"Jadi, lo mau minta maaf sama nyokap lo?"
Sejak melontarkan pertanyaan itu, Julian berusaha untuk tidak terkejut. Sementara orang yang berada di sampingnya tampak tersenyum lebar, membenarkan. Sebelumnya Hazel sudah pernah bercerita dan mengakui bahwa ia dan bundanya memang bertengkar di malam ia kecelakaan.
Itu bukan hal yang mengherankan. Julian sudah tahu bahwa hubungan ibu dan anak itu memang sering merenggang. Awalnya Hazel tidak mau jujur apa yang membuat mereka berselisih, tapi setelah dipaksa akhirnya ia mau menceritakan semuanya. Akar dari masalah itu sendiri adalah perselingkuhan sang ayah dan pelecehan terhadap Aneshka.
Semenjak saat itu Julian tahu, bahwa masa lalu Hazel memang masuk ke dalam kategori yang cukup rumit.
"Kok rasa-rasanya feeling gue nggak enak, ya?" celetuk Julian.
Hazel nyengir. "Nggak enak kasih kucing aja."
"... Trus?"
"Gue bukan orang yang gampang untuk ngungkapin gimana perasaan gue ke orang lain, Nay." Hazel memberikan alasan. "Gue sadar udah nyakitin Bunda terlalu banyak—padahal maksud gue nggak gitu."
Julian sama sekali tidak bisa memberikan ucapan simpati ataupun semacamnya, sampai Hazel tiba-tiba berhenti dan menatapnya.
"Tolong bantu gue, Nay. Ungkapin semua perasaan gue ke Bunda."
Di situ Julian mulai mengerti kalau Hazel sangat membutuhkannya.
Tak butuh waktu lama hingga mereka tiba di salah satu rumah di komplek tersebut. Pagar besi bercat putih dengan tembok warna kelabu yang terlihat agak pudar sudah ada di hadapan mereka. Itu rumah Hazel, akhirnya setelah sekian lama tidak mampir, Julian berkunjung ke rumah ini lagi. Namun, begitu ia ingin membuka gerbang dan masuk ke dalam, Hazel menahan.
"Kenapa?" tanya Julian.
Hazel tidak menjawab, pandangannya lurus pada dua pasang sepatu yang berjajar di luar rumah. Sepatu itu berbeda ukuran, yang satu ukurannya besar—milik seorang laki-laki dan yang satunya lagi mungil, berwarna merah dan bermotif bunga-bunga. Hazel tidak tahu itu milik siapa, tapi alarm kewaspadaannya menyala.
"Zel?"
"Ayo, pergi."
"Tapi—"
Suara Julian mengambang di udara tepat ketika pintu rumah terbuka dan Hazel menariknya untuk bersembunyi. Hazel merunduk, tidak ingin melihat siapa yang ada di sana. Di sisi lain, Julian cukup penasaran dan mengintip dari celah pagar yang untungnya bisa menutupi tubuh mereka karena di sana ada pagar tanaman yang besar.
Ada seorang balita kecil—atau mungkin sudah lima tahunan—bersama laki-laki paruh baya. Julian tidak mengenal orang itu, mungkin salah satu kerabat Hazel. Ibunya Hazel juga ada di sana, mereka tampak mengobrol serius. Yang membuat Julian merasa aneh adalah ada kemiripan sekilas antara laki-laki itu dan—
Julian terkesiap ketika Hazel berdiri. Tatapannya mengarah pada ketiga orang di dalam pagar sana—Julian tanpa sadar melihat tangan Hazel terkepal erat. Julian tidak tahu apa yang dipikirkannya sampai ia meremat tangan Hazel dalam genggamannya. Wajah Hazel yang mengeras tampak melunak dan terarah ke Julian.
"Ayo, kita pergi, Nay." Suara Hazel terdengar sangat berat dan letih.
"Tapi, kenapa—lo harus kasih alesan yang jelas." Julian menggerutu, tangan Hazel dalam genggamannya mendingin.
Sambil memandang tanah dengan tidak fokus, Hazel memikirkan cara untuk memberi alasan yang masuk akal pada Julian. Semua yang ada di pikirannya kacau balau.
"Hazel?"
Sebuah suara yang terdengar sangat dekat membuat keduanya terkejut. Julian menoleh ke samping kanan dan mendapati laki-laki tadi menatapnya dengan pandangan yang lembut. Dalam benak, Julian bertanya-tanya.
"Kita bisa bicara sebentar?" Seolah meminta pendapat, laki-laki itu berkata sambil menoleh ke arah wanita yang berdiri tak jauh dari laki-laki itu. Julian mengikuti arah pandangnya dan melihat ibu Hazel berdiri di sana, menunduk.
Julian ingin mengiyakan sampai tangannya ditarik oleh Hazel dan ia terdiam di tempat kembali.
"Kalau nggak keberatan, temen kamu boleh pulang dulu." Laki-laki itu menatap Julian kembali dengan tatapan lembut dan memohon. "Nanti kalian bisa main lagi," lanjutnya dengan nada menekan.
Julian melirik Hazel, meminta pendapat. Namun tampaknya Hazel terlalu larut dalam kekagetannya sendiri. Tangannya yang sempat mengendur kembali mengepal erat.
"Atau temen kamu boleh nunggu di dalem kalau mau." Nada yang terdengar dari laki-laki paruh baya itu terdengar tidak sabaran. Kedua mata yang dibingkai garis-garis keriput di sekitarnya itu tampak menunggu jawaban.
Hazel mendongak. "Nggak, Om, kita sibuk—mungkin bicaranya lain kali aja," ujarnya dengan sinis.
Terdengar suara tawa kecil dari laki-laki itu, sekarang ia berganti melirik ke arah Hazel. Tidak ada guratan marah sama sekali, malah terkesan geli dengan ucapan Hazel barusan. "Om cuma sebentar kok. Masa kamu nggak izinin ayah ngomong sama anaknya sendiri." Ia berkelakar.
Rasanya udara di sekitar Julian mulai mengikis sedikit demi sedikit. Di lehernya, seolah terdapat tangan-tangan tak kasat mata yang mencekik dengan sangat pelan namun menyakitkan. Ia sendiri bingung untuk berekspresi—bahkan untuk melirik bagaimana raut wajah Hazel ia tidak sanggup.
Tatapan lelaki itu beralih pada Julian. Kali ini matanya berkilat lebih serius, tampak memaksa dan tidak sabaran. "Ayo, Hazel, kamu nggak kangen sama Ayah?"
Refleks, Julian mengangguk tanpa repot meminta atau mengetahui reaksi Hazel. "Sebentar aja 'kan—" ia memilih panggilan yang layak untuk sesaat dan menarik napas yang sempat tertahan, "Ayah?"
Lelaki itu membalas dengan tersenyum dan mengisyaratkan untuk masuk. Ia berjalan mendahului dan kembali membuka sepatu di teras rumah. Julian sekilas melihat bagaimana laki-laki itu berbicara pada ibu Hazel, dan wanita itu mengangguk.
"Zel?" panggil Julian, ragu.
"Kenapa lo mutusin seenaknya gitu, Nay?" tanya Hazel dengan suara yang amat lirih dan tercekat. Begitu Hazel mendongak dan menatapnya dengan sorot dingin, Julian sadar bahwa dirinya baru saja melakukan sesuatu yang salah. "Ayo, pergi!"
"Nggak!" Julian menolak keras dan mendapat tatapan yang lebih menusuk. Walaupun begitu, ia tidak akan menarik kata-katanya kembali. Ia harus membuat Hazel menghadapi masalah ini secepatnya dan tidak membiarkannya lari lagi. "Lo harus nyelesain semua masalah yang berhubungan sama bokap lo!"
"Lo nggak tau apa-apa!" Hazel membalas dengan suara meninggi.
"Iya, gue emang nggak tau apa-apa, tapi gue bisa ngelakuin apa yang gue mau selama badan ini masih punya gue."
Terdengar egois, Julian tidak peduli. Pikirannya menjadi kacau setelahnya. Sulit baginya melibatkan diri dengan berlipat-lipat masalah rumit yang sedang dialami oleh orang yang disukainya tersebut. Bukan berarti dengan melakukan hal semacam ini Julian ingin mendapat balasan setimpal atau apa, tapi karena ia memang sangat tulus ingin membantu Hazel. Menurutnya Hazel itu terlalu keras dan tidak mau melunakkan diri terhadap masalahnya sendiri.
Harus ada seseorang yang membimbingnya. Dan Julian merasa ia berperan penting dalam hal ini.
"Maaf."
Julian menatapnya dengan dahi mengerut. "Untuk apa?"
"Untuk semua masalah gue yang ngebebanin lo. Nggak seharusnya lo repot-repot mikirin gimana masalah ini harus selesai. Lo emang nggak semestinya terlibat," kata Hazel, melepaskan genggaman tangan Julian yang tanpa sadar bertautan dengannya sekian menit.
Mendengar Hazel mengatakan semua itu—kalimat yang memang seharusnya ia katakan setelah membuat hidupnya kacau—membuat Julian resah. Ia memang membenci hidupnya setelah kecelakaan malam itu terjadi. Selama enambelas tahun hidupnya ia tidak pernah sekalipun terlibat masalah serumit ini. Dari Hazel, Julian memahami bahwa semakin kita melihat ke bawah semakin kita mengerti bahwa semua manusia hidup dengan masalah. Kalau Julian tidak pernah mengalaminya selama ini—mungkin ia akan mengalaminya sekarang. Itu kodrat manusia.
Masalah itu memang tidak spesifik mengarah kepadanya, namun ia masuk ke dalam lingkup masalah tersebut dan membuatnya terlibat. Jadi, ia bertekat untuk ikut menyelesaikannya. Bersantai-santai untuk menerima semuanya dengan pasrah bukan option yang baik.
Setidaknya ia sudah berusaha.
Demi orang yang disukainya.
Hazel.
Menghela napas, Julian memposisikan tubuhnya menghadap pada Hazel. Menaruh kedua tangannya di bahu empunya.
"Mungkin ini terdengar menjijikkan," kata Julian dengan suara pelan. Ia sudah memikirkan semua ini dengan cukup matang. "Tapi, gue ngelakuin ini karena ... gue suka sama lo, Hazel."
Ini konyol. Tanpa ada rencana dan persiapan akhirnya ia berani come out dengan situasi yang tidak mengenakkan. Keduanya terdiam, Julian menangkap sorot terkejut dari lawan bicaranya. Kemudian seulas senyum tipis dari Hazel adalah hal yang membuat Julian ingin berteriak sambil membenturkan kepalanya ke tembok.
Apakah itu berarti Hazel mengerti maksud suka dalam konteks ini?
"Ya—gue juga. Lo temen yang baik, kok."
Kemudian, Hazel memeluk bahunya erat dan menepuk-nepuknya. Di situ Julian merasa ulu hatinya seperti di pukul kuat oleh kepalan tangan sehingga membuatnya sangat sakit.
Julian salah, Hazel tidak mengerti.
***
Rania Rahmat, wanita berusia kepala empat itu adalah ibu Hazel. Meski masih muda, garis kerutan di beberapa bagian wajahnya sudah begitu tampak. Hazel tidak ingat kapan terakhir kali memerhatikan wanita itu dengan sangat intens—seperti sekarang ini. Hanya dalam keadaan seperti ini ia bisa melakukannya dengan lebih leluasa, karena perhatian wanita itu sudah sepenuhnya mengarah pada 'Hazel'.
Hazel berdiri di ambang pintu hanya untuk menatap kebisuan mereka. Ikut dalam pembicaraan 'keluarga' memang bukan ide yang baik, tidak selama ia bukan menjadi sosok Hazel yang asli.
"Gue ke kamar aja," katanya pada Julian, dan dibalas dengan anggukan. Sebelum melesat menuju tempat yang dimaksud, ia sengaja melemparkan tatapan sinis pada laki-laki yang disebut ayahnya itu.
Tiga tahun terpisah dengan sang ayah bukan hal yang sangat singkat bagi Hazel, ia mendesah gelisah. Laki-laki itu terlihat lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Walaupun sikap yang ditunjukkan laki-laki itu masih sama, contohnya kejadian barusan, bagaimana sikapnya saat berbicara dengan 'Hazel'. Dari perlakuannya yang lembut, ada nada dominan yang absolut. Laki-laki itu masih tidak suka dibantah, Hazel tahu itu.
Hazel mengingat sekilas kenangan bersama sang ayah, dan yang ia rasakan hanya sakit. Ini terlalu mendadak dan menyesakkan untuknya.
Sang ayah mungkin tak mengerti benar bagaimana perasaannya, begitu pula Hazel. Semenjak perpisahannya dengan ayahnya—hampir tiga tahun yang lalu, ia hanya tahu bahwa ada kebencian jika mengingat tentang lelaki itu. Ia sudah menanamkan bahwa apa yang akan terjadi selanjutnya, tidak akan ada maaf sedikitpun terhadap sang ayah. Jika mengingat bagaimana ibunya tergeletak pingsan di kamar karena overdosis obat, darahnya semakin mendidih. Sakit yang dialaminya sudah sangat parah.
Ia melamun dan baru sadar bahwa sudah berada dalam kamarnya. Sudah lama rasanya ia tidak berada di kamar ini. Kapan terakhir kali? Ah, saat ia bertengkar dengan ibunya yang membawa-bawa topik mengenai ayahnya. Lagi-lagi sang ayah yang menyebabkan semua ini. Ia sangat membenci lelaki itu.
Hingga, tiba-tiba saja pintu kamarnya diketuk pelan, dan sosok ayahnya masuk bahkan sebelum ia persilakan sama sekali. Didasari dengan kekecewaan yang sangat pekat, Hazel hanya mampu mlemparkan ekspresi marah yang siap meledak-ledak.
"Untuk apa Om datang lagi ke sini? Belum puas Om nyakitin Hazel selama ini?"
***
"Jadi, untuk apa ayah dateng ke sini, Bun?" tanya Julian setelah berhasil mengusir halus 'sang ayah'. Bagaimanapun ia harus bicara empat mata dulu dengan ibu Hazel sebelum mengambil keputusan yang benar.
Wanita itu mengambil tangan kanannya dan menggenggamnya erat. "Kamu mau 'kan maafin ayah kamu?" pintanya.
"Kenapa?" Kening Julian berkerut sejenak sebelum membalas genggaman wanita itu. Namun, wanita itu tidak menjawab sama sekali. "Kenapa, Bun, kasih alasan yang jelas?!"
"Anak kecil itu ... Ibunya sudah meninggal," katanya pelan seolah takut 'Hazel' mengamuk. Ketika tidak mendapat sanggahan, ia melanjutkan, "Ibu dari anak itu adalah istri ayah kamu."
Julian mendadak diserang kemarahan. "Gimana mungkin—anak itu, bahkan umurnya ... kelihatannya udah lima tahun, Bunda," katanya dengan struktur kalimat yang kacau. "Nggak mungkin—"
Belum sempat Julian menyelesaikan kalimatnya, ibu Hazel sudah menubruknya dengan pelukan erat. Wanita itu menangis tersedu-sedu di dadanya. Julian merasa ruang pernapasannya menyempit, kenyataan yang baru saja di dengarnya begitu menghantam. Ia terpukul, seakan-akan ia merasakan bagaimana sakitnya menjadi seorang Hazel.
"Maaf, maafin Bunda," kata wanita itu parau, "selama ini Bunda nggak pernah jujur sama kamu, sebenarnya ayah kamu sudah selingkuh dua tahun sebelum kita bercerai."
"Apa—"
"Maaf, maafin Bunda, Hazel. Maaf." Ucapan Julian kembali dipotong dengan tangisan yang lebih menyayat. Wanita di depannya ini memang sangat lemah, ia pasti sangat tersiksa karena menyimpan rahasia sebesar ini seorang diri.
Mendesah, Julian mendorong kedua bahu wanita itu pelan. Menatapnya tepat di kedua matanya. "Jadi, Bunda mau aku kayak gimana?"
"Bunda minta kamu untuk maafin ayah kamu, tapi kalau kamu nggak mau, Bunda nggak akan maksa. Ini pasti berat buat kamu. Bunda cuma kasihan sama anak itu, Zel, anak sekecil itu udah harus kehilangan sosok ibu. Siapa pun nggak akan tega untuk ngeliatnya."
"Bunda pikir—setelah semua yang terjadi di antara kita, aku bakal maafin Ayah semudah itu?" tanya Julian, sebal. Kalau saja Hazel tahu tentang ini, ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksinya.
"Hazel, Bunda akan ikut kamu—apa pun keputusan kamu." Walau sang ibu berkata seperti itu, namun Julian masih bisa menangkap kilat memohon di matanya.
Julian hanya bisa mengacak rambutnya dengan gusar. Ia mengingat-ingat akan meminta hadiah besar pada Hazel setelah masalah ini selesai, bisa-bisanya ia terlibat dengan dua pilihan yang sulit, antara 'ya' atau 'tidak'. Tepat ketika Julian menganggukkan kepala, bentuk dari kebingungannya menjawab wanita itu, Hazel sudah keluar dari dalam kamar dan melewatinya. Kakinya mengentak di lantai dan wajahnya terlihat begitu memerah, mungkin kesal.
Tanpa mengindahkan bahwa ia masih harus terlibat pembicaraan dengan ayah Hazel dan bundanya sekalian, Julian langsung melesat setelah matanya melirik gadis kecil yang digandeng lelaki itu. Ia tidak peduli bagaimana bunda meneriaki—memanggil namanya terus menerus. Ia hanya hanya harus membiarkan kakinya melangkah dan bicara pada Hazel.
"Zel, tunggu!"
Setelah menangkap bahu Hazel dan menariknya berbalik, ia terdiam sebentar untuk menormalkan napasnya.
"Gue mau pulang, Nay," katanya, Julian cukup tahu rumah mana yang akan dituju ketika Hazel mengutarakan itu.
"Tapi—"
"Please, gue capek."
Julian juga ingin meneriakkan bahwa ia sangat lelah, tapi sosok Hazel sudah meninggalkannya jauh sebelum itu terjadi.
***
Jam tujuh pagi keesokan harinya, Julian sudah mampir ke kelasnya untuk bertemu dengan Kiki. Perjuangannya untuk berbicara sebentar dengan Kiki benar-benar berat ketika Lina menghampirinya dan menanyai pertanyaan aneh, seperti; "Kakak nyariin siapa?", "Kak Hazel ke sini buat nyamperin aku, 'kan?", "Ih, kak Hazel lucu, gemes." Dan semacamnya.
Baru setelah Kiki menariknya ke luar, ia benar-benar lepas dari perempuan itu. Gila, Lina mungkin memang cinta mati pada Hazel.
"Lo udah bilang sama Hazel untuk ketemu Pak Mahmud hari ini, 'kan? Ada perkembangan kasus, dan bukti yang gue dapet kemarin." Kiki memulai, ia mencoba untuk tidak basa-basi karena waktu mereka mepet, bel sebentar lagi berbunyi. "Ih, kampret, kenapa lo nggak sekelas aja sih sama kita," rutuknya kemudian.
"Hazel mana?" tanya Julian, mengalihkan topik. Ia datang ke kelasnya bukan untuk membahas kasus itu.
Kiki mengangkat bahu tidak peduli. "Gue nggak liat dia dari tadi, tapi kata Rendy dia ada di tribun main bola." Namun, ia merasa perlu menyampaikan informasi ini. Julian akan sangat cerewet jika tidak mendapat jawaban yang diinginkannya.
"Oh, oke. Ada yang mau gue omongin ke dia."
Julian berniat menyusul Hazel ke sana sebelum Kiki menarik tangannya. Anak itu menatap Julian dengan pandangan sulit diartikan. Walaupun Julian sempat menduga bahwa anak ini mungkin saja ingin minta pajak traktiran karena itu memang kebiasaan Kiki setiap hari—dan akan mentraktir balik ketika ia menang turnamen basket. Tapi, mungkin dugaan Julian kali ini sepenuhnya salah, ketika ekspresi Kiki mendadak serius.
"Kenapa lo nggak ke rumah gue semalem?"
Ah, Julian teringat sesuatu. Sejak kemarin Kiki memang memberondongi ponsel Hazel dengan panggilan-panggilan yang memusingkan, beberapa chat masuk bahkan sampai membuat baterainya nyaris lowbat. Dan semua itu baru benar-benar berhenti ketika Julian menjawab salah satu pesan yang isinya berupa ajakan Kiki menginap di rumah.
Sejak semalam Julian sudah berniat melakukan itu; pergi keluar untuk menginap di rumah Kiki. Tapi, karena Hazel mendadak diserang mood yang sangat buruk dan Julian tahu apa penyebabnya, ia mengurungkannya tanpa memberi alasan terlebih dahulu pada Kiki. Ponselnya dibiarkan mati.
"Sorry, Ki, gue ketiduran semalem."
"Trus kemarin lo ke mana? Gue samperin ke rumah juga nggak ada siapa-siapa."
Julian mencoba mengingat-ingat, dan yang terlintas di kepalanya adalah Hazel. "Gue buru-buru, Ki, entar aja kita ngomongnya." Ia berkilah.
"Gue udah bilang, kalau gue nggak mau lo deket-deket sama dia," desis Kiki, kesal.
Gantian Julian yang memandang Julian dengan sinis. "Kok keproktetifan lo berlebihan sih? Bukan karena lo sohib gue, lo berhak untuk ngelarang gue ngelakuin apa pun."
"Sadar, Jul," Kiki menekan, "lo masih punya Karina dan lo tau persis kalau Hazel itu laki-laki. Yang dilihat darimana pun lo sama dia nggak akan cocok."
Beberapa orang siswa yang mendengar perdebatan mereka sesekali berbisik. Julian segera tersadar bahwa tempat itu bukan sarana yang baik untuk berdebat mengenai hal yang sangat tabu seperti ini—sekalipun kata-kata Kiki benar-benar membuatnya sangat marah.
"Lo itu cuma kelebihan hormon, setelah lo paham kalo ini nggak bener, lo pasti bakal ninggalin Hazel gitu aja. Makanya gue sebagai temen yang baik, tugas gue di sini buat ngingetin lo—si bujang yang baru meletek ini."
Wajah Kiki terlihat sangat senang ketika Julian tidak bisa menjawab apa pun. Dilihat dari segi mana pun, Kiki memang lebih banyak memiliki kosakata untuk mematahkan pertahanan Julian. Baginya, Julian itu hanya sedang bingung mengenai perasaannya sendiri. Dan Kiki memang harus membimbingnya ke jalan yang benar.
Menyadari kalau dirinya kehabisan kata-kata, Julian menyudahi perdebatan konyol ini dengan cepat. Ia berputar dengan kedua kakinya untuk menjauhi Kiki sambil memijat-mijat kepalanya yang sakit.
Mengenai Karina, Julian tidak tahu sampai kapan akan menggantungkan perempuan cantik berambut bob itu. Sejujurnya ia tidak mau menyakiti hati perempuan lagi, tapi ia sendiri bingung harus melakukan apa.
Ketika tidak terdengar suara Kiki yang sejak tadi memanggilnya, Julian benar-benar mantap untuk menyusul Hazel ke tribun dan membicarakan banyak hal padanya.
***
Hazel sudah tidak peduli lagi apa pun mengenai ayahnya ketika Julian bercerita. Masalah ini sudah sepenuhnya ia limpahkan pada Julian, suka atau tidak—Hazel punya pemikiran lain yang lebih menohok. Hati kecilnya iba dengan gadis lugu yang dibawa sang ayah kemarin, dari cerita Julian pun ia mengetahui bahwa ibunya juga menerima kembali ayahnya dengan lapang dada.
Ia tidak terlalu terkejut.
Urusan bagaimana ia akan menghadapi sang ayah untuk ke depannya nanti, itu akan ia pikirkan lain kali. Yang pasti ia tidak akan begitu mudahnya memaafkan setelah semua yang ia dan ibunya alami.
Hazel mengingat ucapan Julian, anak itu terdengar positif, "Apa lo tega ngeliat nyokap lo banting tulang sendirian? Nyokap lo juga butuh sandaran, Zel."
Memang benar, ucapan itu memang benar. Makanya Hazel membenci kenyataan itu.
Hazel mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam sepuluh dan itu artinya bel istirahat sebentar lagi berdering. Melirik di mana Julian berada, akhirnya ia mendesah. Julian memang keras kepala untuk diberi tahu supaya tidak mengikutinya. Jadi, mereka benar-benar membolos berdua di atap sekolah.
Ia beranjak ke sisi Julian, menatapnya sekilas sebelum mengalihkannya ke pagar pembatas balkon.
"Begitu bel, gue mau bolos. Lo mau ikut?" Hazel bertanya.
"Ikut."
"Bagus, tapi lo bisa manjat tembok, 'kan?" Untuk pertanyaan ini ia agak sangsi.
"Bisa—mungkin. Belom pernah nyoba."
Hazel memutar otak dengan cepat. Tembok di belakang dekat gudang peralatan itu tingginya hampir dua meteran. Biasanya ia memanjat pohon dulu untuk sampai di puncak, kemudian melompat mulus ke luar. Mungkin ia akan memberi contoh duluan. Ah, tidak, bagaimana kalau ia sudah sampai di atas tiba-tiba Julian tidak bisa memanjatnya?
Sepertinya menyusun beberapa meja di dekat dinding terdengar lebih baik. Ia tak pernah tahu apakah Julian bisa memanjat pohon.
"Eh, gue lupa." Julian refleks memegang lengan Hazel dan membuatnya berjengit. "Lo harus nemuin Pak Mahmud sepulang sekolah."
Hazel mengerutkan dahi, tidak setuju dengan jadwal itu. "Emang harus sepulang sekolah?"
Julian mengangguk mantap.
"Ya, udah, terpaksa. Btw, lo jadi cabut nggak?"
Julian masih betah pada posisinya, tak bergerak dan tak menjawab. Perhatiannya berpusat pada jemarinya yang menekan lengan kurus yang ada di genggamannya. Tiba-tiba Julian maju, setengah berdiri dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Hazel tidak mengerti apa yang akan dilakukan anak itu karena kulitnya pun terasa tersengat. Tangan yang memegang lengannya sangat dingin.
Hazel kembali menegang ketika tangan kiri Julian meraba tengkuknya. Gila. Ia benar-benar tersengat. Bagaimana mungkin tangannya bisa sedingin ini.
"Ngh!"
Geraman itu lolos saat bahunya merasakan beban lain yang bertumbuk di sana. Tidak perlu menengok pun Hazel tahu bahwa kepala Julian sepenuhnya melesak di perpotongan lehernya. Tangan pemuda itu beralih ke kepalanya dan menarik-narik pelan rambutnya. Ia kegelian.
Hazel terkejut karena ia bereaksi terhadap sentuhan itu.
"N-Nay?" Hazel mencoba memanggil. Ia benar-benar kegelian dan— "Nnh! Nay ... Uh ..."
Ia merasa napasnya mulai memberat. Bulu kuduk sekitar lehernya meremang karena angin panas yang berembus dari hidung Julian. Ketika Julian sudah berdiri tegak menatap ke arahnya, Hazel secara naluri menatap lawan bicaranya sembari menuntut penjelasan.
"S-Sorry." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Julian, sebelum ia berpaling.
"Erm, ya. Nggak apa-apa."
Rasanya masih sedikit aneh bagi Hazel untuk berpura-pura tidak peduli seperti itu. Perlakuan Julian kali ini hampir-hampir mirip seperti seorang kekasih yang tengah merajuk. Hazel mencoba menyambungkan beberapa kejadian yang mereka alami sejak kemarin, ada yang tidak beres dengan Julian.
"Kantin, yuk. Perut gue udah demo nih," ajak Hazel, sedetik setelah bel istirahat pertama menggema sampai ke atap.
Ia tak perlu menunggu persetujuan Julian untuk menyeretnya turun ke bawah.
Begitu mereka menapaki tangga dengan siswa membludak di sana, Hazel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan simpati. Anak-anak itu pasti sudah mati kelaparan karena pelajaran yang membosankan dan tengah kalang kabut menuju kantin. Ide untuk membolos hari ini tidak buruk juga. Kalaupun ada yang memarahinya jika besok-besok ia membolos, paling pelakunya Julian.
Hazel menoleh ke belakang, Julian berjalan jauh di belakangnya. Pemuda itu terlihat sama diamnya seperti kemarin. Jalannya bahkan sangat lambat serupa siput, seolah saraf motoriknya sedang tak berjalan dengan baik hingga tak merespon perintah otaknya.
Ia berbalik dan menghampirinya, "Nay, lo ada masalah ya?"
Julian menatap lawan bicaranya sembari berpikir keras. Kalau yang dimaksud masalah itu adalah menyimpangnya orientasi seksual Julian yang sama sekali tak diharapkan dan ketika ia mencoba memungkiri sesuatu dalam otaknya justru membuatnya semakin berantakan, ya, Julian mengakui kalau ia dalam masalah.
Feeling-nya benar-benar tidak enak.
"Kenapa?" Julian berusaha menahan pertanyaan yang sejak tadi bergelimang di kepalanya. Kiki bisa sangat menggebu untuk melarangnya berhubungan dengan Hazel—meski hanya bertemu dan bertegur sapa. Lalu, bagaimana jika Hazel mengetahuinya juga? Akan seperti apa reaksinya?
"Jangan kebiasaan bales pertanyaan dengan pertanyaan," dengus Hazel, merangkul bahu Julian dan menepuk-nepuknya. "Keliatan banget lo lagi linglung."
Julian tersadar dan mendapatkan kembali kewarasannya. Ia mengangkat bahu cuek. "Anggep aja bonus, jarang-jarang lo dapet ekspresi unik dari gue."
Hazel tertawa dengan sangat geli. Serius, Julian mengerutkan dahi karena tidak mengerti bagian mana yang lucu dari ucapannya. Salahkan dirinya sendiri yang tidak pernah punya selera humor yang tinggi. Meskipun dikurung berdua saja dengan Kiki menonton acara humor, dipastikan mulutnya hanya mengatup dan terjadi keriuhan yang timpang. Kiki sering memakinya hanya karena masalah itu.
Mengabaikan fakta bahwa ia sangat menyukai suara tawa itu, Julian segera menyumpal mulut Hazel dengan telapak tangannya. Ia menjauh. Menyeringai dengan sangat puas. Akhirnya ia sadar kalau satu orang yang bisa mengobrak-abrik seluruh isi kepalanya memang cuma Hazel seorang.
***
Seperti yang sudah dijadwalkan, terima kasih karena akhirnya Hazel mengomel tiada ada henti karena harus menemui Pak Mahmud, akhirnya Julian memutuskan untuk pulang duluan. Ia hanya berbasa-basi singkat dan berjalan meninggalkannya di sekolah. Biarlah kali ini Hazel berperan sebagaimana mestinya ia harus berperan. Toh, Julian sudah banyak menoleransi semua kekacauan yang dibuat pemuda itu terhadapnya.
Mengingat-ingat kenangan saat pulang bersama, membawa Julian menelusuri jalanan kecil menuju jejeran kost yang berada di pinggiran komplek. Ia berniat melewati gedung sekolah bagian belakang—tempat di mana Hazel pernah membawanya ke sana; mengundangnya untuk jalan bersama.
Gang kecil yang menghubungkan dua jalanan komplek sudah ada di depannya. Ketika sampai di perbelokan pertama, langkahnya terhenti.
Ada enam anak berseragam SMK khas milik sekolahnya menghadang di sana. Sial. Julian ingat ketiga orang di antara mereka. Wajahnya sangat familier. Tidak perlu dijelaskan bahwa ia mendadak ketakutan karena nama yang terlintas di kepalanya terhubung langsung dengan kejadian di hari hujan kemarin.
Ya—ini gawat kuadrat.
Irfan dengan para pengikutnya langsung menyeringai ke arahnya, seolah mereka memang menunggu 'Hazel' datang ke sana.
"Mau apa lo?"
Yang pertama kali dirasakan Julian setelah melontarkan pertanyaan itu hanya satu; sakit. Mendadak rahang kiri milik Julian terasa sangat sakit hingga pandangannya berputar. Sebelum ia mampu mencerna kejadian yang sebenarnya, sebuah tinju kanan yang kuat menghantam rahang kirinya untuk kedua kalinya.
Sial, ia berdarah.
Tubuhnya terhempas dengan kuat ketika Irfan mendorongnya ke tanah. Sikunya terasa nyeri setelah bergesekan dengan tanah kering yang penuh dengan kerikil. Ia merasa ada sesuatu yang terbang dan jatuh mengenai kepalanya—sampai ia sadar bahwa itu adalah beberapa lembar foto. Matanya langsung membelalak ketika menyadari objek dalam foto tersebut adalah 'Hazel' dan Indri, di kedai kopi waktu itu.
Dua orang dari mereka mencekal masing-masing lengannya hingga kembali berdiri. Di depannya, Irfan dengan wajah mengeras terus mengumpatinya dengan kasar. Berkali-kali perutnya dihantam dengan sangat kuat, membuatnya terbatuk. Julian cuma bisa merutuk kenapa foto-foto itu bisa ada di tangan Irfan.
"Jangan, Kak. Kasihan Kak Hazel. Kak, jangan!"
Sayup-sayup Julian mendengar tangisan seorang perempuan di dekatnya. Julian sangat mengenali suaranya—itu Indri. Perempuan itu meronta dalam dekapan salah satu dari mereka ketika berniat menggapai tubuh Julian. Teriakannya mengundang beberapa orang yang menuju ke sana—namun tidak ada yang berani melerai.
Irfan tidak mengindahkan suara adiknya, ia menarik sejumput helai Julian dan membuatnya mendongak menatapnya. "Itu yang lo dapet kalo main-main sama adek gue, anjing!"
Julian menutup sebelah mata sembari meredakan rasa perih yang melanda otot perutnya. Beberapa orang sudah terlihat melerai, namun geng tersebut sepertinya tidak peduli dan ikut menghajar mereka.
"Kak Irfan, please. Stop, Kak!"
Indri terus memberontak saat sang kakak kembali melayangkan tinjunya ke wajah Julian. Sudut bibirnya sudah terlihat sobek yang mengucurkan darah. Hidungnya juga sama. Ini adalah pemandangan mengerikan yang pernah Indri lihat secara langsung. Ini yang ia takutkan jika dirinya mengaku pada Irfan—tapi ia berani bersumpah kalau ia tidak mengadukan apa pun pada kakaknya. Kenapa bisa sampai seperti ini?
Sementara di tempat lain, Lina berlari tergopoh-gopoh kembali ke dalam gerbang sekolah. Kengerian yang ia saksikan di depannya membuatnya merasa harus melaporkan tindakan itu pada pihak sekolah. Tidak, bukan karena korban pemukulan yang ia lihat itu adalah Hazel—semata-mata orang yang disukainya. Tapi, ini karena murni kewajibannya sebagai siswa yang baik dan menentang kekerasan.
Tanpa buang waktu lagi Lina menggapai pintu kantor dan langsung terjatuh ketika dari arah yang berlawanan Hazel baru saja keluar dari sana. Hazel terkejut melihat perempuan—yang diingatnya sebagai teman sekelas Julian yang bawel, itu menangis di tempatnya terjatuh.
"Eh, sorry, lo nggak apa-apa, 'kan?" tanyanya panik, setengah geli.
"Juliaaaaan! D-Di sana!! Di sana ..." ujar Lina dengan kacau, menunjuk ke arah gerbang dengan siswa yang berlalu lalang.
Hazel mengernyit. "Kenapa, Lin? Cerita yang jelas, ada apa?"
Menarik napas dalam, Lina melanjutkan, "Kak Hazel, Jul. Kak Hazel dipukulin di sana. Tolong laporin guru!"
"Hah ... di mana?"
"Di deket gang tempat kost puteri yang samping kanannya masih pohon-pohon pisang itu, Jul. Di deket warung klontong, depannya persis. Masuk ke—"
Lanjutan dari kalimat Lina tidak lagi Hazel dengar. Kakinya sudah melangkah menjauh tanpa repot-repot membantu Lina untuk berdiri. Ia disergap ketakutan. Bodoh, bodoh! Karena dirinya lagi, Julian harus menanggung bebannya.
Beberapa orang tampak mengerubung begitu Hazel sampai di tempat yang diberitahu Lina. Terdengar teriakan marah—yang, astaga, Hazel ingat sekali siapa pemilik suara itu. Berikut suara tangis Indri di sana. Tanpa buang waktu, Hazel segera merangsek ke dalam kerumunan hanya untuk mendapatkan pemandangan ngeri. Irfan sudah dicekal oleh beberapa anak sembari mengumpati Julian yang masih terduduk di tanah dipegangi oleh Indri.
"Lepas! Lepasin gue!" teriak Irfan, dengan tenaga yang kuat ia berhasil meloloskan diri dan menarik tangan Indri. Beberapa foto yang masih ada di tangan Irfan dilempar begitu saja ke arah Julian. "Kita pulang, Indri. Jangan berani macem-macem atau mau gue laporin ke Papa?"
Mendapat ancaman seperti itu Indri tidak bisa berkutik selain mengikuti mau kakaknya. Kerumunan bubar sedikit demi sedikit dan tersisa beberapa orang di sana membantu Julian.
"Nay, lo nggak apa-apa, 'kan?" tanya Hazel, panik.
Rasa penasaran Hazel menguat begitu tangannya meraih beberapa lembar foto dan melihat isinya. Mengabaikan bagaimana wajah Julian yang mendadak ketakutan, ekspresi Hazel justru mengeras setelahnya.
"Ini maksudnya apa, Nay?" desis Hazel. "Jelasin ini maksudnya apa?!"
tbc.