Qiana
Aku tidak tahu apa yang merasuki otak Devie saat ini. Bagaimana tidak jika cewek itu masuk ke dalam ruanganku seperti dia baru saja dikejar oleh penagih hutang.
Mengatakan jika ada tamu yang datang ke rumahnya. Tamu spesial, katanya. Aku mengira jika tamu yang dia maksud adalah kekasihnya.
Jadi, di sini lah kami sekarang. Bergabung dengan kendaraan lain untuk segera sampai di rumah Devie. Inilah yang aku sebal dari Devie kalau nggak bawa kendaraan sendiri, suka sekali merecoki orang lain.
Padahal, aku tadi sedang mengerjakan konsep pernikahan untuk salah satu klien kami. Ya, aku dan Devie memang bekerja sama untuk membangun bisnis berdua. Dia lulusan designer, jadi dia ahli dalam merancang pakaian. Sedangkan hobiku adalah mendekor, 'mengotak-atik' apapun, dan lulusan manajemen bisnis, membuat kami 'berduet' untuk mendirikan WO.
Mereka tidak perlu mencari designer untuk baju pengantin ke sana kemari karena sudah ada Devie yang menangani. Dan tentu saja mereka selalu bilang jika Devie lah yang terbaik. Mereka selalu puas dengan penanganan kita. Jadi, kita partner yang luar biasa bukan?
"Kok macet banget sih, Kak?" aku tersadar dari lamunanku dan menoleh kearah Devie yang tengah duduk tak tenang.
"Sabar dong Vie, emang se enggak sabar itu ya kamu pengen ketemu sama tamu spesialmu ini?" Devie tersenyum sambil mengangguk antusias. Senyum itu seperti mentari pagi yang begitu cerah.
"Iya, Kak. Kakak penasaran nggak sih sama tamu aku ini?" aku memutar bola mata malas mendengar pertanyaan yang menurutku tidak masuk akal. Lagi pula untuk apa aku penasaran dengan orang yang nggak ada sangkut pautnya sama aku.
"Enggak." tapi melihat Devie yang tersenyum licik itu membuatku merasa ada yang aneh. Dia ini bisa menjadi titisan iblis kalau otaknya sedang dalam mode 'nggak warasnya'.
"Yakin?" tanyanya lagi sambil masih menyeringai seperti pemeran antagonis di sinetron.
Aku hanya mengangguk dan membiarkannya terus berbicara sesukanya. Aku harus konsentrasi dalam menyetir jika ingin selamat.
Akhirnya, setelah berkutat dengan jalanan yang begitu padatnya, kami bisa sampai di rumah Devie dengan selamat. Dan bahkan saat mobil belum terparkir sempurna, dia sudah membuka pintu mobil dengan tak sabar, dan bilang.
"Ayo, Kak. Kakak juga ikut turun." Katanya yang ngebuat aku terasa agak jengkel.
"Aku pulang aja langsung ya." Kataku. Lagi pula sepertinya dia juga akan menghabiskan waktunya dengan tamunya itu, nggak mungkin juga kan aku nimbrung begitu saja. Lebih baik aku pulang dan istirahat saja di rumah.
Tapi sayangnya, Devie tak sependapat. Dia justru berdiri di samping pintu dan berkacak pinggang, "Nggak boleh." Katanya, "Kakak ikut masuk."
"Kamu kan ada tamu__"
"Pokoknya, Kakak ikut!" ucapannya seolah tidak bisa di bantah. Kalau sudah begini, dia bisa merajuk dan sangat merepotkan. Karena itu aku menghela nafas dan menyetujuinya. Lagipula mama dan papa pasti juga ada di rumah saat ini. Aku bisa mengobrol dengan beliau bukan?
Mama papa yang aku maksud tentu saja bukan orang tuaku, tapi orang tua Devie.
"Kakak cepetan ih." Devie lagi-lagi tak sabar dan menarik tanganku untuk segera bisa sampai di dalam rumah. Tapi yang aneh adalah, jika ada tamu spesial seperti yang dia bilang, kenapa tidak ada kendaraan lain yang terparkir di sana?
"Hati-hati dong, Vie." aku hampir kesandung karena tangannya yang menggandengku sedangkan kakinya berlari seolah tamu yang dia maksud akan segera pulang jika kita telat beberapa menit saja.
"Assalamualaikum." Devie langsung menuju ke arah ruang keluarga untuk menemui sang tamu spesialnya. Aku mengira jika hubungan Devie dengan orang tersebut sudah terjalin cukup dekat. Terbukti jika tamu spesialnya itu tengah makan malam bersama orang tuanya.
Memang ada suara percakapan antara tamu tersebut dan juga orang tua Devie, terdengar suara obrolan itu dari ruang tamu, hanya saja tentu aku nggak tahu apa yang sedang mereka obrolkan.
"Abang!" Kakiku berhenti di depan ruang makan yang menyatu dengan dapur, terpaku. Aku bisa melihat siapa tamu spesial yang Devie maksud. Lelaki itu, lelaki yang sekarang sedang memeluk Devie, adalah....
Tidak. Aku yakin aku sedang berhalusinasi sekarang. Tidak mungkin dia berada di sini sedangkan dia berjuang keras untuk bisa berkarir di negara orang.
Aku masih terdiam di tempatku saat mata kami bertemu. Kekagetan itu terpancar jelas di matanya. Sama sepertiku, dia juga terlihat kaget, atau mungkin dia juga tak menyangka kita akan kembali bertemu secepat ini.
*°*°*
Davie
Aku menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Aku masih memikirkan tentang pertemuan tak terduga kemarin.
Qiana, cewek yang dulu selalu mengurus semua keperluanku, cewek yang selalu menungguku saat aku belum pulang kerumah, dan memastikan kalau semua hal berjalan dengan baik di rumah kami.
Ya, rumah kami. Dulu saat kami masih terikat, kami memang tinggal berdua di sebuah apartemen yang diberikan oleh orang tua kami. Dan Qiana adalah cewek yang sangat cekatan mengurus rumah. Meskipun dia juga masih harus menyelesaikan kuliahnya. Dia adalah istri idaman, seharusnya.
Tapi karena aku yang sangat egois, aku selalu mengabaikannya. Aku menenggelamkan hidupku untuk mengejar obsesiku untuk bisa berkarir di negara orang. Berat? Pasti. Aku bahkan terkadang lupa untuk mengisi perutku. Dan Qiana lah yang selalu mengingatkan aku untuk makan, atau bahkan dia dengan telaten menyuapiku.
Aku masih ingat saat aku memutuskan untuk meninggalkannya. Dia menangis dan membujukku agar berpikir ulang tentang keputusanku.
'Aku mau nungguin kamu sampai kamu sukses, kalau perlu aku yang akan ikut kemanapun kamu pergi. Aku janji nggak akan menjadi beban kamu. Aku janji." aku masih ingat waktu itu, air matanya sudah mengalir dengan deras. Tapi aku seolah menutup telingaku dan tetap meneruskan apa yang menjadi keputusanku.
Orang tua kami hanya diam saat aku mengambil keputusan menyakitkan itu. Mereka diam karena merasa mereka memang terburu-buru menikahkan kami di usia yang seharusnya masih harus mengejar mimpi.
Aku tahu Qiana kecewa, sangat. Tapi mau bagaimana lagi, aku bukan orang yang akan menarik keputusanku hanya karena air mata yang keluar dari mata seorang gadis.
Dan sekarang, dia semakin mempesona. Bahkan aku dengar dari cerita Devie, adikku itu selalu menjadikannya model untuk pakaian yang dibuatnya. Dan mereka membuat usaha WO dengan Qiana sebagai CEOnya.
Devie memang sangat menyayangi Qiana, bukan hanya adikku, tapi juga mama dan papaku. Aku bersyukur, karena setelah kejadian itu, semua masih normal. Keluarga kami masih bersahabat baik. Bahkan adikku selalu bilang kalau dia nggak akan nerima siapapun perempuan yang akan menjadi kakak iparnya selain Qiana. Entah, seperti apa takdir yang akan digariskan Tuhan untuk kami nanti.
Qiana. Aku merapalkan nama itu berkali-kali entah dengan tujuan apa. Aku pun tak tahu. Melihatnya kembali saat aku baru saja pulang, rasanya ada yang berbeda di dalam hatiku. Ada getaran kecil yang menyenangkan.
"Bang." Devie masuk ke kamarku dengan 'kostum' tidurnya. Aku tersenyum dan menepuk tempat di sampingku agar dia bisa berbaring di sana. Mungkin dia ingin bermanja denganku seperti yang dilakukannya sebelum aku pergi merantau ke negeri orang.
"Semuanya baik-baik aja kan?" tanyaku ketika dia sudah berada di sampingku duduk dengan memeluk bantal.
"Aku kangen wangi ini." mata Devie sudah berkaca-kaca. Aku bangun dan menggenggam tangannya. "Abang tahu nggak kalau aku sering tidur di sini saat abang nggak ada?" aku tahu tentu saja. Mama sering bercerita tentang apapun kepadaku saat beliau menghubungiku.
Tapi mama nggak pernah sekalipun menceritakan tentang Qia kepadaku. Bahkan seolah mama nggak pernah kenal dengan mantan menantunya itu.
"Abang nggak ganjen dengan memacari cewek-cewek bule di sana kan?" Devie sepertinya memang nggak berubah. Masih dengan mulut ceplas-ceplosnya. Ini mungkin baru permulaan, dan kalau udah nemu celah untuk mengoar, bisa dipastikan omongannya bisa buat orang kejang-kejang.
"Abangmu ini masih lelaki baik-baik Vie."
"Lelaki baik-baik?" astaga, jika ada orang yang lihat bagaimana dia menyeringai pasti orang itu ingin sekali melenyapkannya. Dan, kemana air matanya yang tadi siap mengalir? "Nggak ada lelaki baik yang membuat orang lain menangis."
"Apa kita akan bahas ini sekarang, Devie?" aku tidak tahu apa yang sebenarnya Devie takuti, karena saat aku sudah dalam mode serius seperti sekarang, orang lain yang melihatnya saja bisa enggan mengajakku berbicara. Tapi tentu saja itu nggak akan berlaku pada adikku ini.
"Memang abang mau membahas apa denganku?"
"Semua?"
"Termasuk Kakak?" tiba-tiba hatiku terasa berdetak agak cepat saat Devie mengatakan kakak di depanku. Tentu saja aku tahu siapa yang dia maksud. Aku hanya diam sambil memandangnya. Nggak tahu harus bilang apa.
"Kalau kita akan membahas kakak, aku kira malam ini nggak tepat."
"Kenapa?" pertanyaan cepatku membuat Devie hanya memicingkan matanya kearahku.
"Karena aku harus tahu tujuan abang ingin membahas kakak karena apa. Toh dari dulu Abang nggak terlalu antusias dengan kehadiran Kakak di samping Abang." Devie dan mulut licinnya benar-benar mengerikan. Aku nggak tahu dia bisa tumbuh menjadi perempuan 'lebih' blak-blakan seperti ini.
"Karena aku yang akan lindungi kakak dari siapapun yang akan menyakitinya. Termasuk Abang." dan obrolan kami memang harus sampai di sini, karena setelah mengatakan itu, Devie keluar kamarku setelah memberiku kecupan selamat malam.
*°*°*