Mellisa mendengarkan peringatan Lilia padanya di telepon, dan hatinya yang masam pasti terasa hangat.
Dia tidak ingin tinggal di Surabaya selama beberapa hari lagi, tetapi kondisi fisiknya tidak memungkinkannya untuk bertindak sembarangan.
"Lilia…"
Ketika Mellisa memanggil nama Lilia, suaranya tercekat. "Kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku, tunggu saja aku di rumah, dan panggil aku kapanpun kalau kamu membutuhkanku."
Lilia mencoba untuk membujuknya, tetapi mulutnya tersumbat.
Dia menghela napas tanpa daya. "Oke, aku terlalu sibuk kemarin, dan aku tidak punya waktu untuk mengobrol denganmu. Kamu harus menjaga diri saat walau cuma sendirian."
"Baiklah, aku akan melakukannya."
Mellisa segera menutup telepon, mulutnya yang masam itu tidak bisa mengucapkan satu kalimat lagi.
Selain itu, dia juga takut mengungkapkan pikirannya sendiri, dan dia tidak berani menghadapi kekeraskepalaannya dengan tenang.