"Terus kenapa akhirnya kamu mau tes kedua?."
"Aku pikir itu jalan satu-satunya supaya kejahatan kebongkar meskipun jelas aku orang pertama yang bakalan disalahin dan aku udah pasrah dengan bakalan terjadi terlebih kamu bilang, kamu tahu informasi tentang aku. Seengaknya aku ga usah cape-cape ngasih tahu kamu. Aku bahkan udah siap nitipin Ansel ke panti asuhan kalau aku ketangkap polisi lagi dan waktu itu aku ga ngasih tahu kamu karena aku takut Kay, kalo aku ngomong David tahu rencana aku semuanya. Setiap kali kita pergi, dia selalu ngikutin kita."
"Kemarin kenapa dia pukul kamu?."
"Dia tahu aku tes DNA bareng kamu, dia marah. Dia harus keluarin uang lagi buat nyuap orang supaya hasilnya positif, Dia emang udah niat bikin kamu hancur."
"David tuh dari dulu tololnya ga berubah." Kay meledek dengan senyuman puas.
"Tapi aku bersyukur bukan kakak orangnya. Dia ga usah sedih kaya aku dan lagian kalo sampe kakak aku jamin hari ini David udah ga ada di dunia. Daddy bisa lakuin apapun buat siapapu yang ganggu kakak."
"Maaf aku bikin keluarga kamu berantakan."
"Kalau cuman ditinggalin Ran aku udah pernah tapi…sekarang aku punya anak rasanya beda aja.."
"Wajah kamu?." Sachi baru menyadari jika Wajah Kay tampak berbeda.
"Ga papa, ga usah dipikirin. Ansel, kenapa diem aja?." Mata Kay beralih pada anak kecil yang hanya bisa memperhatikan mereka berdua mengobrol. Ansel hanya menggeleng dan bersembunyi dibalik badan Sachi.
"Dia mungkin masih syok.."
"Aku punya adik ipar, Psikolog nanti aku suruh dia ketemu sama Ansel dan jangan kamu tolak. Ansel butuh itu."
"Makasih Kay…"
"Aku lagi cari rumah buat kamu sama Ansel, mungkin ga bisa cepet tapi untuk sementara kamu tinggal di apartemen aku setelah pulang dari rumah sakit. Aku tahu kamu ga kerja, kamu bisa kerja di café aku yang kemarin nanti Doni yang bantuin."
"Kamu ga usah sejauh itu Kay.."
"Gimana pun aku punya dosa sama kamu, aku biarin kamu yang lagi hamil dipenjara meskipun aku tahu itu bukan anak aku tapi…keluarga aku yang bikin kamu begitu. Maaf, kali ini biar aku yang tebus."
"Tapi itu telalu berlebihan."
"Pikirin Ansel Sa, dia ga mungkin hidup dilingkungan itu lagi. Kembaran aku dulu punya trauma yang luar biasa karena penculikan. Dia ga bisa tidur dengan nyenyak sampe takut sama benda tajam apalagi Ansel yang cuman seorang anak kecil. Kamu ga mungkin nyiksa Ansel kan?."
"Aku udah jahat sama kamu."
"Aku anggap kamu cuman kepaksa jadi aku ga bilang itu jahat."
"Ansel bilang makasih sama om.."
"Ma…kasih…"
"Cepet sembuh nanti kita bikin pizza lagi.." Kay mengacak-acak rambut Ansel.
"Iya.."
"Aku ga punya waktu banyak, Lusa atau nanti aku kesini lagi. Segala urusan kamu bilang aja sama Mario."
"David?."
"David udah dapet hukumannya, daddy yang urus. Aku pergi dulu sampai ketemu lagi." Kay berjalan menuju pintu dan keluar dengan mudah. Tangannya langsung menekan sebuah tombol yang berada di saku jaketnya. Rupanya sedaritadi Kay sudah merekam pembicaraan mereka. Kini saatnya dia menyelesaikan urusannya dengan Kiran.
***
Langkah Kay langsung tertahan saat sang satpam menolaknya untuk masuk kedalam rumah Kiran. Sepertinya atas perintah Arbi Kay dilarang masuk.
"Apa-apan nih." Kay mengamuk dengan menepis tangan satpam yang mengahalaunya, dia bahkan langsung menutup pagar rapat.
"Bapak yang suruh den.."
"Buka ga?."
"Ga bisa den.."
"Buka atau saya ancurin?." Kay mengancam. Sang satpam yang bingung langsung memanggil Arbi.
"Kenapa?."Arbi dibalik pagar dan tak mau membukanya sama sekali.
"Aku mau ketemu Keyla."
"Keyla ga ada."
"Yah…aku bisa jelasin ini."
"Bajingan kaya kamu bukan disini tempatnya!." Arbi sambil menujuk ke arah Kay.
"Kita bisa omongin ini baik-baik."
"Ga ada baik-baik, udah terlalu banyak ayah kasih kesempatan."
"Aku cuman pingin ketemu sama anak dan istri aku."
"Pergi kamu!!"
"Aku ga mau main kasar, aku minta ayah buka pagernya sekarang."
"Pergi!!, mereka juga ga mau ketemu kamu."
"Oke, liat seberapa bajingan aku." Kay kali ini memanjat pagar besi itu.
"Turun kamu!!." Arbi berteriak. Kay tak peduli dan tetap memanjat dengan dibantu Erik dan timnya. Kay menghiraukan ada kawat berduri diatasnya. Dia akan melakukan apa saja untuk menjemput anaknya. Tak butuh waktu lama kay turun dan melompat dihadapan Arbi. Dia mengusap telapak tangannya yang berdarah pada celana jins yang dia kenakan.
"'Awas!!." Kay mendorong mertuanya sendiri dan berlari kedalam.
"Keyla…keyla.." Panggil Kay disemua ruangan.
"Yayah.." Keyla yang semula duduk disana berlari kearahnya.
"Hai sayang, ayah kangen…" Kay berjongkok dan mendekap anaknya. Kiran dan Marsha terkejut melihat Kay ada disana. Terlebih dia datang dengan penampilan yang berbeda. Kiran tak tahu apa yang terjadi dengan wajah suaminya.
"Ayah lama, ini kenapa?."
"Iya maaf, in...."
"Lepasin Keyla!!." Arbi berteriak dan mendorong Kay untuk menjauh dari cucunya.
"Yah…" Kiran terkejut dan langsung mendekati anaknya.
"Dia anak aku dan aku berhak buat itu!!."
"Orang gila ya kamu, panjat kerumah orang, mau main bawa Keyla aja.."
"Keyla aku bawa pulang."
"Engga, dia tetep disini!!."
"Yah..udah yah…" Marsha mencoba menenangkan. Rafi yang mendengar keributan kini turun dari tangga.
"Sini Keyla.." Kay segera meraih anaknya lagi namun dihalangi oleh Arbi.
"Bawa anaknya kedalem." Arbi memerintah pada Kiran. Kay menatapya.
"Bawa dia kesini." Kay memerintahkan sebaliknya.
"Bawa ayah bilang!!." Arbi berteriak membuat Keyla takut. Anak itu kini menangis.
"Kamu istri aku, aku bilang bawa kesini!!." Kay tak mau kalah berteriak pada Kiran. Keyla semakin takut dan memeluk kaki ibunya. Tidak lama entah bagaimana caranya Erik masuk, dia sudah siap dengan instruksi yang Kay berikan melalui matanya. Dengan cepat Erik menahan Arbi sementara Kay meraih anaknya.
"Sini sayang sama ayah…"
"Fi, fi!! Bantuin dong.." Arbi meronta dan seketika Ketika Rafi hendak turun dua orang menghalanginya. Marsha dan Kiran dibuat tak percaya dengan Tindakan Kay saat ini. Ini jauh dari kebiasannya. Biasanya Kay akan menerima jika sudah di tolak Arbi tapi kali ini dia berjuang mati-matian untuk membawa Keyla pulang.
"Gimana rasanya dihalangi Yah? Ga enak?." Kay dengan senang.
"Lepasin Keyla!!."
"Keyla, mau ikut ayah atau opa?." Tanya Kay sambil menghapus air mata anaknya. Dia juga mengusap kering pipi Keyla yang basah. Dia tak suka melihat anaknya menyaksikan hal ini dan menangis andai...Arbi sejak awal tak melarang mungkin Kay tak akan bertindak sejauh ini. Keyla seperti orang cegukan sekarang. Dia berusaha untuk menjawab pertanyaan Kay.
***To be continue