Mata Lilia terlihat tajam, dan mata berwarna terangnya masih jernih dan acuh tak acuh.
Alfred menatapnya dengan saksama, cinta yang terukir di benaknya adalah mimpi tengah malamnya.
Namun, kesukaan ini, bagaimanapun juga, berubah warna karena kebencian keluarganya.
Sebelum malam ini, dia tidak pernah menyesalinya.
Tapi setelah malam ini, dia menyesalinya.
"Aku akan menyelidiki masalah ini dengan jelas, tapi aku… tidak pernah berpikir untuk menyakitimu!"
Nada dalam Alfred seakan memberikan penjelasan pada dirinya sendiri.
Dia mengatupkan giginya, menahan emosinya, dan matanya berangsur-angsur menjadi dalam. "Adapun di masa depan, hal semacam ini tidak akan terjadi lagi."
Wajah Lilia tertegun. Dia melihat ke ujung sepatunya dan tersenyum dengan santai. "Tidak peduli apa yang akan terjadi di masa depan, setidaknya aku telah mempelajari idiom dari Tuan Alfred."
Alfred menatapnya dan tidak menjawab.
