Chereads / Aimaiken : Triangle Monoline / Chapter 2 - Chapter I - Kastil Guild Margavalla

Chapter 2 - Chapter I - Kastil Guild Margavalla

__________________________

Rembulan terbangun dari tidurnya ketika mentari ditelan langit barat. Cahaya bulan, yang di dominasi rona merah menghujani mata tajam burung gagak. Mereka terlihat bertengker di pepohonan seolah menyambut datangnya kegelapan, sebagian berada di atap melahirkan suasana mengerikan.

Perhatian burung menyebar ke sekitar. Seorang pria berambut pirang, membuka gerbang kastil. Pria itu berjalan sangat tenang dengan pandangan sedikit menunduk. Sebagian burung gagak turun untuk menyapanya, namun justru suara mereka terdengar tidak semestinya; seperti teriakan kematian yang sangat menggaggu. Pria itu merespon dengan mengambil sebuah batu lalu melemparnya ke arah mereka.

Puluhan burung gagak seketika mengepakkan sayapnya seakan melarikan diri. Beberapa helai bulunya sempat terlepas lalu terjatuh berputar-putar. Saat sampai di tanah berumput hijau, angin bertiup kencang membawanya pergi bersama sampah dedaunan kering.

Pria berambut pirang itu sudah berdiri di atas teras kastil, pintu diketuknya lalu menunggu untuk dibuka. Sesaat pandangan tertuju pada sekitar, keadaan kastil terlihat mewah di pandang mata. Dinding kokoh berwarna putih, jendela tinggi dihiasi kaca warna-warni, atapnya hitam melebar seperti kerucut, bahkan beberapa bagian ditumpu oleh pilar-pilar besar yang kokoh.

Beberapa menara menjulang tinggi ke angkasa seakan menunjukkan kemegahannya. Lantai teras terlihat luas dan bersih, bahkan beberapa tempat terlihat ada kursi berjajar rapi, kursi itu berbentuk lebar sangat panjang seakan khusus untuk bersantai dalam kemewahan.

Halaman sekitar kastil sangat luas, mungkin bila diratakan bisa dibangun sebuah gedung di atasnya. Namun, tentu saja tidak mungkin, halaman itu terlalu indah untuk sekadar dihancurkan, di atasnya ribuan bunga tumbuh dengan bebas seakan ingin menginvasi rerumputan dan pepohonan rindang. Kolam-kolam air mancur sangat jernih, tak satupun tidak dihuni ikan. Bahkan, kunang-kunang yang amat langka hadir menari-nari di atasnya, mereka seakan berusaha menata keindahan meskipun kegelapan sejarah telah hadir menerpa wilayah.

Kastil ini meskipun sangat megah, bangunannya sudah berdiri selama ratusan tahun. Di bangun di atas tanah khusus Akademi yang hanya bisa ditempati oleh para atasan terhormat, seperti kepala sekolah dan jajarannya.

Namun, keberadaan mereka seakan bersembunyi di suatu tempat yang jauh dari jangkauan, semua terjadi ketika Akademi Api Gakuin didirikan menggantikan Akademi yang telah bertahan ratusan tahun. Para siswa memutuskan memisahkan diri karena merasa dikhianati dari satu kejadian besar. Tak satupun dapat mengelaknya, sekalipun dia peduli.

Begitupun dengan Akademi Air Gakuinia, nama akademi ini, umurnya sama saja mudanya, kini tak lebih daripada mantan saudara. Hanya kebencian yang menyertai tali hubungan keduanya, meskipun dahulu termasuk alamamater Akademi yang satu. Tak segan keduanya membagi wilayah dengan pertarungan sengit yang disebut pertarungan satu malam; pertarungan yang dihiasi dengan lautan kekuatan penuh keangkuhan, yang menewaskan nyaris 10 persen populasi Akademi, sangat disayangkan.

Sebenarnya hari kemarin di tempat ini hanya berdiri sebuah akademi besar yang tak tertandingi. Akademi yang dibangun di tengah pulau, seluruh wilayah terisolasi benteng besar sejak ratusan tahun yang lalu. Akademi Gakuin, begitulah sebutannya, terdengar seperti nama belakang dari Akademi Api Gakuin, tapi itu sudah sangat berbeda.

Akademk Api Gakuin hanyalah akademi yang dikuasai oleh lelaki. Seluruh muridnya pun lelaki—tak ada mayoritas ataupun minioritas—semuanya hanyalah lelaki yang penuh dengan kekuatan dan anarki.

Sedangkan Akademi Air Gakuinia, ini hanyalah kebalikannya, segalanya dikuasai oleh para gadis. Jalan-jalan, gedung ke gedung, hingga persenjataan, tak ada yang bisa menyentuhnya selain para gadis.

Tidak dengan Akademi Gakuin, akademi ini sebelumnya sangatlah damai. Ribuan guru hadir untuk memberikan dorongan jikalau ada satu dua murid yang merasa kurang. Puluhan ribu murid bangkit untuk mengejar impian—segalanya hadir dengan penuh harapan, sangat menjanjikan! Tapi segalanya, harapan-harapan yang telah terpupuk ataupun terpuruk kini sama saja, hanyalah sesuatu yang tak terlihat seolah bukan lagi hal istimewa. Sudah hilang menguap tak kembali. Kehangatan itu—belajar dan berdiskusi—berakhir hanya kenangan dan kebencian.

Ini warisan pahit dari pernikahan hari kemarin! Kenapa pernikahan itu harus ada!—setidaknya itu yang dipikirkan semua murid akademi. Tidak mungkin bila tak peduli, karena setiap perpecahan apapun yang terjadi, murid sesungguhnya tidak menyukainya. Hatinya seakan ingin berteriak, namun tidak bisa apa-apa, karena keberadaan dirinya hanyalah tokoh sampingan belaka. Tidak memiliki kekuatan apapun selain mengikuti arus cerita.

Sejatinya sikap murid sekarang memang seperti itu, tapi saat itu berbeda, semua dibutakan karena cinta. Ribuan guru mengira dengan pernikahan kedua pemimpin dari perwakilan siswa dan siswi akan membawa lingkungan akademi menjadi lebih hangat. Hal itu didukung oleh seluruh penjuru murid karena bagi mereka kedua mempelai itu adalah panutan terbaik.

Tidak, kenyataannya cinta membuat segalanya sengsara! Buktinya kini tak ada lagi kasih kecuali saling merendah-tinggikan derajat. Berperang bukan lagi hal yang enggan, tetapi sudah berbalik seperti tontonan yang wajar, bahkan bisa menjadi kegiatan yang harus dilakukan.

Kini nasi sudah menjadi bubur. Air susu sudah tercampur dengan air tuba. Kenangan yang kemarin menyinari akademi, dan membuat kisah-kasih terasa manis, mungkin saja sudah mengalir menghilang terbuang tak bersisa, menguap layaknya memang tak pernah ada. Sudah tak mungkin kembali lagi seperti mentari yang masih ada hari esok, seperti kucing yang masih akan datang untuk meminta makanan meskipun dia pergi. Dunia sudah biasa memasuki alur cerita rumit seperti itu.

Pintu seketika terbuka. Seorang pelayan muda hadir dengan senyuman manis. Lamunan pria itu pun hilang, pandangannya terfokus pada pelayan di hadapannya.

"Apakah anda Jonathan Fairel Atharizz?" lirih pelayan itu. Wajahnya tampak sangat muda seumur dengan pria rambut pirang, hanya saja tatapan matanya begitu tajam seolah sangat hati-hati.

"Ya, ini saya. Panggil saja Jon. Rinsei pun memanggil saya begitu," jawab pria itu.

"Bisakah saya melihat statusnya?" lanjut pelayan itu membuat Jon terdengar menghela napas.

Dia lalu mengaktifkan status yang memperlihatkan data dirinya. Status itu seperti tabel transparan bercahaya yang di dalamnya terdapat tulisan berupa data.

[ Status ]

[ Name : Jonathan Fairel Atharizz ]

[ Guild : Margavalla - Api Gakuin ]

[ Sigil : Listrik / thunder / volt element ]

[ LVL : 32 ] [ Class : Tough Platinum II ]

[ EXP : 708,500 / 1,208,500 ]

[ HP : 2,317,000 / 2,317,000 ]

[ MP : 2,312,000 / 2,312,000 ]

[ STR : 47 ] [ VIT : 51 ]

[ AGI : 42 ] [ INT : 60 ]

[ ATK : 27,571 ] [MATK : 41,435 ]

[ DEF : 38,650 ] [ MDEF : 66,097 ]

"Baik, data tidak ada yang salah," ujarnya sambil membuka pintu mempersilahkan masuk, "mari saya antar menuju ruangan."

Mereka berdua lalu memasuki ruangan. Pintu ditutup menciptakan keheningan seakan sudah tak lagi terhubung dengan dunia luar. Lampu kuning terlihat terang layaknya mentari, tak ada satupun ruangan dalam gelap. Dua arah lorong terlihat memanjang. Di tengahnya terdapat karpet merah. Di sisinya pot bunga sebagai penghias.

Jon berjalan terus mengekori pelayan itu. Pandangannya memang mengalir bagai air, entah sedang waspada akan mara bahaya atau memang sedang kagum akan kemewahan, rautnya terlihat sama. Mata seketika terfokus begitu mendapati sebuah ruangan aneh, temboknya bercat merah darah sehingga tampak gelap. Tak ada lampu terang di dalamnya, hanya kobaran api dari kayu-kayu yang terbakar di perapian. Asapnya tak mengepuli ruangan, terlihat melayang begitu saja melewati cerobong asap.

Lukisan itu, di atas perapian sangatlah mencolok. Bentuknya sangat besar—berbentuk persegi panjang dan dilapisi bingkai perak berkilauan—menampilkan lukisan seorang pria muda dengan ekspresi angkuhnya. Tidak ada yang tahu, apa itu menggambarkan hati pria itu atau mungkin memang si pelukislah yang sengaja menyembunyikan arti rahasia di dalamnya.

"Lukisan itu menggambarkan Rinsei Gen, bukan asli dari kastil ini," jelas pelayan itu begitu mendapati Jon terdiam dalam langkahnya.

"Rinsei Gen? Memang gambar yang menarik."

Rinsei Gen—sebenarnya Jon sudah mengenalnya sejak dahulu. Dia dikenal sebagai siswa yang sangat baik dan tegas dalam hal kepemimpinan, sangat tidak aneh orang sepertinya menyukainya. Lukisan bertema vampir penghisap darah yang katanya sangat menggambarkan tentang jati dirinya. Matanya sungguh merah seperti mata pembunuh dan tubuhnya hanya dibungkus pakaian serba hitam yang dapat mengelabui mata siapapun.

Rinsei Gen memang bukan orang biasa. Dia memimpin Guild Margavalla yang telah mengendalikan sebagian akademi, termasuk Jon sendiri sebagai bawahannya.

Menurut informasi, Rinsei Gen memiliki sekitar belasan ribu murid yang patuh padanya setelah kekacauan terjadi. Jon mengira, mungkin saja dirinya akan direpotkan oleh perintah penguasa itu, ribuan murid yang patuh pada segala perintah bukanlah hal yang dapat disepelekan, entah itu berperang ataupun melakukan aktivitas lainnya. Namun, hal itu tidaklah menyenangkan, bahkan Jon sendiri sempat menolak untuk diundang ke dalam guildnya. Tentunya, karena ia tidak ingin bertanggungjawab dan merasa bersalah bila ada nyawa yang melayang, apalagi keadaan akademi saat ini seolah dipenuhi cengkraman ketakutan.

Sebelum menembus jalanan sepi akademi untuk memasuki halaman kastil, Jon sempat memerhatikan suasana bagian akademi yang kini masuk menjadi wilayah Akademi Api Gakuin. Semua yang terlihat hanyalah para lelaki yang tidak bermoral—nyaris seperti orang gila karena pertempuran kemarin—pertempuran saling membunuh satu sama lain, bukan perang seperti di arena pada umumnya, melainkan perang berdarah antar pria dan wanita. Ya, hanya perbedaan gender! Sungguh ironis!

Perang itu hanya dibedakan dengan gender di mana pria dan wanita akan saling membunuh. Bila ada wanita yang hanya diam saja alias memilih tidak ingin membunuh, itu pilihan yang buruk karena pria lain akan segera membunuhnya atau paling buruk melecehkannya. Setidaknya itu sangatlah mencolok, karena pria dan wanita sangatlah berbeda perawakannya. Adapun wanita yang selamat ataupun sekarat, mereka semua disekap dan dijadikan budak—entah untuk apa.

Ah! Lagi-lagi Jon tak mampu menahan beban pikirannya yang sudah terlanjur mengingat segala kejadian itu—meski sebenarnya tak ingin diingat.

Beberapa langkah ke depan, setelah melewati ruangan serba bertembok merah itu, mereka tiba di pintu bercat coklat. Di samping kiri dan kanannya ada obor yang menyala-nyala membuat tubuh terasa lebih hangat. Pelayan itu membuka pintu. Puluhan pasang mata seketika beralih meliriknya. Terlihat Rinsei Gen sedang duduk di kursi tahta di hadapan para pengawalnya.

"Jon, tiba juga kau. Ada yang harus kita diskusikan," lontar Rinsei Gen dengan wajah serius.

__________________________