WARNING!!Dalam cerita ini mengandung muatan dewasa. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini.
"Terus kenapa?apa aku ga boleh?apa kamu mau tinggalin aku lagi Tiara?" Jay langsung teringat dengan kejadian masa lalunya. Dia ingat betul alasan Tiara memutuskannya dulu meskipun tak seratus persen karena hal itu.
"Kita stop bahas ini. Kita lagi cape." Tiara segera menyudahi obrolan mereka sebelum pemikiran Jay semakin liar. Kini giliran dia yang menompang kepalanya sendiri sementara Jay sesekali melirik kearah kekasihnya itu. Sejak pertanyaannya tadi tak ada kata yang keluar dari mulut keduanya. Perlahan Jay meraih salah satu tangan Tiara yang tergolek lemas diatas pahanya. memasukkan jemarinya disela-sela jari-jari Tiara lalu mengangkatnya menuju mulutnya. Punggung tangan Tiara kini dia kecup dengan manis.
"Jangan tinggalin aku Tiara. Maaf...aku tadi asal bunyi lagi." Jay terus mendekap tangan Tiara dekat dengan mulutnya. Dapat Tiara rasakan hembusan nafas Jay menyapu punggung tangannya.
"Aku sayang kamu. Aku gitu karena aku sayang kamu Tiara." Jay berucap lagi. Nada bicaranya sungguh lembut dan begitu halus. Sesekali jemarinya mengusap pelan tangan Tiara.
"Mana yang katanya sariawan, jadi cerewet sekarang." Tiara kini melepaskan genggamannya lalu mencubit mulut Jay membuat bibirnya maju kedepan.
"Iya aku bohong. Maaf aku udah bohong Tiara."
"Bohong itu dosa loh bang."
"Iya makannya aku ngaku supaya dosanya ga jadi."
"Mana ada. Udah kepalang bohong tadi jadi pasti tetep dapet dosanya."
"Kalo ngaku dapat pahala jadi ketutup, plus plos jadinya."
"Emang ini matematika apa minus sama plus jadi nol." Tiara kini tertawa dengan perumpaan Jay tadi.
"Aku pikir Abang jujur disemua hal loh bang."
"Iya maaf Tiara, aku janji ga akan bohong lagi. Mommy bilang kalo bohong dikutuk malaikat. Aku ga mau." Lagi-lagi ucapan Jay membuat Tiara tertawa. Bagaimana bisa Jay takut dengan hanya mendengar perkataan mommynya itu.
"Lagian Abang tuh aneh, cemburu kok sama kak Dirga. Udah jelas papah ga terlalu suka."
"Papah ga terlalu suka tapi kamu mau diajak jalan."
"Bukan diajak jalan sayang, silahturahmi. Abang tahu ga, dosa juga loh memutus silahturahmi."
"Udah ah jangan dibahas lagi nanti aku kesel."
"Kesel aja terus."
"Ya udah-ya udah kita makan aja yuk, aku pingin beli macem-macem seafood, kita beli yuk makan dirumah kamu sayang..."
"Gitu kek pulang kerja tuh disayang-sayang bukan di cuekin."
"Mau ngga nih?"
"Iya ayo.."
"Kamu mau makan apa sayang?"
"Aku samain aja."
"Kalo kamu pingin yang lain ga papa. Aku cariin."
"Ga usah itu aja mumpung udah deket nih. Aku pingin sate cumi sama udang." Tiara melihat-lihat kearah tempat dimana Jay biasa membeli makanan favoritnya itu.
***
Ara dan Dariel baru saja mengantar Tante Vani dan Rena kedepan rumahnya. Pak Stefan memilih menunggu di depan dan langsung pulang karena hari sudah mulai gelap. Kini mereka kembali berjalan masuk. Ara berjalan dengan cepat menuju kamarnya lagi. Dia takut anak-anaknya ada yang menangis sementara Dariel mulai menyalakan setiap lampu-lampu agar rumahnya terlihat terang. Setelah itu dia melihat Ara membuat teh dan duduk membaca majalahnya. Permasalahan mereka belum selesai tapi Ara memilih untuk bungkam. Ara pikir meminta maaf pun tak ada gunanya toh Dariel tak memerlukan hal itu dia butuh yang lain, yang belum bisa Ara berikan. Ara mengambil toples keripik singkong lalu memakannya perlahan. Dibukanya lembar per lembar majalah itu kemudian dia baca dengan seksama seolah itu adalah informasi penting.
"Abang lusa masuk kerja." Dariel tiba-tiba ada di depannya ikut duduk.
"Iya.." Jawab Ara singkat dengan mata masih melihat kearah gambar-gambar yang membuat Ara ingin membelinya.
"Nanti kamu sama bibi aja kalo engga ibu."
"Iya.." Ara mengatakan hal yang sama lagi. Dariel memandangnya. Istrinya itu masih saja terfokus pada majalah fashion yang ada digenggamannya. Suaminya itu kini berpindah tempat disamping Ara. Salah satu kakinya dia angkat dan dia lipat diatas. Tangannya kini dia lingkarkan dipinggang Ara dengan wajah menompang dipundak istrinya.
"Baca apa sih sampai cuekin abang?" Dariel dengan suara lembutnya. Ara senyum-senyum sendiri merasa senang akhirnya Dariel mengalah.
"Udah ga kesel?" Ara meletakkan salah satu tangannya di pipi Dariel yang kini terlihat dipenuhi oleh bulu-bulu halus.
"Dikit."
"Ya udah aku harus gimana?"
"Ga usah gimana-gimana.."
"Katanya masih kesel dikit."
"Iya tapi mau gimana lagi, ga bisa dipaksa."
"Sabar semingguan lagi mungkin bisa.."
"Sini duduknya.." Dariel menarik Ara untuk lebih merapat padanya. Kakinya dia buka lebar sama seperti waktu itu. Ara duduk disela-selanya.
"Pagi-pagi waktu itu ada yang nelepon di handphone kamu, siapa?" Ucapan Dariel membuat Ara kaget dia lupa jika sebelumnya Dariel sempat mengangkat teleponnya.
"Ga tahu bang, orangnya ga nelpon lagi salah sambung kali."
"Hem...." Jawab Dariel singkat lalu mengecup pipi Ara.
"Triplets ke dokter besok bang.."
"Iya sayang, Abang anter..."
"Ravin sama Davin disunat dari kecil aja kaya Kris.."
"Iya tapi ga sekarang. Kasian.."
"Konsultasi aja dulu ke dokter bang.."
"Nanti aja kalo udah umur 1 tahun."
"Ya udah gimana Abang aja..."
"Abang sunat lagi jangan?" Ucapan Dariel disambut tawa kecil oleh Ara.
"Janganlah, ngapain?nanti pendek baru tahu rasa."
"Kamu yang tahu rasanya."
"Iya, ga enak.." Kini giliran ucapan Ara yang membuat Dariel tersenyum.
"Kalo Triplets udah gede mau tambah lagi?"
"Emang tiga ga cukup bang?"
"Ya cukup aja, cuman kasian Karin ga ada temen. Ravin sama Davin. Karin sama siapa?"
"Ya sama mami, papinya.."
"Kalo mami papinya jalan berdua masa Karin sendiri."
"Duh bang itu anak-anak belum juga bisa duduk udah mikirin anak lagi."
"Ya kali aja mau, Abang udah siap kok dananya."
"Bayi tabung lagi?"
"Apapun caranya Abang siap."
"Siap....siap....aja. Aku kan yang ngelahirin, yang mules-mulesnya." Ara sambil menarik kepala Dariel yang ada di pundaknya.
"Supaya pas gitu sayang empat kaya mommy sama Daddy."
"Tahu ga mommy Daddy tuh niat punya anak cuman 2 tapi keluar Kay sama Jay jadi 3."
"Kalo Abang pingin sebanyak-banyaknya.."
"Enak aja sebanyak-banyaknya..." Ara menjitak kepala suaminya.
"Satu lagi ya sayang, moga-moga perempuan jadi satu pasang, satu pasang." Dariel membujuk lagi. Dia memperat pelukannya. Ara diam sejenak.
"Sayang?boleh satu lagi?" Tanya lagi Dariel. Kini Ara mengangguk pelan.
"Tapi jangan kaya kemarin ya bang, payudara aku tuh harus streril. Anak-anak masih nyusu masa bapaknya ikutan. Mulut orang dewasa sama bayikan beda."
"Kan udahnya bisa dibersihin gitu yang, ga langsung disodorin sama anaknya. Abang yang bersihin deh.."
"Iya-iya, bisa aja bikin caranya. Makannya kalo ada kepingin tuh ngobrol jangan tiba-tiba ngambek."
"Iya maaf, kepala Abang udah terlalu pusing waktu itu." Dariel mengalah.
***To be continue