Bintang memperhatikan Senja yang menggunakan bajunya. Terlihat besar ketika dikenakan oleh gadis itu. Bintang tidak mengerti dengan apa yang dia lakukan. Bukankah ini hal yang bahaya, membawa anak gadis orang ke apartemennya. Namun, jika bukan di sini ke mana Senja akan pergi.
Hati nuraninya benar-benar terketuk untuk Senja. Melihat Senja seakan melihat dirinya sendiri. Korban dari egoisnya orang dewasa. "Senja gue akan keluar sebentar."
"Iya Kak."
Tanpa berkata apapun lagi Bintang mengambil jaket dan kunci motornya lalu pergi dari apartemen. Senja menatap kepergian Bintang dalam diam. Pemuda yang sangat dia jauhi di sekolah kini dia yang menolongnya. Senja menghela nafas panjang, dia telah salah menilai Bintang. Senja hanya mengenal Bintang dari omongan orang.
"Kak Bintang baik." Gumamnya.
***
Bintang tiba di markas tempat dia berkumpul dengan teman gengnya. Semenjak SMA geng yang diketuai oleh Bintang ini ditakuti banyak orang. Mereka memang tidak suka buat masalah tapi jangan pernah cari masalah dengan geng Cobra. Mereka akan sangat ganas jika harus melindungi harga diri dan wilayah kekuasaan.
Bintang sendiri pernah ditangkap polisi karena di dapati barang haram narkoba dalam saku jaketnya. Namun, itu hanya sebuah jebakan untuk menjatuhkan Bintang. Dengan mudah teman-temannya mencari bukti dan menjebloskan mereka yang menjebak Bintang.
Cobra memang geng yang ganas jika mereka diganggu. Namun, barang harap tidak akan bisa masuk kewilayah mereka. Dengan menjebak sang ketua adalah masalah besar. Narkoba barang haram dalam geng mereka. Bahkan minuman keras saja tidak berada di sana. Jika ingin mabuk silahkan ke klub malam dan nikmati sepuasnya.Itu prinsip mereka.
"Bos. Kemana aja baru kelihatan?" Bintang menatap teman-temannya.
"Ngurus bini dulu." Itu bukan perkataan yang tabu keluar dari mulut Bintang.
"Bini di disembunyiin di rumah. Bawa ke sini biar kita-kita kenal." Balas Angga santai.
"Bini gue masih perawan nanti lecet kalau gue bawa ke sini." Santai Bintang dan duduk di samping Satria.
"Sialan lo bos. Lo kira kita cowok apaan suka menjebol bini orang." Protes Angga.
"Lo memang belum khilaf Ga tapi si bos takut sama si Geru tu." Fajar yang sedang mengisap rokoknya ikut buka suara.
"Sorry bro gue lebih suka yang berpengalaman. Lagian tikung teman bukan gaya gue. Dan gue masih sayang nyawa." Pemuda yang bernama Geru itu menyeru protesnya.
Berkumpul sama mereka selalu bisa membuat Bintang tersenyum. Obrolan mereka yang tidak berfaedah bisa menghiburnya. Geng Cobra bukan terdiri dari anak-anak broken home. Mungkin hanya dia yang memiliki latar belakang itu. Mereka berasal dari keluarga yang harmonis. Apalagi keluarga Angga Pratama, keluarga sederhana yang membuat dia nyaman ketika ke sana.
Sedangkan yang lain orang tua mereka terlalu sibuk tetapi masih punya waktu untuk anak-anak mereka. Bintang lah yang paling miris. Bukan hanya sibuk, bahkan dia bukan anak yang diinginkan. Bintang bukan anak haram tapi kehadirannya bukan kebahagiaan kedua orangtuanya. Bukan permintaan Bintang lahir di keluarga yang kaya. Kenapa dia harus menderita?.
"Bos Ramon sama gengnya nantang kita nanti malam balapan."
"Terima." Satu kata yang keluar dari mulut Bintang langsung disambut baik oleh teman-temannya.
"Tang lo enggak mampus?" Bintang menaikan alisnya mendengar perkataan Fajar.
"Ngampus jing." Angga berujar kesal.
"Santai dong gue nanya sama si bos." Fajar menyeruput teh manisnya.
"Lo nanya gue lo apa kabar. Kampus lo udah pindah kemarkas?"
"Bacot lo semua. Dari pada sibuk mikirin kampus mending kita nikmati bolos berjamaah ini." Satria berbicara dengan bijak. Dan mereka setuju dengan usulan Satria.
***
Malam ini kedua geng terlihat saling menatap sengit.Ini bukan kali pertama mereka berhadapan. Kadang balapan, basket, tawuran atau hal lainnya. Ramon selalu tidak terima dengan kekalahannya. Bintang sendiri menanggapi Ramon dan gengnya biasa saja.
"Sialan lo ngapain bawa si polos Misa." Bintang menoleh kebelakang ketika mendengar suara Angga.
Polos? dia tida percaya jika Misa sepolos yang dikatakan Angga. Angga mungkin sudah mendambakan Misa makanya bisa berbicara seperti itu. Jika polos Misa tidak akan mungkin mau diajak duduk di pojokan sama Geru semasa mereka SMA dulu. Ah, Bintang juga tidak akan lupa bagaimana Misa menggodanya.
"Dia minta ikut ya gue bawa aja. Lumayanlah empuk." Geru berujar acuh.
"Tang mereka mau lo yang turun cuma sama Ramon." Satria mengalihkan perdebatan mereka yang tidak berfaedah itu.Bintang juga tidak peduli dengan masalah mereka bertiga.
"Oke." Terima Bintang.
"Jangan Tang. Gue yakin ada yang tidak beres ni." Curiga Geru.
"Kita liat aja nanti." Santai Bintang tidak peduli.
"Bintang lo yang semangat ya." Misa tersenyum manis pada Bintang.
"Woi cewek siapa ni ganjen sama gue. Jangan salahi gue kalau gue khilaf." Mendengar teriakkan Bintang Misa jadi senyum-senyum sendiri.
Khilaf menurut Bintang dan Misa itu berbeda. Kalau saja Misa tau Khilaf versi Bintang mungkin dia akan langsung pergi dari sana. "Gue rela kok dikhilafin sama lo." Misa dengan manja meluk Bintang. "AW... lo...."
"Santai Tang dia datang sama gue. Gue bakalan jadi pawang dia supaya enggak godain lo." Geru dengan cepat menarik Misa menjauh dari Bintang.
Sedangkan pacar Satria menatap ngeri Bintang yang kembali mengisap rokoknya. Bintang itu kejam dan dia sangat percaya setelah melihat dengan matanya sendiri. Bagaimana mungkin seorang laki-laki tega melukai perempuan seperti. Dia bisa melihat jika leher jenjang Misa sangat perih karena rokok milik Bintang.
"Kamu kok liat Bintang gitu sayang?" Satria langsung protes ketika sadar ke mana mata sang pacar.
"Dia bukan manusia tapi moster." Satria tersenyum mendengar nada ketakutan dari kekasihnya ini.
"Bintang itu baik kok sayang. Asal jangan ganggu dia,orang yang dia sayang dan kamu jangan ganjen sama dia." Satria memicingkan matanya menatap gadis disampingnya itu.
"Ieh siapa juga yang mau ganjen sama dia." Protes sang pacar dengan manja.
"Kamu sih bukan tipe Bintang." Satria mengamati sang kekasih.
"Sayaaaang." Rengeknya.
"Oke kita mulai 1...2...3... go." Satria menatap ke depan setelah puas menggoda pacar tersayang.
Bintang telah melajukan motornya dengan kecepatan biasa. Semua menatap heran dengan apa yang dilakukan Bintang. Mereka bisa melihat jika Bintang terlihat tidak mengejar Ramon. Bintang tengah berusaha menghentikan laju motornya. Kaki Bintang bahkan dia gunakan untuk menghentikan laju motor yang dia kendarai.
"Sial apa yang bos lakukan?"
"Dia tengah menyelamatkan nyawanya." Satria mulai bisa melihat keadaan.
Bruk...
Motor itu tersungkur setelah Bintang meloncat dari sana. Dengan tatapan tajam yang mengerikan dia berjalan ke tempat orang-orang yang sedang berkumpul.
"Suruh pengecut balik." Bintang menatap tajam teman dari Remon.
"Apa maksud lo, ngatai Ramon pengecut."
"Ah maksud gue pecundang. Ramon si pecundang." Teriak Bintang marah, mukanya ketika marah terlihat sangat menakutkan.
Bukh...
Bukh...
Bintang mundur dua langkah ketika dia tidak siap menerima tinju dari teman Ramon. Mata pemuda itu menatap marah Bintang yang terlihat santai. Bintang menyeka darah di bibirnya.
"Sabotase motor yang kalian gunakan termasuk dalam peraturan pertandingan?"
Bintang yang tengah adu mulut itu bisa melihat jika ada teman Ramon yang berusaha menghubungi Ramon. Bintang masih santai menunggu si pecundang itu itu kembali untuk bertemu dengannya.
Di belakang Bintang teman-teman gengnya terlihat tidak ikut campur. Mereka hanya menunggu apa yang akan terjadi. Bintang belum memberi perintah untuk maju jadi mereka hanya menjadi penonton saat ini.
Brumm....
Brumm...
Ciiit ...
"Cih, bagaimana rasanya bertanding pecundang?" berdecak kesal.
"Apa maksud lo ngatain gue pecundang ah?" Marah Ramon.
"Terus apa sebutan yang cocok untuk manusia yang suka curang seperti lo?" Ramon diam. "Demi kemenangan, lo terlalu bodoh."
"Diam lo sialan!" Ramon turun dari motornya.
"Pecundang atau pengecut. Keduanya cocok buat lo."
"Bangsat__bukh.."
Ramon meninju Bintang tanpa menunggu lagi Bintang langsung membalas Ramon. Perkelahian mereka tidak bisa dihalau lagi. Masing-masing anggota geng juga sudah memulai perkelahian mereka. Para cewek hanya menyingkir dan menonton perkelahian itu. Nyawa mereka terlalu berharga.
Kedua kubu terlihat tidak mau mengalah. Bangku hantam itu terus terjadi. Berakhir setelah kekalahan terlihat jelas. Bintang menyeringai puas. Dia tidak terkalahkan. Bintang menatap rendah Ramon yang berusaha bangun.
"Selamat untuk kekalahan lo yang kesekian kalinya." Bintang membalikan tubuhnya mengambil motor dan pergi dari sana.
***
Semua menagih cerita Bintang. Mereka ingin tahu bagaimana Bintang mengetahui ada kecurangan dalam balapan tadi. Saat ini Bintang dan yang lain sudah di markas mereka.
"Mudah saja. Ramon mengajak gue balapan, yang sudah dia persiapkan." Santai Bintang. "Sebenarnya gue hanya nebak jika ada yang tidak beres dengan motor yang sudah dipersiapkan itu."
"Dan lo benar." Bintang hanya tersenyum.
"Ah lo memang hebat Tang. Bagaimana kalau kita ke klub." Bintang yang akan setuju tiba-tiba ingat pada Senja.
"Gue enggak bisa." Tolak Bintang
"Kenapa lo? Tumben."
"Lagi malas aja. Gue mau pulang dan istirahat." Mereka mengangguk setuju dengan keputusan Bintang.
"Ya udah hati-hati lo."
"Ok. Gue pamit." Bintang tersenyum tipis.
"Bintang gue...."
"Apa masih kurang rokok gue mendarat di leher lo?" Dingin Bintang membuat Misa langsung terdiam.
Di lain sisi Senja yang sudah sangat lapar berusaha memasak sesuatu. Dapur Bintang sudah kacau sekacau-kacaunya. Dapur yang tadi rapi sekarang sudah tidak tahu bentuknya seperti apa. Namun, belum juga gadis itu berhasil membuatkan sesuatu.
"Hiks...hiks... sakit." solusi yang dia pikirkan hanya menangis. Perut lapar dan tangan mengalami luka sayatan dan cipratan minyak panas.
"Sakit?" Senja langsung menoleh pada asal suara.
"Kak Bintang." Senja terkejut dengan kehadiran Bintang. "Maafkan Senja. Senja membuat semuanya berantakan Senja akan m...."
"....lo sakit kenapa?" Bintang mengamati Senja.
"Ini." Cicitnya menahan takut sambil memperlihatkan tangannya.
"Ya Tuhan." Darah segar masih mengalir dari telunjuk Senja. "Ayo gue obatin."
Senja hanya menurut dan ikut Bintang menuju ruang tv. Dia duduk di atas sofa dan menuggu Bintang. Bintang datang dengan kotak P3K. Untuk kedua kalinya mereka berusan dengan benda ini. Bintang menatap tangan Senja. Di sana bukan hanya luka sayatan tapi juga merah-merah karena terkena minyak bahkan ada yang sudah berair.
"Apa yang lo lakuin sih?" Geram Bintang.
"Senja lapar." Jawabnya dan dia tidak berani menatap Bintang.
"Lo kan bisa telpon gue."
"Senja enggak tau nomor Kak Bintang." Bintang membenarkan hal itu.
Bintang diam dan fokus mengobati Senja. Gadis itu terlihat tidak tenang karena menahan lapar. Hingga suara memalukan itu di tangkap pendengaran Bintang.
"Lo lapar banget?" Senja menganggukkan kepalanya perlahan. "Gue tadi beli makan dan jus strawberry."
"Apa? jus strawberry. Makasih Kak Bintang. Kak Bintang yang terbaik." Senja memeluk erat Bintang yang mendadak kaku.
"Dia enggak empuk kenapa gue enggak bisa nafas." Batin Bintang.
***
Senja menghela nafas panjang. Pembicaraannya dengan Bintang semalam membuat dia harus kembali ke sekolah. Masalah biaya masih menjadi perdebatan, dalam diri Senja dia tidak ingin membuat Bintang lebih repot lagi.
Keberadaannya di sisi Bintang membuat laki-laki itu repot. Senja ingin pergi dan meninggalkan Bintang tapi dia enggak tahu ke mana dia harus melangkah. Dia bukan gadis mandiri yang bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Seja menatap baju sekolah pemberian Bintang. Ini baju yang sama yang dipakai sebelum kecelakaan.
Hampir sebulan dia libur apa masih diterima di sekolah itu? Ah dia tidak akan lupa jika dia mengundurkan diri dari sekolah bagaimana mungkin sekarang bisa sekolah kembali. Entah apa yang sudah Bintang lakukan.
"Senja cepatlah lo akan terlambat ke sekolah." Teriak Bintang.
"Iya kak." Jawab Senja dan langsung ke kamar mandi. Menjalankan apa yang dikatakan Bintang lebih baik.
Setelah siap dengan seragam barunya, Senja menghampiri Bintang di ruang makan. Makanan lezat sudah tersaji di sana. Bintang cukup mahir dalam urusan memasak. Tanpa Tahu malu dengan lahap Senja menyantap sarapan buatan Bintang.
"Dan ini bekal buat lo." Muka Senja makin berseri ketika Bintang memberikan kotak bekal dengan masakannya.
"Makasih kak."
"Hmm cepat habiskan makanan lo! kita akan berangkat."
***
Bintang menghentikan motornya di depan pagar sekolah. Tiga tahun dia bersekolah di sini baru kali ini dia datang pagi. Dan itu setelah dia menjadi alumni. Bintang menatap suasana pagi di Sekolah SMA nya dulu.
"Makasih Kakak sudah antar Senja."
"Hn. lo langsung aja ke kelas biasa. Semuanya telah selesai gue urus."
Senja menganggukkan kepalanya. "Makasih banyak Kak."
"Sekali lagi lo bilang makasih gue cium lo." Dengan cepat Senja menutup bibirnya. "Ah ini. Gue lupa."
"Uang? Untuk apa?"
"Beli sabu." Asal Bintang membuat Senja terkejut dengan mata melotot dan itu begitu menggemaskan di mata Bintang. "Haha jangan gitu juga ekspresinya gue cuma bercanda. Ni untuk jajan lo."
"Enggak usah Kak. Senja udah punya bekal." Tolak Senja.
"Ambil sekarang! Mau gue jual organ tubuh lo." Ancam Bintang.
"Ah i_i__ya."
"Bagus. Sana masuk!"
Senja langsung berlari meninggalkan Bintang yang tengah tersenyum menatap Senja. Ketika ingin menjalankan motonya dia malah di kagetkan oleh adik kelas yang satu geng motor dengannya.
"Bang ngapain lo di sini?"
"Numpang lewat. Awas lo gue mau pergi." Sang junior hanya menatap Bintang penasaran.
***
Senja menarik nafas panjang dia merasakan aroma kelas yang sudah lama dia rindukan. Berkat Bintang dia dapat kembali duduk di sini Semua masih sama, letak jam dinding, foto presiden dan wakilnya serta papan tulis. Senja juga bisa melihat jika disana ada lukisannya, lukisan yang dilukis ketika pelajaran seni.
Menurut guru kesenian mereka, lukisan senja sangat layak untuk dipajang. Ada 3 lukisan di situ, lukisan senja Bimo dan sahabatnya Anaya. "Senja. Lo Senjakan gue rindu banget sama lo."
Itu dia Anaya gadis berisik yang sudah lama berteman dengannya mungkin sejak mereka masuk sekolah tepat di hari pertama dia mendaftar. Selain Anaya senja juga memiliki seorang sahabat yang bernama Kelin dia sangat overprotektif pada Senja. Katanya Kelin hanya ingin melihat Senja yang polos dan tidak ingin melihat Senja nya berubah.
"Gue rindu banget sama lo, lo sekarang di mana?"
"Aku sudah di sini jadi nggak usah rindu."
"Ke mana aja sih? Gue sama Kelin kesusahan cari lo. Lo nggak ada lagi di rumah itu,Lo gak apa-apakan?" Heboh Anaya kegirangan karena kembali bertemu dengan Senja.
"Aku udah pindah rumah enggak lagi di situ. Dan aku baik-baik aja kok. " Bohong Senja, dia tidak ingin teman-temannya khawatir.
Kehidupannya sekarang mungkin cukup Bintang saja yang menolongnya senior yang urakan tapi ternyata sangat baik. Semua hal buruk tentang Bintang, Senja tidak akan percaya lagi baginya Bintang sangat baik.
"Sudah kita lupakan semuanya. Gue bahagia lo kembali lagi ke sekolah, dan gue telah mempersiapkan semuanya untuk lo. Jadi pulang sekolah nanti lo pergi ke rumah gue." Anaya sangat semangat.
"Kamu mencatat semuanya?" Ada nada ragu dari perkataan Senja.
"Demi lo, gue selama ini rajin gue mencatat semua yang disuruh sama guru. Jadi lo tidak akan ketinggalan catatan dan Kelin akan bantu jelasin apa yang sudah tertinggal." jelas Anaya menggebu-gebu.
"Makasih ya. Kalian memang sahabat aku yang paling baik."
"Kembali kasih, pokoknya jangan khawatir ya gue dan Kelin selalu ada buat lo." Rasanya terharu memiliki sahabat seperti mereka tetapi dia sendiri tidak bisa jujur tentang keadaannya sekarang.
"Senja." Heboh suara itu.
"Kelin. Aku rindu Kelin."
"Akhirnya gue bisa lihat lo lagi. Emangnya selama ini lo buta." Celetuk Anaya tanpa perasaan.
"Bukan gitu maksud gue, gue rindu. Lo baik-baik aja kan Senja." Kehebohan kembali terdengar di kelas itu, tiga sahabat kembali berkumpul. Mereka semua bahagia melihat seinja yang kembali ke sekolah.
"Gue tadi pagi lihat si bos."
"Bang Bintang." mendengar nama Bintang membuat Senja sedikit penasaran dengan apa yang mereka bicarakan.
"Iyalah, emang gue punya bos lain."
"Lo lihat di mana?"
"Noh di depan gerbang sekolah."
"Rindu kali dia sama sekolah.
"Mungkin." Senja tersenyum tipis mendengar pembicaraan Bimo dan Galang. Teman sekelasnya yang ternyata satu kelompok dengan Bintang.
"Oh ya nanti malam si bos turunkan ? 30 juta bro bukan dikit."
"Mana mungkin si bos nggak mau ikut 30 juta itu tu banyak."
"Tapi kan nyawa taruhannya. Balapan liar mah ngeri. Apa lagi kalau ketahuan Ayahnya si Angga."
"Ngapain lo masuk geng kalau takut sama bapak si Angga."
"Bapak diakan polisi setan." Mendengar pembicaraan Bimo dan Galang, Senja mulai tidak tenang dia tidak ingin Bintang ikut balapan itu tapi apa dia punya hak melarang Bintang.
Senja mulai melamun di kelasnya, bahkan dia tidak sadar ketika guru masuk kelas. Guru yang baik itu hanya memakluminya. Dia berpikir jika Senja tengah memikirkan masalah keluarganya. Dia tahu apa yang telah dihadapi Senja. Kehilangan orangtua bukan hal yang mudah apalagi dalam sebuah kecelakaan.
***
Senja hanya diam. Pikirannya melayang pada sosok Bintang. Dia takut jika Bintang akan kenapa-napa. Senja tidak ingin Bintang kecelakaan. Dengan sendu Senja menatap bekal yang dipersiapkan Bintang.
"Kenapa makanannya di tatap aja?"
"Eh enggak kok. Lagi mikirin sesuatu aja." Senyum Senja tenang.
"Jangan banyak mikir dulu, lebih baik lo habiskan makan siang lo dulu." Senja menganggukkan kepalanya dan dengan cepat memakan masakan enak buatan Bintang.
Ketika sedang menikmati makan siangnya, lagi-lagi Senja mendengar pembicaraan tentang Bintang. Balapan liar dengan bayaran besar, kembali itu yang di bahas. Geng yang selalu dia hindari kini sangat membuat Senja penasaran. Ingin rasanya Senja duduk bersama geng Cobra. Dia mau tahu semua tentang balapan itu.
"Aah nanti malam Kak Bintang akan ikut balapan. Coba kalau secara legal gue akan datang untuk menontonnya." Gerutu Kelin.
"Memang ini bukan pertandingan legal." Dengan berani Senja mulai buka suara. Bukankah sudah dia katakan dia sangat penasaran.
"Bukanlah. Kapan saja polisi bisa datang. Gue takut kalau enggak sempat lari."
"Sudah deh jangan berpikir hal yang mengerikan itu. Gue enggak mau akui lo teman kalau Sampek berurusan sama polisi." Anaya menatap tajam Kelin.
"Kak Bintang sering berurusan sama polisi?" Beo Senja yang penasaran.
"Ya iyalah, dia ketua geng pasti itu sudah biasa. Makanya lo jangan dekat-dekat sama dia. Cukup Kelin aja yang tergila sama Kak Bintang." Senja diam tapi hatinya berbicara. Senja tidak bisa melakukan apa yang dikatakan Anaya. Dia bisa sekolah lagi karena Bintang, bahkan mereka tinggal bersama.
"Berhenti menjelekkan calon pacar gue! Senja apa lo mau liat balapan itu?" Ajak Kelin.
"Jangan bawa Senja ke sana!" larang Anaya tegas.
"Aku mau pergi aku penasaran." Kelin tersenyum menang, Anaya mendengus tidak suka. Membiarkan Senja ikut bukan hal yang baik.
"Padahal lo yang bilang enggak mau Senja enggak polos lagi." protes Anaya, Kelin hanya menyenggir.
***