Tahlilan untuk mendoakan kedua anak kembar Kay dan Kiran dilakukan dikediaman Arbi. Rencananya tahlilan akan dilakukan sampai hari ketujuh. Selama ini Kiran hanya berdiam diri dikamarnya. Dia tak mau diganggu siapapun termasuk Kay. Setiap kali ada orang yang mengajaknya berbicara dia akan pura-pura tidur atau mengatakan jika dia butuh istirahat. Dia benar-benar pendiam. Bundanya selalu membawakan makanan ke kamar tak peduli makanan itu nanti akan dimakan atau tidak yang jelas setiap kali Marsha menggantinya dengan makanan baru, terlihat beberapa makanan sepertinya dilahap Kiran. Kay sendiri tak bisa berbuat apa-apa karena jujur dia juga masih merasa syok dan merasa bahwa hidupnya selama seminggu ini seperti melayang. Dia seperti mayat hidup yang berjalan kesana dan kemari. Sama seperti Ran, Kay tak ada gairah apapun untuk hidup, untuk makan ataupun untuk pergi lagi ke Australia. Dia benar-benar ingin diam saja sekarang atau jika dia bisa, dia ingin menyusul kedua anaknya. Arbi dan Kenan dibuat pusing dengan sikap kedua anaknya. Mereka bingung harus berbuat apa. Hari ini adalah tepat hari ketujuh kepergian anaknya dan Kay masih nyaman duduk di dekat kolam renang. Pandangannya masih lurus kedepan dengan tatapan begitu kosong.
"Kay..." Jay dan Tiara datang duduk di kursi yang kosong disana. Jesica dan Kenan selalu berpesan agar tak meninggalkan Kay seorang diri.
"Orang-orang udah datang?acaranya udah mulai?"
"Belum. Masih ada waktu 3 jam lagi." Jay menjawab. Dia ikut sedih dengan keadaan kembarannya saat ini. Kay yang dulunya ceria kini hanya menampakkan kesedihan didepannya. Hanya Jay yang bisa menghiburnya sekarang. Kakaknya Ara tak mungkin muncul dihadapannya sekarang atau bahkan dihadapan Kiran. Keberadaannya hanya akan menambah ingatan pilu tentang kehamilan Kiran yang berakhir tragis.
"Ini udah tujuh hari tapi rasanya baru kemarin malam aku nguburin mereka Jay..." Kay mulai bercerita. Tiara dan Jay hanya mendengarkan saja. Mata Kay berkaca-kaca tapi air matanya tak sampai turun.
"Semua salah aku Jay. Aku yang bikin Ran marah, aku yang bikin dia stres sampe ngaruh ke anak-anak aku. Aku ga pernah tahu kondisi dia. Aku ga pernah ada saat dia butuhin aku bahkan di hari anak aku meninggal, aku ga ada Jay. Aku ini bukan suami apalagi ayah yang baik. Aku ini penjahatnya Jay.." Kay menundukkan kepalanya. Dia menahan tangisnya.
"Kay..." Tiara kali ini memanggil. Dia mengambil kursi dan duduk dihadapan Kay. Tangannya dia letakkan diatas kedua tangan Kay yang terkepal dan begitu kuat saling berpegangan.
"Jika memang hal ini adalah hal yang paling bikin kamu sedih, terluka, sakit. Ga usah ditahan Kay. Nangis aja. Nangis sepuasnya. Ga papa, itu ga salah." Ucapan Tiara membuat Kay menangis. Jelas itu adalah hal yang paling dia ingin dan sering dia lakukan belakangan ini. Jay yang ada disampingnya semakin mendekat. Memberikan usapan kekuatan agar Kay bersemangat lagi.
"Ga papa Kay, nangis itu adalah cara orang buat sedikit banyaknya menerima kenyataan." Tiara berbicara lagi. Ya..Tiara benar. Kay sedang mencoba menerima kiamat kecil yang tengah menimpanya apalagi saat kehilangan anak tentu akan ada rasa sedih dan kehilangan yang sangat sangat mendalam. Untuk meluapkan rasa yang ada di dada, menangislah. Menangis sepuasnya, karena dengan menangis beban akan jauh berkurang.
"Kenapa....kenapa harus Ran?kenapa...harus dia yang ngalamin itu?selama ini kita jaga. Selama kita lakuin semua." Ucap Kay disela-sela tangisannya. Tiara hanya tersenyum. Baginya sikap Kay adalah hal yang wajar. Mungkin saat ini beragam pertanyaan akan menyerbu dalam benak di setiap hari terberatnya.
"Pasti setiap orang yang kehilangan akan selalu bertanya kenapa, itu adalah hal yang paling sering terjadi Kay dan wajar. Ini bukan salah kamu bukan pula salah Kiran. Ini hanya ketentuan Allah dimana kamu dan Kiran adalah orang terpilih buat melalui itu."
"Apa ini hukuman buat dosa-dosa aku Ra?apa karena Ran hamil dengan cara yang salah jadi kita dihukum gini?."
"Kay percaya deh Allah itu maha tahu apa yang kita butuhin dibanding yang kini ingin. Jangan mandang Allah menghukum kamu. Tuhan diagama manapun ga akan menyiksa hambanya, yang ada Allah itu menyadarkan kita dengan cara-Nya. Mungkin ini cara Allah nyadarin kamu, kalo kamu harus lebih perhatian sama Ran, lebih sayang, lebih mengerti dan lebih segalanya deh." Tiara kini mengusap tangan Kay dengan perlahan.
"Kamu tuh hebat Kay. Kamu bisa laluin ini. Orang diluar sana seumuran kamu mungkin bisa gila atau bahkan memilih mengakhiri hidup mereka tapi kamu engga. Jay selalu bilang kamu tuh orang paling sabar, paling kuat dan sekarang aku bisa liat itu nyata. Hanya satu tahap lagi Kay dan aku yakin kamu bisa. Kamu harus bisa menerima. Menerima kalau anak-anak kamu itu udah ga ada." Ucapan Tiara disambut tangisan lagi oleh Kay.
"Aku tahu aku tuh siapa sih?ngalamin aja ga pernah tapi nyaranin orang buat nerima keadaan. Emang ini mudah?. Aku cuman peduli sama kamu sama Ran karena kita keluarga. Coba kamu bayangin kalo kamu tetep kaya gini apa kabar Ran?siapa yang bisa kuatin dia selain kamu?cuman kamu orang yang sama yang ngerasain apa yang dia rasain juga. Dia pasti lebih berat dari kamu Kay. Bayi yang selama ini dia bawa-bawa kini ga ada. Dia pasti orang pertama yang merasa begitu berduka. Dia pasti merasa kaya kamu. Menyesal pasti, menyalahkan diri pasti, marah sama semua orang pasti. Apa salahnya kamu kuatin dia? anak-anak kamu ga akan seneng kalo orang tuanya sedih. Kenapa kalian berdua ga kirim doa aja dibanding air mata?." Ucapan Tiara membuat Kay tersadar bahwa selama ini dia terlalu sibuk dengan dirinya tanpa mempedulikan Kiran yang juga sama terluka dan berduka sepertinya. Dia selalu merasa menyesal tapi kenapa dia membiarkan Kiran begitu saja?harusnya dia hadir disana?dia tak mau menghilang lagi disaat Kiran membutuhkan pertolongannya. Tiara memberi kode untuk Jay agar mengambilkannya air dengan secepat kilat Jay ke dapur dan mengambil segelas air putih.
"Nih minum.." Jay memberikannya pada Kay. Perlahan Kay minum bahkan gelas itu sampai kosong tak ada air yang tersisa.
"Yang sedih disini bukan cuman kamu, ada Ran dan kita semua. Satu senyuman kamu mungkin bisa bikin tenang keluarga kamu dan bisa bikin Ran semangat lagi. Aku yakin yang dibutuhin Ran cuman kamu sama keluarganya. Itu aja. Kalo bikin anaknya hidup lagi pasti ga mungkin. Sabar Kay. Kamu pasti bisa." Tiara memberi semangat lagi.
"Makasih Tiara. Aku jauh lebih baik sekarang." Kay mengusap air matanya dan tersenyum kecil.
**To be continue