Sebuah apartemen yang terletak di salah satu kota Bandung ini memiliki empat puluh lantai. Dimana di dalamnya terdapat berbagai hal yang sangat menarik dan praktis, seperti tempat berbelanja, tempat olahraga, bahkan ada salon surganya para wanita selain toilet.
Benar, kan?
Masing-masing lantai memiliki dekorasi yang elegan serta mewah dan ini merupakan apartemen bagi kalangan menengah ke atas. Dan juga apartemen ini sangat menjaga privasi sehingga ingin mencari ketenangan apartemen ini paling cocok untuk ditempati.
Hal ini juga adalah alasan paling utama mengapa aku menyewa apartemen di sini. Aku butuh privasi setelah hampir berjam-jam selama seminggu bekerja mengejar rupiah. Namun sepertinya hari ini aku aku tidak mendapatkan apa yang aku inginkan, ketenangan. Bel yang terus berbunyi sejak beberapa menit yang lalu yang tiada henti mengusik kenyamanan tidurku berhenti dan digantikan dengan suara cempreng adik sepupuku, Tika. Yah, dia bukan anak-anak, melainkan remaja tujuh belas tahun yang duduk di jenjang SMA.
"Kakak, Kak Anna..."
Suara cemprengnya bak toa masjid terdengar semakin mendekat dan aku semakin menaikkan selimutku hingga kepala.
"Sayang, bisa kamu suruh gadis itu diam? Aku baru saja tidur!" ucapku dengan suara serak.
Pria di sampingku menggeram dan mengacak-acak rambutnya hingga tak beraturan.
"Ka-"
"Kakakmu masih tidur, Tika." Suara bariton Axel menginterupsi rengekan Tika.
"Good jobs, honey," gumamku dan semakin merapatkan tubuhku pada kasur.
"Tapi, kakak harus tahu kalau Tante akan kemari dua jam lagi. Mommy lupa memberi tahu Kak Anna!"
Tante? Mama maksudnya?
"Serius?!" tanyaku yang kini sudah duduk tegak.
"Serius, Kak!" ucap Tika sembari sedikit melongokkan kepalanya melewati tubuh Axel yang menghalangi pandangannya ke arahku.
"Astaga..."
Aku segera bangun dan menerobos tubuh Tika dan Axel yang masih berdiri menghalangi pintu kamar. Kemudian aku menoleh ke arah Axel dengan pandangan meminta maaf.
"Axel, maafkan aku, sepertinya hari ini aku tidak bisa menemanimu ke acara Amanda. Mama ..."
"It's okay, baby," sahut Axel dengan lembut dan pengertian.
Inilah salah satu sifat Axel yang kusuka. Pengertian.
Lalu aku berjalan menuju ke dapur untuk mengambil sebotol air dingin di kulkas dan menenggaknya rakus sampai-sampai bulir-bulir air mengalir di leherku. Namun, pandanganku jatuh pada seseorang yang duduk di ruang tamu.
Kebetulan, dapur dan ruang tamu tempatnya berdampingan seperti orang nikahan. Jadi, ya begitu.
Aku melihatnya pun merasa kesal dan berteriak memanggil sepupu cemprengku.
"Tika!!!"
"Iya, kak?!"
"Apa peraturan di rumah ini?"
Tika menatapku yang berkacak pinggang dengan mata melotot marah. Dia hanya meringis saat melihatku saat mengarahkan daguku pada makhluk yang ada di ruang tamu.
"Hehe.. dia Keenan, Kak. Pacarku," ucap Tika cengengesan.
"Hai, Kak Anna."
Suara berat itu mengalihkanku dan aku menoleh ke arah sang pemilik suara yang duduk di sofa ruang tamu.
"Apa?!" tanyaku galak, yang di tanya malah diam seraya menatapku. Aku merasa sedikit ... ngeri. Pandanganku beralih kembali ke arah sepupu kecilku.
"Tika! Kakak sudah bilang jangan bawa cowok ke apartemen Kakak! Kaka-"
"Itu Bang Axel juga cowok!" bantah Tika.
Aku memutar mataku dan siap membantah perkataan Tika saat suara Axel menyela kami, "Sayang, sudah.."
"Lo sexy, Kak."
What the hell?! Apa dia bilang?! Kurang ajar ini bocah!
Aku ingin memarahi bocah bau kencur ini, tapi kuurungkan karena perkataan Axel.
"Sayang, bajumu ...," ucap Axel sembari menggaruk tengkuknya yang kuyakini tidak gatal, dia terlihat merasa serba salah dan berdiri di hadapanku menghalangi tubuhku dari tatapan makhluk yang ada di sofa.
Aku menunduk menatap tubuhku sendiri dan melihat apa yang salah di sana. Seketika aku terkejut dan agak salah tingkah dengan apa yang kulihat. Aku hanya mengenakan kemeja putih kedodoran yang hanya mampu menutupi tubuhku sampai beberapa senti dari pantatku, ditambah lagi tiga kancing teratas kemeja terbuka dan terpampanglah secara nyata sebagian tubuhku yang sexy ini terlihat.
Errr... yah, ini sepertinya juga salahku, sih.
Ish, ini semua salah Axel. Kami baru pulang dari London untuk menghadiri pernikahan temannya dan karena terlalu lelah, kami langsung tidur sekitar tiga puluh menit yang lalu.
"Tika, sebaiknya kamu segera membawa pacarmu keluar dan aku akan bicara dengan Anna."
Axel tersenyum dan ingin sekali kujitak kepalanya itu yang selalu tersenyum lebar pada Tika.
"Baiklah, ayo Keenan kita keluar," ajak Tika pada makhluk tengil itu.
"Oke. Bye kakak sexy," ujar pacar Tika.
Spontan aku ingin menjambak rambut coklatnya itu, kalau saja Axel tidak menahanku.
"Calm down, Baby," ucap Axel lembut padaku.
Aku menghembus napas kesal. "Apa anak remaja zaman sekarang seperti makhluk itu?" tanyaku pada Axel.
"Yah, maybe not, maybe yes," jawab Axel tidak pasti sambil mengelus kepalaku pelan.
"Pacar Tika itu benar-benar menyebalkan."
"Yah, di lain sisi itu juga salahmu, Baby. Kamu memakai baju yang ..."
"What?! Kenapa kamu malah membela bocah ingusan itu?!"
Aku kesal pada Axel yang malah membela bocah itu. Ini kan bukan salahku. Anak itu saja yang matanya kemana-mana.
"Maksudku bukan begitu, Baby. Tapi ..."
Aku tidak ingin mendengar kelanjutan dari perkataan Axel. Moodku terlanjur jelek dan aku pergi ke kamar tak menghiraukan panggilan Axel yang berusaha ingin membujukku.
***
"Ponsel lo tuh! Berisik beut tahu!" protes Kaniya temanku saat nada dering BTS mengalun dari ponselku sedari tadi, entah yang ke berapa kali.
"Siapa sih yang telepon?"
"Ih, mulai deh. Kepo lo!" dengusku kesal dan pada akhirnya aku pun mengangkat teleponnya.
"Ha-"
"..."
Spontan aku menjauhkan ponsel dari telingaku sehingga gendang telingaku tidak pecah saat mendengar suara cetar membahana dari orang seberang ponsel. Kulirik Kaniya tertawa bahagia di mejanya melihatku dan kulempar dia dengan bolpoin dan ...
Tuk!
Bolpoin itu mengenai kepalanya dan dia meringis pelan. Aku tentu saja senang.
Rasain Lo!
"Anna!!" teriak Ibu Negara dari ponselku.
"Iya, Ma...duhh! Anna lagi sibuk nih, Ma... ya nanti Anna tanya Axel, ya... oke ... ha .. iya, iya .."
"..."
"Omg, Anna nggak setua itu kali, Ma."
"..."
"Haishhh! Rina, kan nikah muda! Anna-"
"..."
"Hmm, iya, Ma."
Aku hanya mengangguk walau Mama tidak melihatnya. Hanya ku-iya-kan apa yang Mama katakan. Sudah bosan dengan pidato demi pidato yang dia utarakan setiap kali meneleponku dan topiknya selalu sama.
"Anjir, lahhh!" gerutuku setelah telepon berakhir.
"Kenapa? Mama lo takut anak perawannya tidak kawin-kawin?" tanya Kaniya diiringi dengan tawa kerasnya.
Aku melotot kesal ke arahnya.
Bukan rahasia lagi di kantor ini jika mamaku takut kalau aku tidak menikah. Mama bahkan sudah beberapa kali mengajak pria datang ke kantor untuk dicomblangkan denganku. Aku kan jadi bete.
Axel juga beberapa kali melamarku dan kutolak. Bukannya aku tidak mau menikah, apalagi dengan Axel, tapi aku merasa... belum yakin. Aku masih nyaman dengan duniaku dan juga profesiku sebagai penulis.