Vrans menenggelamkan kepala di lipatan tangan di meja kerjanya. Ia memikirkan kejadian yang hampir merenggut nyawa Xena jika ia tidak bergegas datang dan menabrak laki-laki itu, pasti kejadiannya akan lebih buruk dari ini. Anehnya, sampai sekarang pihak kepolisian itu sendiri menyerah karena tidak ada jejak yang dapat dilacak. Sudah selama ini, jejak laki-laki misterius dan seseorang yang menabrak Xena itu masih belum ditemukan. Bisa jadi, dia masih mengincar gadisnya sampai saat ini.
Entah apa yang dilakukan Xena. Setau dirinya, gadis itu hanya gadis polos yang periang tidak mungkin punya saingan atau musuh sekalipun. Apa yang di incar sebenarnya? Apa ini ada hubungan dengan dirinya? Tapi apa?!
Vrans mengacak rambutnya kasar.
Bahkan kejadian yang jauh dari kata sepele ini belum terpecahkan. Dan pihak kepolisian menutup kasus ini dengan perasaan sangat menyesal karena tidak menemukan bukti apapun. Apa perlu ia memberitahu Leo mengenai hal ini? Supaya ayahnya itu mengerahkan banyak agen FBI untuk memecahkan ini semua. Apa perlu?
"Tuan?"
Ia mendongakkan kepalanya, dan terdapat Erica yang berjalan masuk. Sambil membawa laptopnya. Entah untuk apa itu.
"Apa?"
Lihat? Bahkan sifatnya masih sama dinginnya dengan dulu. Ia berubah hanya pada Xena dan untuk Xena. Tidak berlaku untuk orang lain.
"Saya mendapatkan informasi mengenai laki-laki yang mengejar Xena malam itu."
Seketika, Vrans tertarik untuk ingin lebih tau lagi. Ia bangkit dari duduknya dan menyuruh Erica untuk duduk bersamanya di sofa supaya lebih leluasa membahas hal ini.
"Apa yang kamu dapatkan?"
Tidak dapat dipungkiri, raut wajah Vrans berubah menjadi mode seram dan mematikan. Ingat loh, hanya karena Xena. Ia merasa sangat marah dan ingin sekali memukul wajah siapapun yang berhasil membuat senyum gadisnya memudar.
"Mobil Lamborghini Huracan LP610-4" ucap Erica sambil meneliti layar laptopnya.
Vrans menaikkan sebelah alisnya meminta penjelasan yang lebih rinci lagi.
"Yang menabrak Xena dua bulan setengah yang lalu." Sambung Erica.
Napas Vrans memburu, ia mengepalkan tangannya. Mencengkram kuat tuxedo hitam yang di pakainya. Ia berjanji, siapapun pengendara mobil hitam itu ia tidak akan melepaskannya.
"Siapa yang mengendarai mobilnya?" Tanya Vrans to the point. Ia tidak ingin berlama-lama yang pastinya membuat emosinya tersulut.
Erica menghela napas. Jujur, dalam menangani kasus seperti ini terlalu mudah untuknya. Namun kali ini, pelaku itu sepertinya memang sangat profesional. "Sayangnya rekaman CCTV dari salah satu toko yang merekam jelas kejadian tersebut tidak terlihat siapa pelakunya."
Vrans mengacak rambutnya frustasi. Hal ini bukanlah hal sepele yang bisa dilupakan begitu saja.
"Maaf aku hanya mendapatkan itu saja sejauh ini." Ucap Erica lagi sambil menghela napasnya.
Vrans mengangguk. Informasi yang diberi Erica sangat bermanfaat untuk sebuah permulaan.
Tok
Tok
Tok
Mereka serempak menoleh ke arah pintu. Muncul Xena dibaliknya dengan penampilan sangat berantakan dengan mata memerah. Membuat Vrans panik dan langsung menghampiri gadis itu.
"Ada apa?"
Xena menitikkan kembali air matanya lalu memeluk Vrans dengan erat. Ia menangis sesenggukan membuat Vrans dan Erica bertanya-tanya karena merasa kebingungan dengan kedatangan gadis itu.
Perasaan Vrans tidak enak.
Ia menggiring Xena untuk duduk di sebelah Erica dan memberi gadis itu air mineral guna menenangkannya.
"Ak-aku, Puddie sakit." Ucap Xena parau.
Vrans menghela napasnya. Puddie merupakan anjing puddle yang baru di beli Xena satu minggu yang lalu.
"Kata dokter dia harus di rawat selama beberapa hari di rumah sakit hewan."
Erica terkekeh. Perasaannya dan Vrans sudah tidak karuan melihat penampilan Xena, ternyata hanya karena anjing puddle mereka yang sakit.
"Aku kira laki-laki itu kembali mengejarmu." Ucap Vrans lembut, ia membiarkan Xena menyandarkan kepalanya pada pundaknya.
"Tidak, aku sangat menyayangi puddie. Apa dia akan sembuh?"
Vrans mengecup kening Xena. Lalu dengan gerakan mata ke arah Erica seolah-olah menyuruh gadis itu untuk pergi dari ruangan ini.
"Sepertinya kamu menyayangi puddie lebih dariku."
...
Toy's "R" Us
📍Amerika Serikat, New York City
Orlin melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko mainan yang sangat terkenal di New York. Langkahnya kian melambat melihat beberapa mainan yang mungkin disukai oleh adiknya Niel. Ya, hubungan mereka sudah sampai sejauh ini. Laki-laki itu sudah memperkenalkan dirinya ke keluarga besar Alvaro. Berbeda dengan Vrans dan Xena. Dekat sudah lama, baru memulai hubungannya sekarang. Menyedihkan.
"Aku belikan boneka beruang, berbie, atau lego ya? Bagus semua ih."
Namanya Gisella Cintya Alvaro. Gadis kecil yang sangat manis dengan gigi kelincinya, dan jangan lupakan lesung pipi yang tercetak jelas di kedua pipinya. Ia juga menyukai beraneka ragam mainan, gadis kecil itu juga tidak peduli dengan mainan khusus anak laki-laki. Yang ia tahu, itu mainan, dan dirinya suka. Yasudah, namanya juga anak-anak, bukan?
Berkeliling dengan dress bewarna navy yang memperlihatkan pundaknya yang putih bersih, tentu saja Orlin menjadi pusat perhatian orang-orang. Beberapa anak-anak memuji dirinya sebagai barbie berjalan. Berlebihan memang, namun seperti itulah imajinasi anak kecil.
Setelah lumayan lama berkelana dan belum mendapatkan hasil, matanya terpaku melihat sebuah boneka lumba-lumba berwarna biru.
Ia tersenyum senang, lalu mengambil boneka tersebut. Hanya satu-satunya, camkan!
Ia tersenyum senang membayangkan wajah Lala yang memeluk dirinya dengan hangat dengan sebuah senyuman manis. Ah memikirkannya saja membuat dirinya terasa bahagia.
"Apa ini saja cukup, ya?"
Menggeleng sebagai jawabannya sendiri, ia kembali berkeliling dengan keranjang belanja yang sudah berisi boneka lumba-lumba.
Ia sama sekali tidak bermaksud untuk menarik perhatian Lala supaya Niel semakin sayang padanya. Mengingat dirinya yang tidak mempunyai seorang adik, membuat dirinya merasa senang kala Lala menerimanya dengan baik. Bahkan pernah beberapa kali gadis kecil itu memintanya untuk menginap hanya dengan alasan 'aku belum puas bermain dengan kakak' membuat dirinya dengan senang hati tidur berdua Lala sambil membacakan dongeng sebelum tidur.
Merasa tidak ada yang menarik, ia segera menuju ke kasir dan membayar boneka yang akan ia berikan untuk Lala. Setelah melakukan pembayaran, ia bergegas menuju mobil. Namun langkahnya terhenti melihat seorang gadis dengan gerak gerik yang aneh. Merasa penasaran, ia mengikutinya secara diam-diam. Dan sampailah di gang kecil yang jarang di lalui orang. Orlin bersembunyi dibalik tempat sampah besar supaya dirinya tidak terlihat dari sudut manapun. Ia mengeluarkan ponsel dari saku bajunya dan menuju aplikasi untuk merekam suara apapun yang gadis itu katakan. Untuk jaga-jaga.
"Bagaimana?" Suara gadis itu.
Tiba-tiba suara bariton khas laki-laki terdengar. Jujur ia sangat ingin melihat wajah mereka berdua, namun nanti dirinya ketahuan menguntit. Jadi hanya terdengar suara yang lembut dan sedikit cempreng dan suara bariton yang rendah.
"Aku belum mendekatinya--"
"APA?!" pekik gadis yang ia lihat tadi.
Sepertinya ucapan laki-laki itu terpotong.
"Diam, jangan terlalu kencang nanti ketahuan orang." Sambung laki-laki itu.
Memangnya mereka ingin melakukan apa? Rasa penasaran Orlin semakin besar, dan mulai mempertajam pendengarannya.
"Lakukanlah dengan segera."
"Akan aku usahakan. Tapi sepertinya ada yang memberikan rekaman CCTV itu saat aku berusaha untuk mengancam sang pemilik toko."
"Apa-apaan?!" Terdengar nada marah dari mulut gadis itu. "Paula tidak akan menyukai hal ini."
Paula? Siapa dia?
"Lebih baik kita harus berhati-hati mulai sekarang, apalagi Vrans sudah semakin dekat dengan gadis itu."
Apa mereka sedang membicarakan Xena?
"Xena Carleta Anderson, akan merasakan apa yang Paula Victoria Davinci rasakan. Camkan!"
Pada detik ini juga, Orlin tau jika mereka adalah dalang dari semua kejadian yang menimpa sahabatnya, Xena. Tapi bagaimana ini? bahkan untuk melihat wajahnya saja dia tidak bisa. Astaga!
"Ini uang bayaran untuk kamu, Paula sudah memberikannya ke dalam rekeningku. Selamat bekerja."
"Lalu bagaimana dengan mu?"
"Masih sama, menjadi pemain belakang saja. Jika ada saat yang tepat, aku akan keluar."
Suasana hening seketika. Orlin cukup pintar untuk tidak keluar dari persembunyiannya. Takut laki-laki itu masih berada di posisinya.
Selesai! Ia menyudahi rekaman di ponselnya untung saja ponselnya dalam keadaan mode diam, kalau tidak panggilan telpon dari Niel akan terdengar.
"Jangan bersembunyi, keluarlah."
Deg
Seketika lutut Orlin lemas.
...
Next chapter...
❤️❤️❤️❤️❤️❤️