WARNING!!Dalam cerita ini mengandung muatan dewasa. Harap kebijksanaan pembaca. Bagi pembaca yang dibawah umur atau yang tidak nyaman dengan cerita ini, Dianjurkan untuk tidak membaca chapter ini.
"Mommy...boleh ya mom, lamarin Tiara buat aku ke Tante Dena..." Jay merengek lagi. Dia terus membujuk ibunya itu sementara Jesica masih berpikir. Pertimbangan Jesica itu banyak. Ini bukan masalah soal cinta tapi apa benar Tiara bisa menerima Jay yang seperti itu?Apa benar temannya juga menerima Jay dengan kekurangannya itu?Dia tak mau anak lelakinya itu kecewa.
"Abang yakin ini jalan paling baik?"
"Iya mom. Aku ga mau ya sampe keduluan orang lain. Sekarang tuh lagi jaman mom pacaran sama siapa nikah sama siapa. Aku ga mau. Nikung-ningkung temen juga ga sedikit."
"Anggap ini hadiah dari mommy kalo Abang bisa lulus tepat waktu." Ucap Jesica dengan santai membuat senyuman di wajah Jay.
"Bentar lagi aku lulus kok mom, aku bentar lagi sidang tesis."
"Iya-iya, pokoknya udah itu mommy sama Daddy yang nemuin orang tua Tiara."
"Makasih mommy." Jay mencium pipi ibunya. Dia senang dengan hadiah kelulusan yang diberikan Jesica. Tidak lama Kay turun seorang diri. Rambutnya terlihat masih basah. Dia mengenakan celana tidur panjang dengan kaos warna hitam.
"Tuh Abang mau ke kamar sana, sekarang udah boleh.."
"Kok sekarang dibolehin?"
"Krisnya udah tidur.."
"Disini aja udah tanggung."
"Bang, mau masak?"
"Engga mom, aku mau beliin roti bakar. Ran pingin. Mommy mau nitip juga?"
"Mommy pingin baso tahu bang.."
"Ya udah biar Mas yang cariin sekalian nemenin babang tamvan." Kenan meledek.
"Dad..aku juga pingin baso tahu.."
"Iya-iya semuanya kebagian, jangan sampai nih Kris bangun tiba-tiba gara-gara baso tahu.."
"Apaan sih anaknya lagi tidur juga."
"Ya udah Mas pergi sama Kay." Kenan mengikuti anaknya keluar. Kay kini masuk kedalam mobilnya membuat satpam rumah segera membuka pagar. Setelah Kenan masuk dia mulai menginjakkan gas dengan kakinya.
"Habis mandi wajib?"
"Hah?" Kay terkejut.
"Ga kira-kira ya Abang, pelan-pelan dong bang. Jay denger tuh.."
"Denger apa?"
"Suara Ran desah-desah sampe Daddy harus ngecek keatas disuruh mommy, Jay kira kalian berantem." Perkataan Kenan membuat Kay malu bukan kepalang. Dia tak menyangka seseorang mendengarkan suara serunya percintaan mereka tadi.
"Maaf dad, aku ga sadar."
"Besok-besok sadar diri dimana, masih mending dirumah Daddy, kalo dirumah Ran, om Arbi denger gimana?bisa heboh dia." Canda Kenan.
"Iya dad..."
"Tapi ga usah kasih tahu Ran, kasian dia takut malu nanti kamar Abang Daddy kedapin deh.."
"Sekarang aku ngerti kenapa Daddy bikin kamar kedap suara." Kay balas meledek ayahnya.
"Itu namanya seni bercinta."
"Ih dad, udah ah aku ga mau denger.."
"Ye..kenapa sekarangkan Abang udah nikah."
"Ya tapi aku ga mau bahas-bahas beginian."
"Ye dikasih tips loh nanti sama Daddy supaya tambah menggelinjang."
"Daddy, stop dad..." Kay geli mendengarnya namun ayahnya itu seakan sengaja menggoda anaknya membuat wajah Kay sedikit merona.
"Daddy cuman minta hati-hati, Ran kan lagi hamil..."
"Iya dad, aku juga hati-hati kok..."
"Tapi lebih enakkan?"
"Daddy..." Protes Kay lagi.
"Eh belum ngerasain ya, nanti kalo perut Ran udah makin gede. Keliatannya makin seksi tahu. Makin nafsu nanti kamu. Mommy dulu juga gitu..."
"Itu Daddynya aja nafsuan.."
"Eh ..ga percaya, rasain aja sendiri deh..." Kenan membuat Kay geli sendiri ketika membayangkannya.
***
Dariel tak bisa tenang sejak daritadi bahkan saat ini dimobil sambil menunggu istrinya dia terus mengingat-ngingat sesuatu yang begitu penting. Sesuatu yang seharusnya tak dia simpan sembarangan. Cincin. Dimana dia meletakkan cincin nikahnya. Dariel benar-benar lupa. Dia baru tersadar saat berada dikantor dan melihat tangannya polos tanpa ada sesuatu yang menghiasi. Dariel belum berani mengatakannya pada Ara. Dia takut istrinya itu akan marah jika mengetahui benda berharga itu hilang. Dia memilih untuk mencarinya terlebih dahulu nanti. Dia jadi menyesal kenapa harus melepaskannya segala. Suara ketukan jendela kaca membuat Dariel tersadar, dengan cepat dia membukakan kuncinya.
"Ngelamun ya?"
"Engga kok, tadi lagi liatin orang didepan itu…" Ucap Dariel mencari alasan sambil bersiap-siap memutar setirnya dan pergi dari kantor Ara.
"Jadi ke Bali ga?aku udah bilang Chandra tadi."
"Jadi, abang udah beliin tiketnya juga." Jawab Dariel. Waduh keadaan semakin bahaya. Jika sampai mereka pergi ke Bali dan cincin itu belum ditemukan bisa-bisa mereka disana hanya bertengkar. Dariel tak mau hal itu sampai terjadi mereka kesana kan untuk bersenang-senang.
"Wah gercep nih abang.."
"Hari ini mau makan apa sayang?"
"Teserah abang. Abang pingin aku masakin apa?"
"Kamu ga usah masak. Kita makan diluar aja yuk.."
"Engga ah, aku pingin masak dirumah."
"Ya udah masakin telur balado aja sayang…"
"Masa telor doang?"
"Sama tumis sayuran aja, apa gitu…"
"Oke…"
"Kamu lagi seneng masak-masak belakangan ini, apa gara-gara aku sering makan diluar?"
"Engga, aku liat Kay kayanya asyik gitu. Aku sekarang suka liat video orang masak bang."
"Padahal ga usah pinter masak juga abang ga papa."
"Malu ah, cewek ga bisa masak atau aku kursus aja ya bang?"
"Kursus aja sama mommy.."
"Mommy kalo praktekin masak cepet banget, udah kaya mesin jadi aku ga bisa liat step by stepnya."
"Ya suruh pelan dong."
"Ga bisa bang…mana bisa pelan mommy."
"Ya udah gimana kamu aja mau kursus atau engga."
"Engga usah kayanya makanan aku kan masih enak-enak aja. Bener ga?"
"Iya bener…" Dariel memberikan senyuman.
"Bang, tadi aku ketemu anaknya Farah lucu banget. Dia Gendong-gendong tas mulu..."
"Kok bisa?"
"Mertuanya datang nganterin..."
"Anaknya Farah cewek atau cowok sih?"
"Cewek bang..."
"Abang udah lama ga liat, ingetnya pas masih bayi aja waktu kita jenguk.."
"Bang...apa Abang pernah kepikiran buat adopsi anak?"
"Belum. Kamu pingin?"
"Ga tahu. Kata orang hal yang kaya gitu bisa buat pancingan..."
"Ya kalo kamu mau, Abang setuju aja. Kita tinggal cari mau dimana ..."
"Aku bisa ga ya jadi orang tua?"
"Bisa sayang, semuanya juga belajar, udah jangan insecure gitu.."
"Aku pikir-pikir dulu deh bang."
"Oke pokoknya apapun keputusan kamu Abang dukung." Dariel mendukung. Jika hal ini bisa mmebuat Ara senang tentu dia akan melakukannya lagian belakangan ini Dariel lihat Ara jauh lebih tenang mengenai memiliki anak. Dia sudah tak seobsesi dulu. Pikiran Dariel sesekali masih dibayangi dengan cincin pernikahan mereka bahkan sepanjang perjalanan Dariel tak tenang menunjukkan tangannya di depan Ara. Takut-takut istrinya itu menyadari sesuatu yang tak ada dijemarinya. Duh kemana sih cincin itu?
***To Be Continue