Seperti biasa, Vrans sedang berkutat dengan beberapa tumpuk berkas penting yang memang harus di periksa olehnya. Perihal Xena yang izin cuti membuat Erica sedikit kewalahan dengan pekerjaannya yang semakin menumpuk. Ia menghembuskan napas panjang, dan merenggangkan kedua tangannya yang terasa pegal karena dipakai untuk mengetik dan menulis terus menerus. Ah melelahkan, tapi di dunia ini tidak ada kesuksesan tanpa usaha, kan?
Tiba-tiba pikirannya terlintas wajah Xena. Ah, dasar gadis Pluto yang menyebalkan! Bagaimana bisa di situasi yang super duper sibuk seperti ini gadis itu melintas dalam pikirannya? Ingin meledek dirinya atau apa? Huh!
Membicarakan tentang Xena, jujur ia sangat khawatir. Terlebih lagi mereka memang tidur sekamar, dan ia tahu Xena sering bermimpi buruk dan berteriak ketakutan bahkan gadis itu tidak segan-segan memeluk dirinya tanpa sadar. Tidak, bukan pikirannya liar atau apa, ia sama sekali tidak ingin merusak Xena atau apapun itu. Di peluk dalam posisi senyaman itu tentu ia bahagia, tapi rasa bahagia itu terkalahkan dengan perasaan cemas yang berkepanjangan.
Gadis cerewet yang menyebalkan, suka sekali berteriak, dan tidak tahu malu. Tiba-tiba saja menjadi sosok gadis yang suka melamun dan tatapannya sering kali terlihat kosong. Ia harus menyelidiki hal ini sebelum semakin membesar.
Baru saja ingin kembali fokus pada kerjaannya, ponselnya berdenting tanda ada pesan masuk.
Pluto
Vrans?
Ia tersenyum kala melihat pesan dari Xena masuk ke dalam ponselnya. Dengan senyum mengembang, ia membalas pesan itu dengan cepat. Ia tidak ingin Xena menunggu balasan pesannya terlalu lama.
Vrans
Apa, sayang?
Pluto
Tidak ada apa-apa.
Ia menaikkan sebelah alisnya. Kebiasaan Xena itu memang seperti ini. Sudah ingin membicarakan sesuatu, tapi tidak jadi. Sangat membuat penasaran. Memang gadis Pluto menyebalkan, sayangnya ia mencintai gadis itu.
Vrans
Kamu membuatku penasaran, gadis Pluto.
Pluto
Hei jangan memanggilku seperti itu, bosayang!
Vrans terkekeh. Hanya kalimat seperti itu saja mampu membuatnya seperti ini. Hilang sudah sifat dinginnya saat berurusan dengan Xena, si gadis yang awalnya memang sangat mengganggu dirinya.
Vrans
Memangnya kenapa? Bagus kok.
Pluto
Ya pokoknya jangan lah!
Vrans
Yasudah, maunya apa?
Pluto
Baby bagus, honey, sweetie, sweet heart, darling, love, my love. Kan banyak.
Vrans
Nanti aku panggil kamu Ena aja, gimana?
Pluto
Mesum banget sih kamu!🤬
Vrans tertawa, padahal niatnya bukan seperti yang Xena pikirkan. Xena, dipanggil Ena? Benar kan dirinya? Memang gadis ini sangat perasa.
Vrans
Maaf sayang,
Pluto
Aku mau kamu pulang Vrans, aku mau makan sama kamu.
Vrans tersenyum, sepertinya bukan ide yang buruk mengingat dirinya belum makan siang sama sekali. Ia segera menyusun kembali beberapa kertas yang berserakan di mejanya, lalu mengemasi laptopnya.
"Tuan Bos."
Baru saja Vrans ingin keluar dari ruang kerjanya, Erica masuk dengan tergesa-gesa. Sepertinya gadis itu ingin menyampaikan sesuatu. Wajahnya terlihat cemas sekaligus takut. Ada apa dengannya?
"Kenapa?" Ucap Vrans.
"Paula ingin menemui mu, dia berada di ruangan saya." Ucap Erica.
Vrans menaikkan sebelah alisnya. Ia terkejut. "Untuk apa? Saya ada janji makan siang dengan Xena." Ucapnya dengan sedikit tidak berminat menemui gadis yang menjadi alasan hancurnya memori Xena.
"Tapi sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, Tuan." Ucap Erica sambil menggaruk tengkuknya. Sejujurnya dia juga tidak enak mengetahui Vrans yang akan makan siang bersama sahabatnya. Tapi mau bagaimana lagi, bisa jadi ini menyangkut hidup dan mati Xena. Siapa tahu, bukan?
Vrans menghembuskan napasnya dengan kasar, ia sudah menebak pasti Xena sudah menyuruh Dion untuk memasakkan makanan untuknya. Ia takut gadis itu kecewa, tapi ini tidak kalah pentingnya.
"Kalau ternyata tidak penting, aku akan lempar tubuh Paula ke luar gedung."
...
Paula menatap cemas ke arah ujung high heels yang dikenakannya. Hatinya bimbang, namun ia harus jujur bagaimana pun caranya. Ia sudah salah dalam bertindak, mungkin dengan hal ini ia bisa menebusnya.
Tok tok tok
Ia diam saja melihat seorang gadis yang masuk ke dalam ruang kerja milik gadis lain yang bernama Erica, kalau tidak salah, ia buruk dalam hal mengingat.
"Siapa kamu?" Tanya gadis itu dengan nada menyelidik. Paula tau siapa gadis ini, dia sahabat dekat Xena. Si gadis yang dengan keberuntungannya bisa mendapatkan hati Vrans, hati laki-laki yang ia dambakan.
"Aku mau ketemu Vrans." Ucapnya.
"Oh."
Tatapan matanya mengikuti langkah kaki Orlin, ternyata gadis itu ingin duduk di sofa yang terletak di seberangnya.
"Kamu kenal Erica?"
Paula mengangguk.
"Kok bisa?"
"Karena Erica adalah sekretaris di perusahaan ini."
Paula hanya mengangguk saja. Tingkah banyak tanyanya ini membuat Paula merasa jengkel. Ia tidak suka dengan orang yang terlalu mengurusi urusan orang lain. Seperti tidak ada kerjaan saja!
Ia mengabaikan tatapan mata Orlin yang masih menatapnya dengan curiga sekaligus penasaran. Ada gadis ini sudah tau mengenai dirinya?
Fyi aja ya, Paula kenal dengan Orlin berkat bantuan pembunuhan bayaran itu, Hana dan Sean. Data yang diberikan mereka sangat lengkap dan akurat. Patut di acungi jempol. Tapi untuk ukuran pembunuh bayaran, itu terdengar biasa saja.
Ceklek
Kedua pandangan Paula dan Orlin dengan refleks menatap ke arah pintu yang terbuka, disana terlihat Erica dengan Vrans yang menekuk wajahnya. Sepertinya laki-laki itu dalam mode marah dan kesal bercampur menjadi satu. Nyalinya menjadi menciut. Astaga!
Dengan keberanian yang di kumpulkannya, Ia maju mendekati Vrans lalu tanpa aba-aba memeluk tubuh laki-laki itu. Sontak membuat Orlin terkejut setengah mati.
"WOAH, APA-APA INI?!" Teriaknya kesal. Tidak habis pikir gadis itu dengan seenaknya memeluk Vrans, sahabatnya saja susah payah nahan keinginan untuk memeluk laki-laki itu, eh gadis ini dengan mudahnya bisa memeluk Vrans. Orlin murka.
Erica yang melihat Orlin sudah diambang batas kekesalannya, ia langsung menahan tubuh gadis itu. "Kamu diam disini saja karena kamu tidak tahu apa-apa. Makanya jangan jalan terus sama Niel!" Ucapnya sambil mengelus pundak sahabatnya dengan pelan seolah-olah mengatakan jika dia harus tenang.
Orlin bungkam.
Balik ke Vrans, ia menatap gadis itu dengan dingin. Tidak ada lagi tatapan hangat apalagi membalas pelukannya. Semuanya sirna mengingat perlakukan Paula yang terlewat batas. Sepertinya gadis itu memiliki sifat yang sama dengan Valleri, iya kan?
"Lepas." Ucapnya dingin.
Tubuh Paula tersentak. Tidak, ia belum siap diperlakukan sebegini dinginnya oleh Vrans. Ayolah mereka bersahabat, bukan? Dengan terpaksa dan sedikit mendengus kesal, ia menjauhi tubuhnya. "Maaf."
Vrans berdecih. "Katanya kamu sakit, terus ini apa? Sehat-sehat aja!" Bentaknya dengan mata yang sudah memerah. Ia sangat kecewa, sahabat yang paling ia sayangi benar-benar telah membohongi dirinya. Ketahuilah, ini lebih sakit daripada di putusin doi.
Dengan keberanian yang ia buat-buat, Paula menatap Vrans dengan mata yang mulai memerah menahan tangis. "Maaf, Vrans. Aku bisa menjelaskan semuanya."
"Kamu kan yang merencanakan ini semua? Kecelakaan Xena sampai hari dimana gadis itu ingin di bunuh oleh seseorang!"
Emosi Vrans sudah memuncak.
"Aku ingin menjelaskan semuanya, please dengarkan aku dulu, Vrans."
Erica yang melihat Vrans akan menolak ucapan Paula, segera berkata, "Tuan, lebih baik kita dengarkan penjelasannya dulu."
Vrans menghembuskan napasnya.
"Baik, tapi jangan harap setelah ini aku dan Klarisa masih memandang mu sebagai sahabat."
...
Next chapter...
❤️❤️❤️❤️❤️❤️