Chereads / I don't know you, but I Married you / Chapter 86 - Ajakan bicara

Chapter 86 - Ajakan bicara

Perhatian!!Dalam cerita ini megandung muatan dewasa harapan kebijksanaan pembaca.

Dariel merapikan dokumen yang baru saja dia print lalu merekatkannya dengan steples yang ada di mejanya. Berkali-kali dia baca lagi isinya takut-takut masih ada yang salah dan setelah yakin dia pergi menuju ruangan Dikta. Dia tak lagi memikirkan Ara dia pikir dia harus move on. Dia menyibukkan dirinya sendiri hari ini dari pagi sampai sore untuk mengerjakan hal-hal yang mungkin dia bisa selesaikan agar kerjaannya tak semakin menumpuk.

"Akhirnya selesai juga.." Dariel membawa hasil print out nya keluar.

"Permisi pak.." Dariel membuka pintu setelah dipersilahkan masuk.

"Kenapa Riel?"

"Ini saya ada dokumen yang harus ditanda tangan bapak."

"Dokumen apa?"

"Itu yang laporan Final kemarin saya pak, kata bapak ada yang harus dibenerin dan ini hasil pengolahan baru saya.."

"Oh...mana liat?" Dikta lalu melihat hasil kerja Dariel.

"Ga nyesel saya lulusin kamu, nih..jangan lupa tanda tangan Ara ya terus kamu kasihin ke Chandra." Dikta memberikan dokumen itu lagi. Dariel terdiam sejenak namun dia sudah janji akan bersikap profesional.

"Oke pak.." Dariel membawa dokumenya lagi dan kini menuju ruangan Ara. Dia mengetuk pelan sampai suara lembut Ara terdengar.

"Bu ini hasil laporan saya, perlu ibu tanda tangani.." Dariel membuka lembaran yang berisikan tanda tangan dari pihak-pihak yang berwenang.

"Dimana saya harus tanda tangan?"

"Disini, disini dan disini.." Dariel memberi petunjuk dan tanpa menunggu lama Ara menandatangi laporan Dariel.

"Terimakasih Bu.." Dariel menerima lagi laporannya dan segera pergi dari ruangan Ara.

"Can nih kata Pak Dikta suruh gw kasihin ke lu.."

"Lu ya gw mau pulang juga ganggu lagi."

"Emang udah jam pulang?"

"Noh liat udah jam 6.." Chandra memegang kepala Dariel dan membuatnya melihat jam dinding.

"Duh ga enak tadi gw ganggu Pak Dikta sama Bu Ara."

"Eh ngomong-ngomong sama Bu Ara lu gimana?"

"Ga ada apa-apa, kan lu yang bilang mending gw deketin staf lain.."

"Syukur deh.."

"Ya udah lu pulang sana.."

"Lu ga mau bareng?"

"Engga, gw masih banyak urusan."

"Gaya bener..." Ledek Chandra pada Dariel yang sudah pergi menjauh darinya. Dariel berjalan dengan santai sambil melonggarkan dasinya namun langkahnya dia percepat saat melihat seseorang membantu Ara berjalan.

"Kenapa pak?" Tanya Dariel sambil membantu Ara masuk lagi ke dalam ruangannya.

"Maaf Bu saya ga sengaja."

"Iya ga papa.." Ara dengan pelan sementara Dariel bingung ada apa yang jelas dia melihat Ara memegang kepalanya.

"Kenapa?" Dariel bertanya lagi pada lelaki muda yang ada disampingnya.

"Saya ga sengaja pak habis benerin ruang meeting, beres-beres bawa besi panjang ga tau ada bu Ara dibelakang lagi jalan jadi kena kepalanya."

"Duh hati-hati dong pak."

"Iya maaf.."

"Ya udah rapihin dulu deh perkakasnya di depan."

"Iya pak.." Pria itu lalu pergi begitu saja.

"Ibu ga papa?" Dariel refleks memegang kepala yang juga dipegang Ara mungkin ini bagian yang sakit dan terasa benjolan kecil disana.

"Udah jam 6." Ara protes.

"Apa ini yang sakit?perlu ke dokter?" Dariel tak merespon ucapan Ara sebelumnya.

"Katanya kita perlu ngomong tapi kamu ga ngomong-ngomong." Ara membuat Dariel terdiam.

"Aku cuman mau minta maaf, maaf nyinggung kamu kalo sikap aku kurang menyenangkan kemarin-kemarin. Aku ga akan kaya gitu lagi." Dariel membenarkan posisi berdirinya.

"Iya ga papa."

"Hm...aku anterin kamu ke parkiran."

"Kamu mau ngomong itu aja?"

"Iya.." Dariel teringat lagi pria yang menjemput Ara kemarin.

"Sini duduk aku yang mau ngomong sekarang." Ara menarik tangan Dariel membuatnya duduk tepat disamping Ara.

"Riel, kenapa sih kamu mikirnya gitu?" Ara mulai menghadapkan badannya kearah Dariel.

"Mikir apa?"

"Lupa udah ngomong apa ke aku kemarin-kemarin?sampe teriak-teriak sebelum aku pulang." Ara mengingatkan namun tak dijawab Dariel.

"Emang aku pernah apa ngerendahin kamu?emang aku pernah bahas-bahas kamu siapa?"

"Kamu tuh punya segalanya Ra sementara aku banyak kurangnya."

"Aku tuh ga pernah nganggep kamu kaya gitu. Bagi aku semuanya sama kok. Aku cuman beruntung aja karena lahir di keluarga ini. Emang aku bisa milih mau lahir dimana, sama siapa?kan engga. Kadang jadi aku atuh ga enak Riel, gara-gara aku punya semuanya orang-orang jadi ga mau deketin aku padahal aku ini ga jahat."

"Aku cuman ga mau kamu susah."

"Waktu aku sama kamu aku ga ngerasa susah, aku seneng." Ara membuat Dariel bungkam kali ini. Matanya melihat ke arah ujung sepatunya seperti anak kecil sampai Ara semakin duduk mendekat, tangannya ia genggam lalu wajahnya lekat memandang Dariel.

"Aku juga sayang kamu makannya aku peduli tentang kamu. Aku ga suka kamu jauhin aku."

"Kamu ga boleh gini, Aku ga enak sama pacar kamu." Dariel melepaskan tangan Ara.

"Pacar?"

"Aku ga sengaja liat pacar kamu kemarin pas jemput kamu."

"Hah?aku ga punya pacar."

"Aku ga minta perasaan aku di bales kok Ra, aku juga tahu diri."

"Oh..kamu liat Rey?kamu ga tahu Rey?Rey anaknya Uncle Riko dia sepupu aku. Kemarin dia emang jemput aku, minta anterin nyariin kado buat Kakaknya.." Ara menjelaskan dengan cepat pada Dariel namun meskipun tahu kenyataanya seperti itu Dariel tak langsung senang dia tak percaya diri jika harus bersama Ara.

"Riel...aku sayang kamu." Ara menggenggam lagi tangan Dariel sementara Dariel mulai mengangkat tangan kanannya untuk mengelus lembut pipi Ara. Sekarang dia sudah berani menatap Ara.

"Aku ga suka kamu jauhin aku kemarin Riel, aku ga suka kamu cuek."

"Aku ga sampe hati jauhin kamu Ra.."

"Kalo gitu jangan, jangan jauh dari aku." Ara dengan ketulusan dan kali ini Dariel tidak berbicara lagi dia langsung mencium bibir Ara. Memiringkan wajahnya sedikit sambil menarik pelan wajah Ara agar mendekat padanya. Ara tak menolak tangannya bahkan mulai dia gerakan menuju bahu Dariel yang kini sangat dekat dengannya. Dariel menciumnya dengan hati-hati membuka dan menutup mulutnya dengan perlahan. Begitupun dengan Ara yang membalas setiap Ciuman Dariel dengan lembut seolah dia juga sangat menginginkannya sejak kemarin sampai Dariel melepaskan ciumannya tapi dia masih memejamkan matanya seolah berpikir apa yang harus dia katakan sekarang.

"Jangan berubah. Aku ga suka." Ara berbicara lebih dulu.

"Apa ga papa?apa ga papa kalo kita sama-sama?"

"Apa salahnya kalo kita coba." Ara membuat Dariel tersenyum kali ini menghilangkan kegelisahan yang sudah berhari-hari dia pendam. Kini di memeluk kekasihnya itu.

"Maaf, maaf aku jahat sama kamu."

"Iya kamu jahat banget."

"Masih sakit kepalanya?"

"Udah lupa."

"Ya udah pulang terus istirahat."

"Kalo kaya gini aku ga bisa pulang."

"Kenapa?"

"Aku pingin nemenin kamu dulu."

"Jangan, nanti ada yang curiga."

"Ya udah tinggal bilang kita pacaran."

"Aku ga mau Ra.."

"Kok gitu?"

"Kalo semua orang tahu nanti mereka nyangkanya kita ga akan profesional, kalo mereka tahu kamu pasti diomongin sekantor. Masa atasan kencan sama bawahannya "

"Ya terus kenapa?"

"Aku ga mau nama kamu jelek di kantor, kamu kan salah satu pimpinan disini. Mereka harus punya rasa hormat dan menghargai kamu."

"Aku ga papa kok."

"Aku yang engga."

"Terus mau diem-diem?"

"Sementara gitu dulu ya, aku bakalan coba cari cara lain."

"Ish ... nyebelin."

"Sebentar aja kok."

"Iya-iya tapi kalo bilang Daddy boleh ga?"

"Jangan dulu deh, nanti aja."

"Terus aku boleh ngasih tahu siapa?"

"Nanti ada saatnya kamu boleh ngasih tahu orang-orang." Dariel benar-benar merasa lega kali ini. Dalam keheningan ini tiba-tiba terdengar suara perut yang bersumber dari Ara. Dariel lalu melepaskan pelukannya.

"Kamu laper?"

"Iya, makan yuk."

"Bawa mobil masing-masing ya.."

"Iya-iya, ya udah ketemuan disana."

"Mau makan dimana?"

"Di cafe yang waktu itu ya."

"Ya udah kamu duluan aku nyusul."

"Jangan lama-lama."

"Iya cuman beres-beres aja." Dariel lalu kembali keruangannya dan segera membereskan meja kerjanya.

****To be continue