Chapter 328 - Pingsan

Kay membukakan pintu mobil perlahan saat mereka sampai di cafenya. Kiran keluar dengan memegangi lengan keras suaminya. Mereka kini berjalan masuk.

"Kay..." Sapa Doni saat melihat sahabatnya itu datang. Kay hanya tersenyum dan menyalami sahabatnya begitu pun Randi yang langsung menghampiri kedatangannya.

"Eh Ran..duduk.." Doni dengan sigap mencari kursi untuk Kiran.

"Iya makasih Don.."

"Udah berapa bulan sih?"

"Istri gw udah 4 bulan."

"Mau makan?"

"Jelaslah, mau makan gratis." Canda Kay.

"Makin segeran aja lu.."

"Makannya nikah ndi, jadi ada yang ngurusin."

"Jodohnya aja belum ada, siapa yang mau dinikahin."

"Hebat nih, ga nyangka jadinya ya begini. Pangling gw. Udah ada lift lagi."

"Iyalah, ga mungkin kali ke lantai 3 pake tangga. Gila aja lu."

"Sabar, bentar lagi gw pulang. Saat gw pulang gw udah punya rencana buat cafe kita."

"Apa sih bikin penasaran."

"Ntar aja deh, gw lagi bikin dulu yang jelas tambah cuan.."

"Ya udah mau makan apa?biar gw suruh anak-anak bikin."

"Sayang mau apa?"

"Aku pingin liat menunya dulu, udah lama aku ga kesini."

"Siap bu bos." Randi dengan sigap memberikan menu makanan mereka.

"Kamu pilih dulu aja, aku pingin liat dapur. Bentar ya.." Ucap Kay dan dijawab anggukan. Mereka bertiga pun pergi ke dapur.

"Makin cakep aja bini lu.."

"Iyalah, kan dirawat dimodalin jadi glowing..emang lu didiemin aja.." Kay sambil senyum-senyum meledek Doni.

"Nanti kita beresin Kay.." Doni segera berbicara saat tatapan Kay tertuju pada semua barang yang berantakan.

"Jangan nanti, sekarang." Kay dengan gemas. Doni pun segera memanggil stafnya untuk merapikan semua benda dan menyimpannya ditempat seharusnya.

"Gw pingin bikin surprise buat Ran, gw pingin beli rumah jadi pas gw pulang rumah gw udah jadi. Lu kan punya banyak kenalan Ndi yg jual-jual tanah. Bisa bantu gw cariin ga?"

"Mau daerah mana?"

"Di deket rumah mertua gw aja, lu pernah kesanakan?"

"Kenapa ga deket rumah lu?disana kan lebih mewah, lebih luas.."

"Ran tuh homesick banget orangnya jadi kalo ada apa-apa inget bunda sama ayahnya. Kalo deketkan seengaknya gw ga khawatir dia pergi jauh."

"Ya udah ntar gw cariin."

"Kalo dapet yang bagus, ntar gw kasih jatah.."

"Siap bos.."

"Lu mau dapet jatah juga ga Don?"

"Mau dong.."

"Gw butuh arsitek buat bangun rumah gw.."

"Oke, gw cariin.."

"Jangan sampe Ran tahu ya.."

"Siap. Cie...suami sayang istri.."

"Sayang istri sayang anak dong.."

"Udah kaya jualan baju aja lu.." Ledek Randi sementara itu Kiran tampak memilih dengan seurius makanan yang akan disantapnya.

"Ran..."

"Bas?" Kiran heran dengan kehadiran Bas di cafe suaminya. Inikan jam kerja kenapa dia ada disini?"

"Lagi ngapain?"

"Mau makan."

"Sendiri?"

"Engga, sama suami.."

"Mana?kok ga keliatan?"

"Lagi ke dapur dulu."

"Dapur?"

"Kebetulan ini cafe punya suami jadi sekalian makan sekalian kontrol."

"Oh...gitu.."

"Kok disini?ga kerja Bas?"

"Engga, lagi ambil cuti juga."

"Tumben.. "

"Ada undangan dari temen, mau ketemuan." Baskara terlihat membawa kantong plastik bawaannya. Sepertinya dia habis melakukan take away. Tidak lama Kay yang keluar dari dapurnya terkejut melihat istrinya berbincang dengan orang yang dia tak suka.

"Udah sayang?" Kay langsung menimbrung tak peduli akan kehadiran Baskara. Dia bahkan tak segan mencium puncak kepala istrinya tanpa malu seakan ingin menunjukkan kemesraan mereka.

"Ya udah, aku duluan ya Ran.." Baskara segera pergi tanpa menghiraukan kehadiran Kay disana sebagai suami karyawannya. Kay tak ada waktu untuk meladeni dia jadi dia memutuskan untuk pergi saja kelantai 2 dimana istrinya itu bisa duduk lebih nyaman namun sebelum mereka keatas mereka memesan dulu makanan berserta minuman yang mereka mau.

"Ah...aku seneng anak aku sepasang." Kiran tak henti memperhatikan hasil USG miliknya.

"Liat bibirnya mirip bapaknya banget.." Kiran tak henti berbicara sambil menunjuk ke arah hasil USG 4D-nya.

"Nih mirip punya bapaknya.." Kay menunjuk ke arah lain.

"Apa sih, iyalah kalo itu pasti sama. Anak laki-laki ya begitu bentukannya."

"Besok nginep dirumah mommy ya."

"Iya, udah tahu pasti ngajak."

"Ya giliran aja 3 hari dirumah kamu, 3 hari dirumah aku."

"Kalo gitu lusa dong.."

"Iya-iya lusa.."

"Sayang...udah ini belanja ya.."

"Mau belanja aja sayang-sayang.."

"Setiap hari juga sayang..."

"Belanja baju bayi di Australia aja ya supaya ga repot bawa-bawa barangnya nanti."

"Sebagian beli disini jangan ga bawa sama sekali."

"Iya nanti, pas 7 bulan aku pulang kita belanja buat dedenya kalo sekarang buat mamanya." Kay tanpa malu mencium pipi Kiran.

***

Sejak tadi pagi Dariel tak enak badan. Dia seperti sedang meriang tapi Dariel pikir mungkin itu efek cuaca yang sedang berangin saja. Dia selalu ingat bahwa dari kecil dia termasuk ke dalam orang yang jarang sakit. Bukan tanpa alasan. Dia selalu dituntut untuk siap melayani keluarganya dulu. Membereskan rumah, memasak, merapikan halaman dan taman belakang pun tak luput dari tugasnya. Kalau ada satu hari dia ketahuan berleha-leha ayah tirinya itu tak segan untuk menyeretnya keluar kamar. Rasanya Dariel sudah kebal dengan kata sakit namun entah kenapa kali ini rasanya dia tak bisa menghindar.

"Pak, saya pulang duluan..." Nayla berpamitan dengan Dariel. Dilihatnya tas sudah bertengker dipundaknya.

"Tumben Nay..." Dariel melihat jam ditangannya dan benar saja waktu sudah menunjukkan pukul 4 tapi tumben sekali Nayla pulang ontime.

"Hari ini ulang tahun mamah jadi kita...." Nayla tak melanjutkan perkataannya karena merasa ada sesuatu yang salah. Kenapa dia harus mengucapkan itu. Nayla menyesal sendiri.

"Oh iya, kalian pasti mau makan malam. Oke, hati-hati." Dariel melanjutkan kalimatnya walaupun sedikit pilu. Meskipun dia tak peduli nyatanya dia selalu ingat kebiasaan saat ibunya ulang tahun.

"Iya, saya duluan.." Nayla dengan segera pergi dari ruangan bosnya. Melihat Nayla pulang Dariel pun segera membereskan semua dokumen yang ada dimejanya. Dia juga ingin pulang untuk menemui istrinya dan si kembar. Sejak Ara hamil setiap kali Dariel merasa sedih dia akan ingat kehamilan istrinya yang langsung membuatnya senang dan sejak itu pula Dariel selalu pulang ontime. Dia tak mau membuat Ara menunggu lama mengingat pembantunya mungkin sudah pulang. Dariel tak mau membuat Ara dirumah sendirian, harus ada seseorang yang menemaninya.

Dariel menahan dirinya sendiri saat menutup pintu mobilnya. Rasanya bumi yang dipijak seperti bergoyang. Ah..ini bukan gempa tapi mungkin kepalanya yang pusing. Setelah semuanya mereda dia segera masuk kerumahnya.

"Assalamualaikum mami...." Dariel menyapa Ara yang tengah duduk menonton sambil mengemil sesuatu yang tak dapat Dariel lihat dengan jelas. Matanya kini seperti berkunang-kunang. Secepat kilat dia duduk lalu memegangi kepalanya sendiri sebentar.

"Assalamualaikum anak papi...." Dariel dengan sentuhan lembut mengelus perut Ara.

"Walaikumsalam, hari ini aku banyak makan.."

"Bagus dong, jadi dedenya makan juga sayang..."

"Abang mau makan?"

"Engga, nanti aja." Dariel dengan pelan. Kali ini sepertinya ada yang tidak beres. Matanya semakin lama semakin samar melihat wajah istrinya padahal jarak antara dia dan Ara tak jauh bahkan bisa dibilang sangat dekat. Dariel mengedipkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa ini mungkin efek matanya yang lelah namun justru setelahnya hanya ada warna hitam diikuti dengan badan yang kini tergulai lemas disamping Ara. Istrinya itu jelas terkejut. Dengan cepat dia meletakkan mangkoknya diatas meja.

"Bang...bang..." Ara mengguncang tubuh Dariel namun tidak ada jawaban disana. Dia panik. Dengan segera dia memanggil satpamnya untuk membantunya membangunkan Dariel. Satpam yang bernama pak Nana itu langsung membaringkan Dariel disofa dan memberikan aroma kayu putih sambil memanggil-manggil tuannya sementara Ara menelpon Kenan.

- Halo kak...

- Dad...Daddy...Daddy kerumah aku sekarang.

- Kenapa?ada apa?.

- Dariel pingsan, aku ga tahu kenapa.

- Kakak sama siapa disitu?.

- Ada satpam aku.

- Ya udah, tungguin Daddy kesana. Coba bangunin dulu kalo masih ga bangun cepet telepon ambulance.."

- Iya dad.

Ara segera menutup teleponnya dan menghampiri suaminya yang masih bersama pak Nana.

"Bang...bang...bang Dariel..." Ara mencoba ikut membangunkan namun suaminya itu masih saja terdiam seperti orang tertidur. orang yang tertidur dengan tenang.

***To be continue