir meloncat dari tempatnya. Ada apa dengannya.
"Kau belum mengatakan padaku dari tadi, apa yang sedang kau lakukan disini, Aldrich?"
Aldrich tersentuh, gadis itu menyebut namanya dengan sangat lembut. Debaran jantungnya semakin tak terkontrol, sungguh ia ingin membawa gadis kecil ini kerumah pamannya, untuk ia simpan untuknya sendiri.
"Al.." Aira kembali memanggilnya sepertinya mereka sudah mengenal sejak lama, entah mengapa perasaanya begitu diselimuti oleh kehangatan sigadis.
Aldrich tersenyum tipis, "Aku sedang mencari teman untuk bermain, tadi aku meninggalkan pelayanku disana, karena mereka tidak memperbolehkan aku bermain disini." Aldrich mengalihkan tatapannya pada karya Aira di tanah. "Maukah kau mengajariku cara menggambar itu?"
Aira mengangguk. "Bisa saja, tapi apakah para pelayanmu nanti tidak mencarimu?"
Aldrich menggeleng dan tersenyum. "Mereka tidak akan mudah menemukanku, karena tadi aku sudah membuang ponselku yang ada pelacaknya."
Aira mengerjapkan matanya dengan polos karena tidak tahu apa yang di bicarakan Aldrich.
Aldrich mengacak rambut Aira gemas, "Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya, Aira. Aku hanya ingin kau mengajariku cara membuat itu."
Aira mengangguk dan menunduk kembali dan menatap hasil karyanya. Ia mulai mengajari Aldrich cara untuk menggambar dengan pasir sedikit demi sedikit supaya Aldrich tidak terlalu bingung.