Tiara hanya tersenyum mendapatkan kiriman dari Risa. Dia tak ada rasa terkejut sama sekali. Bukan karena dia tak peduli tapi sebelumnya Jay sudah mengirimkan pesan jika dia akan pergi menemui Samuel di sebuah bar jadi jelas Tiara sudah tahu dimana keberadaan suaminya. Tiara juga tak terlalu ambil pusing dengan foto wanita yang ada di dalam sana. Seingat Tiara Samuel pernah bilang itu temannya jadi kemungkinan besar mereka sedang bersama-sama.
"Udah tahu, telat lu..." Tiara melakukan voice note karena tangan kanannya yang cidera tak memungkinkan dia untuk mengetik. Diakhir kalimat dia juga menyelipkan tawa seakan dia tak terusik dengan kebersamaan Jay dengan perempuan lain. Dibanding dulu, sebenarnya Tiara orang yang santai tentang teman wanita Jay. Bukan merendahkan tapi...dia yakin dari 100 wanita mungkin hanya 3 yang bisa menerima kondisi suaminya. Kebanyakan dari mereka awalnya pasti hanya melihat tampang dan uang yang dimiliki Jay tanpa tahu jika Jay memiliki sifat yang unik. Tiara yakin wanita yang tak tahan dengan Jay akan pergi dengan sendirinya tanpa perlu dia usir. Jika Tiara marah, Itu hanya akan membuang-buang tenaga. Rasanya dia cukup memantau saja kewajaran dari kedekatan itu. Sesekali Tiara memandang Zidan di yang tidur disampingnya dengan lelap sementara dia menonton flim di Handphonenya.
"Ra..." Dena langsung membuka pintu dan menutupnya lagi.
"Kenapa mah?."
"Kata Papa, Mama suruh tidur sama kamu."
"Loh kok?."
"Takut Zidan nangis malem.." Dena beranjak naik ke ranjangnya.
"Dia kalo tidur suka anteng kok padahal."
"Ga papa, kali-kali beda temen tidur kan lumayan." Canda Dena.
"Bosen sama Papa?."
"Enggalah.." Denan tertawa kecil.
"Ya udah Mama kalo mau tidur, tidur aja duluan. Lampunya mau aku matiin?."
"Iya boleh matiin deh.." Dena membuat Tiara berdiri sejenak untuk memastikan lampu dan beralih ke lampu tidurnya.
"Besok mama panggilin tukang pijet ya.."
"Buat apa?."
"Buat tangan kamulah."
"Apa ga papa di pijet?lagi biru gini.."
"Ya cobain aja dulu tanya, dia pasti lebih tahu mana yang harus dipijet."
"Iya ma.."
"Sampai kapan kamu disini?."
"Sampe tangan aku sembuh aja."
"Ga mau panggil Jay?."
"Hm...ga usah biarin aja dulu."
"Kasian tahu dia. Tadi datang kesini ngejelasin semuanya di depan papa kamu. Dia berkali-kali mohon maaf."
"Terus papa gimana?."
"Jelaslah dari nadanya aja tadi pasti kesel."
"Tapi ga ribut sama Jay kan?."
"Ribut sih engga cuman adalah sedikit marahin dia."
"Terus Jay gimana?."
"Dia diem aja, makannya Mama kasian."
"Ya udah biarin aja.."
"Kok dibiarin sih Ra? kasian.."
"Mama dukung aku aja. Aku lagi ngasih sesuatu buat dia. Bukan cuman pelajaran tapi kaya kasih contoh real nya ngadepin masalah keluarga. Selama ini kita jarang berantem yang gede-gede. Biasanya cuman gara-gara dia ga suka aku sibuk terus sama Zidan. Sekarang aku juga pingin tahu apa dia punya perasaan sama anaknya."
"Tapi jangan digituin juga dong Ra, Jay kan bukan kelinci percobaan."
"Jay itu kalo lagi baik, baik banget tapi sekalinya marah dia bisa berubah 360 derajat. Marahnya itu kelewatan menurut aku jadi dia harus dikasih tahu Ma. Udah .. aku bisa kok ngatasin Jay."
"Tapi kalo sampe Jay malah berbuat yang macem-macem ga lebih bahaya?."
"Aku gini-gini juga liatin dia kok Ma.."
"Ya udahlah, gimana kamu aja. Mama mending bobo.." Dena langsung berpura-pura memejamkan matanya. Dena itu dari dulu memang cukup santai mendengar hubungan soal anaknya. Dia akan tegas disaat waktunya.
***
Jay hanya duduk ditepi tempat tidurnya tanpa naik ataupun bahkan terbaring disana. Biasanya ada Tiara dan Zidan tidur di tempat itu tapi rasanya sekarang sepi, gelap, dan hampa. Jay mengusap pelan tempat tidurnya dari ujung kiri ke kanan. Ini lembut dan begitu rapi, biasanya karena Zidan tak mau diam, selimut bisa kemana-mana. Jay diam lagi. Dia tahu kesalahannya. Dia paham ini hukuman baginya tapi... kira-kira sampai kapan dia harus seperti ini?. Jay berdiri. Dia melepaskan bajunya lalu mencari baju lain di lemari. Lagi-lagi dia ingat Tiara. Biasanya dia yang menyiapkan segala baju untuknya. Dari pergi kerja sampai dia mau tidur.
"Aku harus ngapain?." Jay berbicara sendiri. Dia benar-benar kesepian. Rasa ngantuk pun tak ada, padahal sejak kemarin dia kesulitan tidur. Jay meraih piyamanya dan berganti baju sesegera mungkin.
# Aku pingin ketemu Zidan, apa boleh?.
Ketik Jay di Handphonenya lalu mengirimkan pesan itu pada Tiara. Rasanya jika urusan Zidan, Tiara pasti membalasnya.
"Bang..." Panggil Jesica dari luar. Jay berjalan menuju pintu untuk membukanya.
"Iya mom..."
"Ga tidur di depan aja?. Di kamar kamu dulu.."
"Engga mom, aku disini aja."
"Mau Daddy temenin.."
"Ga papa, aku sendiri aja." Jay menolak lagi.
"Sabar sayang..." Jesica mengusap halus rambut Jay. Dia tahu anaknya galau bukan main. Dari matanya saja bisa dia tebak Jay sedang bersedih.
"Gimana kalau Tiara tinggalin aku mom?."
"Engga, ga akan. Dia cuman butuh ketenangan aja. Sekarang Abang punya waktu buat instropeksi diri. Tahu itu salah jangan di ulang lagi."
"Tapi dia ga bales semua pesan aku, ga angkat telepon aku, kenapa?."
"Mungkin lagi istirahat bang."
"Pasti dia sakit gara-gara aku."
"Udah-udah, mommy tahu Abang ga maksud gitu.."
"Aku harus gimana mom?."
"Nanti mommy telepon Mama Dena, mommy tanya Tiara kenapa."
"Sekarang mom.."
"Sekarang udah malem sayang."
"Apa aku kesana aja?."
"Jangan nekat lagi ya bang, nanti Tiara makin marah."
"Tapi.."
"Udah, kasih waktu dulu, mommy yakin kalau dia udah merasa tenangan dia pasti yang ngehubungin abang. Dia pasti balik lagi. Kamu tidur ya..." Jesica menenangkan. Jay hanya mengangguk-angguk. Kini pintu kembali tertutup dan Jesica pergi darisana. Dia kembali menuju kamarnya.
"Mas...Jay kasian.." Jesica mengadu pada Kenan.
"Kenapa?."
"Kok tanya kenapa? ya pasti sedihlah istrinya begitu."
"Ya salah sendiri kenapa bikin ulah kaya gitu segala."
"Mas tuh bukan ngebantuin malah ikut ngomel."
"Mas udah telepon Fahri, dia bilang Jay udah sempet kesana minta maaf. Tiara juga udah jelasin kenapa, ya udah tinggal tunggu gimana." Kenan dengan santai.
"Jay bilang Tiara ga bales pesen dia, ga angkat telepon dia. Itu artinya kan Tiara marah banget."
"Fahri bilang Tiara mau nyelesain masalahnya sendiri jadi dia juga ga bisa ikut campur. Mas juga ga bisa, biar Jay belajar dewasa ngurusin rumah tangganya.
"Mas...mas kan tahu Jay gimana. Seneng ya liat anaknya sedih?." Jesica malah terlihat kesal sekarang.
"Eh bukan gitu sayang, Mas juga pantau makannya Mas tanya Fahri. Kalau Mas ga peduli ga mungkin kaya gitu, Jay sekarang bukan cuman seorang suami tapi seorang ayah."
"Tapi anaknya ga bisa langsung ngerti dong Mas, Jadi ayah aja baru setahun. Itu juga ampun deh tingkahnya. Mas tuh harusnya kasih tahu tindakan apa yang harus diambil, kasih saran gitu loh.."
"Iya-iya Mas salah, besok Mas coba tanya." Kenan menghentikan perdebatannya.
"Yang ...sayang...udah dong jangan ikutan marah."
"Tahu ah, aku ngantuk." Jesica menarik selimutnya. Duh..Kenan jadi seperti Jay sekarang. Bingung karena istri marah.
****To Be Continue