Chereads / I don't know you, but I Married you / Chapter 79 - Dariel Sagara 2

Chapter 79 - Dariel Sagara 2

Dariel POV

Aku tak mengerti saat itu kenapa Nayla memberikan celengannya padaku tapi kemudian dia menjelaskan.

"Kita akan pergi dan kamu akan hidup sendiri jadi kamu butuh ini."

"Pergi?kemana?"

"Aku ga bisa mengatakannya tapi aku ingin kamu menyimpan ini."

"Apa aku.."

"Ya..ayah tak akan mengajakmu.." Nayla dengan jelas dan lancar mengatakan hal yang melukai hatiku. Sekarang aku dibuang. Ada rasa kesal juga tapi entahlah aku tak bisa berbuat apa-apa. Nayla meletakkan celengan itu di bawah.

"Simpan baik-baik jangan sampai ayah tahu." Nayla lalu pergi sementara aku hanya menatap celengan itu. Benar saja seminggu kemudian mereka pergi meninggalkanku saat aku tertidur karena pagi harinya aku menemukan surat agar aku hidup mandiri dan segera meninggalkan rumah itu karena pemilik baru aku datang. Aku tak kunjung pergi sampai pemilik rumah baru datang dan menyangka aku penjaganya.

"Jadi kamu dulu tinggal disini?"

"Iya pak, ayah saya pergi tapi saya ga tahu saya cuma. disuruh meninggalkan rumah ini tapi..saya masih butuh biaya untuk sekolah. Boleh saya kerja disini?saya bisa masak, membereskan rumah dan pekerjaan rumah lainnya."

"Tadi nama kamu siapa?"

"Dariel pak."

"Saya Stefan, kamu ga usah kerja disini tapi di toko saya aja." Lelaki paruh baya yang tak pernah aku bayangkan akan menolongku itu dengan baik hati menawarkan pekerjaan untukku. Sejak itu aku bekerja di tokonya dan bisa membiayai sekolahku sampai aku tamat SMA. Istri pak Stefan sangat baik dan ramah juga dan dulu aku kasihan padanya karena mereka tak kunjung diberikan buah hati padahal Pak Stefan sangat mengharapkannya hingga Serena lahir dan membawa kebahagian bagi keluarga kecil mereka. Pak Stefan sangat menyayangi anaknya sampai apapun yang diinginkannya pasti diwujudkan dan aku diperintahkan juga untuk menjaga Serena, jujur aku menganggap dia adalah adikku.

Selesai tamat SMA Pak Stefan menyuruhku untuk melamar pekerjaan di Seazon company. Perusahaan yang cukup terkenal dan banyak orang yang ingin bekerja disana. Pak Stefan bilang dia kenal baik dengan owner-nya jadi dia bisa memasukkan ku bekerja dengan syarat aku tak boleh macam-macam. Tentu aku senang dan aku mengiyakan syarat itu. Pak Stefan adalah orang yang sangat berjasa dalam hidupku. Dia adalah malaikat penolong yang selama ini aku tunggu. Berkat dia sekarang aku bisa lulus S2, punya rumah, punya kendaraan meskipun tak menjadi orang kaya tapi setidaknya aku bisa menghidupi diriku sendiri. Aku tak mungkin melupakannya. Dia keluargaku yang sebenarnya.

Soal kisah cintaku, aku pernah menyukai seorang wanita bernama Astrid tapi kami tak pernah benar-benar jadian karena mungkin aku bukan lelaki kaya yang bisa memberikan apapun yang dia mau. Kita bertemu saat SMA tapi ternyata dia malah berpacaran dengan Jian kakakku. Jian sendiri tahu aku menyukainya entah sengaja entah tidak tapi sejak itu Jian selalu membawa Astrid kerumah dan memperlihatkan kondisiku dirumah, menyuruhku ini itu membuat aku tak punya harga diri di depan wanita. Sebelum mereka jadian aku ingat aku pernah mengayuh sepeda kerumahnya sambil hujan-hujan untuk memberikan hadiah buatanku karena Astrid berulang tahun tapi dia tak ada dirumah dan ketika aku sampai dirumah ternyata Astrid sedang bersama Jian. Menyedihkan memang tapi mau gimana lagi mungkin jodohku bukan Astrid. Suara ketukan membuyarkan lamunanku tadi. Aku segera berjalan dan membuka pintu. Ini sudah jam 8 malam siapa yang masih lembur jam segini?.

"Bu Ara.." Aku kaget saat melihat wajahnya.

"Aku tadi liat lampunya masih nyala jadi aku penasaran apa iya masih ada orang."

"Iya Bu saya lagi ngerjain laporan."

"Kenapa sih masih panggil ibu?inikan udah diluar jam kerja."

"Habis ga enak kalo panggil nama."

"Panggil Ara aja kalo udah diluar jam kerja."

"Iya Bu eh Ara.."

"Ngomongnya juga ga usah formal gitu, biasa aja."

"Iya.." Aku masih canggung untuk memanggil namanya. Ara sudah beberapa kali menegurku soal ini karena dia tak terlalu suka dengan panggilan ibu.

"Ga pulang?"

"Nanti aja, tanggung dikit lagi."

"Udah malem juga, besok lagi aja."

"Laporannya buat besok Ra."

"Kasih kesiapa?"

"Pak Dikta."

"Ya udah aku temenin." Ara langsung berjalan masuk tanpa aku persilahkan. Dia duduk di sofa dan meletakkan tasnya.

"Padahal ga usah, aku biasa sendiri."

"Kamu udah baik sama aku dari 3 bulan yang lalu aku disini. Aku yakin kamu lembur gara-gara aku gangguin mulu tiap hari ya?"

"Engga kok, bukan gitu."

"Ya udah kerjain aja laporannya." Ara bersantai di sofa dan membuka ponselnya. Kerjasama dengan Ara itu menyenangkan. Dia gadis yang tak pernah mengekang terlalu ketat anak buahnya. Dia tipikal tegas tapi santai padahal dari gosip yang beredar dia itu sangat manja jadi banyak yang takut jika melakukan kesalahan padanya, Ara akan mengadu pada ayahnya. Bisa panjang urusan kalo sudah berhubungan langsung dengan Pak Kenan. Sejak 3 bulan lalu kami akhirnya berteman karena Ara bilang dia kurang nyaman jika harus mengganggap atasan dan bawahan karena toh buktinya dia belajar perusahaan dari aku yang jelas-jelas adalah anak buahnya. Dia rendah hati dan tidak sombong padahal untuk sekelas Anak owner dia berhak untuk melakukan apapun. Ngomong-ngomong wajahnya emang cantik dan setiap kita mengobrol entah mengapa aku merasa nyaman.

"Nanti ayahnya marah loh."

"Engga, selama belum jam 10 Daddy ga akan marah."

"Oh punya jam malam juga?"

"Emang kamu punya?"

"Engga, aku bebas pulang jam berapa juga."

"Orang tua kamu ga nanyain?"

"Aku tinggal sendiri."

"Oh..orang tua kamu dimana?"

"Hm...mereka udah ga ada." Aku mencari alasan karena sebenarnya aku juga tak tahu mereka sekarang dimana.

"Maaf..."

"Iya ga papa. Ara bawa mobil sendiri?"

"Iya, habis kalo sama Daddy harus on time."

"Emang ga takut pulang malem?"

"Engga lagian daerah rumah cukup rame. Eh aku boleh dengerin lagu ga?atau kamu ke ganggu?"

"Engga, silahkan aja." Aku membiarkan Ara mulai memutarkan lagu di ponselnya. Tidak lama terdengar lagu yang aku kenal. Lagu berjudul Cantik dari Kahitna memenuhi ruanganku kali ini.

"Ini lagu favorit aku."

"Punya pengalaman ya?" Tanya Ara.

"Engga, bagus aja kata-katanya."

"Penyanyi nya suka ga?"

"Lumayan tapi lebih suka lagu-lagunya."

"Di cafe tempat aku nongkrong suka ada loh."

"Aku pernah nonton konsernya sekali, keren sih."

"Aku suka nonton konser-konser gitu."

"Hm...aku ada tiket nonton konser mau?tapi mungkin Ara ga suka."

"Konser siapa?"

"Taylor Swift."

"Ih....aku suka banget Taylor swift. Mau dong kok bisa dapet sih?kemarin katanya udah sold out."

"Aku beli dari temen dia butuh uang katanya buat tambahan orang tuanya sakit, jadi niatnya cuman mau bantuin doang. Aku bahkan ga niat nonton."

"Aku beli deh.."

"Ga usah beli, aku kasih."

"Eh ga papa aku beli aja."

"Aku yang ajak soalnya, mau pergi ke konser bareng?" Aku setelah berbicara seperti itu langsung terdiam. Kenapa berani-beraninya aku mengajak atasanku sendiri pergi berdua. Ah...sial ucapanku ga bisa aku tarik lagi.

"Eh maksud aku..."

"Ayo..." Ara dengan tersenyum. Meskipun terjadi mendadak dan tak aku sangka tapi entah mengapa aku senang Ara setuju.

****To be continue