Chapter 221 - Baper

Jay sedang berkumpul dengan kedua orang tuanya di ruang tv. Jesica sibuk menyuapi Kris dengan alpukat yang dia jadikan bubur sementara Kenan menonton acara tv yang membuatnya tertawa. Jay tersenyum. Senyumannya itu bukan karena tontonan yang ada dilayar kaca melainkan pikirannya yang masih saja dipenuhi kejadian tadi sore dengan Alyssa. Moment Alyssa tidur dalam pelukannya benar-benar masih terbayang sampai sekarang. Alyssa tertidur cukup lama tadi bahkan membuat Jay tak tega untuk membangunkannya padahal tangan atau bahkan seluruh badannya sudah pegal. Kaki Jay sampai kesemutan karena tak bisa bergerak sedikitpun. Dia tadi takut jika gerakan sekecil apapun dapat membangunkan Alyssa. Saat Alyssa tertidur diam-diam Jay memperhatikan wajahnya. Matanya yang terpejam membuat bulu mata lentiknya terlihat begitu jelas. Pipinya yang tirus selalu menampakkan lesung pipit saat dia tersenyum. Manis. Itulah pujian Jay atas senyuman Alyssa. Bibir tipisnya yang masih menampakkan kemerahan begitu menggoda Jay tapi dia tahu itu adalah hal yang tak boleh dia lakukan terlebih lagi tak ada perasaan apapun diantara mereka. Jay terus tersenyum membuat Kenan dan Jesica saling menatap. Mereka berdua seolah bertanya kepada diri mereka masing-masing dengan kelakuan anak mereka.

"Abang..." Jesica mulai memanggil namun tak ada sahutan disana.

"Abang Jay..." Kenan yang duduk disampingnya menggerakkan tangannya tepat di wajah Jay.

"Iya dad.."

"Abang kenapa sih?"

"Tayangannya lucu."

"Bohong." Kenan tak percaya.

"Bohong sama orang tua dosa loh Abang, siap-siap aja dikutuk sama malaikat." Jesica mengatakan kalimat yang selalu ampuh membuat Jay berbicara jujur. Kini Jay turun, ikut duduk diatas karpet bersama ibunya. Belum juga berbicara Jay langsung memeluk ibunya itu.

"Abang kenapa?"

"Aku pingin cobain, apa tidur dipelukan orang itu enak." Jay tetap bertahan dengan posisinya membuat Jesica dan Kenan semakin dibuat tak mengerti.

"Ada kejadian apa hari ini?coba cerita sama mommy."

"Alyssa tidur dipelukan aku." Jay berbicara jujur karena takut dengan ancaman Jesica tadi. Kenan yang semula duduk bersandar kini langsung menegakkan badannya begitupun Jesica yang langsung menghentikan sendok makannya disaat Kris sudah membuka mulutnya.

"Tidur?pelukan?maksud kamu apa?" Kenan bergegas bertanya. Khawatir terjadi sesuatu diantara mereka. Jay membenarkan posisi duduknya.

"Tadi aku ga sengaja ketemu Alyssa dijalan, aku anterin dia pulang karena kebetulan aku juga mau pulang. Aku mampir bentar kerumahnya. Dia baru selesai syuting dan cape. Tadinya aku mau langsung pulang tapi dia malah narik aku terus peluk aku dan tidur."

"Maksud kamu Alyssa tidur sambil meluk kamu?"

"Iya dad. Aku ga tega banguninnya jadi aku biarin. Dirumahnya cuman ada bibinya, kasian dia kesepian."

"Hati-hati Abang kalo lagi berduaan."

"Aku ga ngelakuin apa-apa kok mom. Aku cuman ngelus rambutnya aja."

"Kalian tuh ada hubungan apa sih?"

"Temenan aja kok mom."

"Waktu itu mommy bilang apa sama Abang?harus ada batasannya sayang."

"Iya mommy. Besok-besok aku ga gitu."

"Mommy cuman minta hati-hati sayang."

"Gaya bener kalo sampe abang pacaran sama artis." Kenan berkomentar namun Jay belum memikirkan hal itu. Dia masih ragu untuk mengatakan jika dia suka dengan Alyssa.

"Engga akan kayanya dad. Mana ada Alyssa suka sama aku."

"Kenapa gitu? cewek-cewek itu pasti suka sama anaknya Daddy."

"Iya tapi akukan beda." Jay dengan nada parau. Kali ini dia menekuk kakinya sampai dada lalu meletakkan kepalanya disana.

"Beda apa sih sayang?enggalah. Anak laki-laki Daddy sama mommy sama aja." Jesica mengusap pelan rambut belakang Jay.

"Engga. Meskipun aku sama Kay kembar tapi kita beda." Perilaku aneh Jay sepertinya mulai kumat.

"Coba mommy tanya bedanya dimana?"

"Banyak." Jay singkat seakan tak mau menyebutkan satu per satu kekurangannya.

"Mommy ga seneng ya Abang gini lagi. Stop bang banding-bandingin diri sendiri sama orang lain apalagi ini sama sodara sendiri. Dimata mommy sama Daddy semuanya sama."

"Mom.."

"Stop!!mommy bilang berhenti. Ini yang terakhir kita bahas-bahas yang kaya gini."

"Maafin mommy, jangan marah." Jay melihat raut wajah ibunya yang berbeda tepatnya terlihat kesal.

"Ya udah ambilin minum buat Kris sana." Jesica meredakan amarahnya sendiri dengan menarik nafas.

"Sabar sayang..." Kenan mengusap pelan punggung istrinya.

****

Dariel meletakkan laptopnya dimeja setelah meeting selesai lalu melihat kearah Handphonenya yang memperlihat pesan dari istrinya. Belum juga selesai membaca pesan itu suara ketukan pintu mengganggunya.

"Iya masuk."

"Ini berkas calon sekretaris bapak. Orangnya udah datang pak, tinggal tunggu waktu untuk bapak interview."

"15 menit lagi ya suruh dia masuk."

"Baik pak." Perempuan yang bernama Anggi itu kemudian pergi dari ruangannya. Dariel segera membalas pesan Ara. Setelah itu dia duduk dan membuka dokumen yang Anggi bawa. Badannya langsung membeku bak ice batu yang berada didalam kulkas. Matanya terbelalak kaget saat melihat sebuah foto yang ada di dalam mapnya. Apa ini tak salah?Nayla gumilar. Itulah nama calon sekretaris Dariel. Saat nama itu diucapkan pintu Dariel mulai terbuka dan menampakkan adik tirinya itu. Nayla tak kalah terkejut melihat Dariel duduk disana. Anggi menutup pintunya dan kali ini Nayla segera memegang gagang pintu ruangan Dariel.

"Nay, berhenti. Ga ada ibu disini. Kita obrolin soal kerjaan. Silahkan duduk." Dariel menghentikan langkah Nayla. Dia kembali menatap dokumennya sementara Nayla mulai membalikkan badan dan duduk di kursi yang ada disana. Kepalanya menunduk menunggu Dariel berbicara. Beberapa menit berlalu Dariel mulai berbicara. Dia bertanya sesuatu yang biasa ditanyakan seorang atasan kepada bawahannya. Mulai dari hal-hal yang berkaitan dengan minat calon karyawan, pengalaman kerja sampai keahlian yang dia miliki. Dariel cukup profesional tanpa menyangkut pautkan perasaannya yang sebenarnya bergejolak sekarang. Banyak hal yang ingin dia tanyakan saat ini pada Nayla tapi semua itu dia tahan. Dia tak ingin membuat Nayla tak nyaman.

"Ini adalah tahap terakhir kamu dalam melamar kerja disini. Saya melihat kamu orang yang mau bekerja keras dan tak ada masalah dengan jam kerja disini. Kemampuan kamu dalam menguasai bahasa pun sudah terbukti dengan beberapa pengalaman kamu. Kerja disini tidak hanya membutuhkan bahasa atau waktu saja tapi kamu juga harus memahami cara kerja produksi disini karena tentu sebagai sekretaris saya harus paham dengan itu."

"Iya pak."

"Saya ga butuh orang yang langsung pintar diperusahaan saya. Saya cuman butuh orang yang mau belajar." Dariel menutup map nya kali ini lalu menatap Nayla.

"Saya ga ada keberatan dengan gaji yang kamu harapkan. Saya akan membayar sesuai itu. Kamu saya terima disini. Besok pagi kamu datang lagi, buat urusin semua administrasi dan kontrak kamu." Dariel tanpa berpikir panjang langsung menerima Nayla sebagai sekretaris pribadinya. Nayla tidak merespon. Dia hanya terdiam. Dia mungkin berpikir apakah ini baik untuknya?apa pekerjaan ini harus dia ambil atau sebaiknya dia pergi saja?. Dia tak tahu bagaimana respon orang tuanya nanti jika tahu dia bekerja di tempat Dariel.

"Saya akan memikirkannya kembali pak." Nayla dengan sopan. Sepertinya dia akan menolak tawaran ini. Itulah isi pikiran Dariel saat ini. Sebegitunyakah Nayla yang tak ingin melihatnya?.

"Apa sesi wawancaranya sudah selesai pak?"

"Iya udah selesai."

"Saya pamit." Nayla berdiri. Dariel diam menggenggam pulpennya.

"Nay..." Suara Dariel memanggil Nayla lagi yang akan menutup pintu.

"Kamu boleh menganggap kita ga ada apa-apa. Ini bener-bener soal kerjaan. Kali ini biar aku yang bantu kamu. Aku harap besok pagi kamu datang." Dariel memohon. Nayla menatapnya sebentar lalu menutup pintu itu dengan rapat. Apa yang Dariel lakukan hari ini hanya ingin membalas perbuatan baik Nayla dulu. Kalau bukan karena 2 celengannya mungkin Dariel tak bisa bertahan hidup kala itu.

***To Be Continue