Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

SEJATINYA_CINTA

Athiyah_Karim_8512
--
chs / week
--
NOT RATINGS
2.8k
Views
Synopsis
Cinta yang sejati adalah Cinta yang bertujuan untuk meraih ridho-Nya dalam ikatan suci pernikahan, dan berlandasan karena-Nya, bukan hanya sekadar rasa yang harus selalu diungkapkan sesuka hati namun hanya berlandaskan hasrat semata. Seperti Cinta yang terjalin antara Fahmi seorang dokter yang begitu dingin dan kaku, ia dijodohkan dengan Dina gadis pilihan kedua orang tuanya yang tak lain adalah asistennya sendiri dirumah sakit, Fahmi tak pernah terfikir akan bersanding dengan Dina, karena ia juga tak memiliki perasaan Cinta sedikitpun dihatinya untuk Dina, bukan karena ia mencintai wanita lain, tapi karena memang ia belum pernah jatuh cinta pada seorang wanita, Mampukah Dina meluluhkan kerasnya hati Fahmi dengan cintanya?

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - AWAL JUMPA

Senin Pagi yang cerah, Dina tengah bersiap-siap, ia sibuk mematut diri didepan kaca, membetulkan jilbabnya,  hari ini adalah hari pertamanya bekerja  di salah satu rumah sakit swasta di kota Batu Malang,  sebagai Perawat atau Ners.

"Aduuuh sibuk banget sih," sapa Vina.

"Iya nih Mbak, maklum hari pertama Mbak, doain ya." pinta Dina.

"Iya Mbak doain Semoga hari ini lancar ya."

 "Aamiin." jawab Dina singkat.

"Ya udah sarapan dulu yuk ?! udah ditungguin sama ayah ibu dibawah," ajak Vina.

"Oke," jawab Dina singkat.

Kedua kakak beradik itu pun berjalan menyusuri anak-anak tangga menuju ruang tengah, kemudian menikmati sarapan pagi bersama keluarga tercinta.

"Wah cantik sekali putri ayah hari ini," puji Pak Rusydi saat melihat putrinya Dina telah rapi memakai seragam serba putih.

"Putri siapa dulu dong?!"  jawab Dina tersenyum cerianya mendengar pujian sang ayah.

"Hati-hati, ntar ada yang jatuh hati terus ngejar-ngejar kamu, Dik." goda Vina.

"Duuuh jangan nakut-nakutin gitu dong, Mbak." protes Dina bersungut-sungut.

Vina dan sang ayah pun tertawa melihat tingkah Dina.

"Sudah-sudah, cepat sarapannya dihabisin nanti Dina keburu telat lagi," ujar Bu Hanifah.

Usai sarapan, Dina pun diantar sang ayah menuju rumah sakit Asy-Syifa', tempat Dina bertugas.

Rumah sakit Asy-Syifa' merupakan salah satu rumah sakit swasta ternama di kota Batu gedung rumah sakit berlantai 4 itu cukup luas, didominasi dengan warna hijau muda, dikelilingi taman yang begitu indah, menambah suasana sejuk nan asri.

Dina beserta ke enam rekannya tengah berkumpul diruang meeting yang ada di lantai 4 rumah sakit tersebut. antara lain, Lia, Efi, Sandra, Shinta dan Rahmah.

"Baiklah, sementara kalian tunggu dulu, karena bapak kepala rumah sakit sedang menuju kemari, demikian yang bisa saya sampaikan, kami ucapkan selamat datang dan selamat bertugas." ucap dr. Danil mengakhiri rapat.

dr. Danil adalah salah satu dokter spesialis Jantung dirumah sakit tersebut yang juga merangkap sebagai kepala bagian tata usaha.

"Baik Dokter." jawab ke enam gadis tersebut serempak.

dr. Danil pun segera meninggalkan ruang meeting, seorang perawat senior datang menghampiri Dina.

"Sebentar - sebentar, ini Dina ya?" sapa Latifah.

Latifah salah satu perawat yang sudah lama bertugas dirumah sakit Asy-Syifa', saat melihat salah seorang dari ke enam gadis tersebut yang dikenalinya.

"Iya, ini Mbak Ifa kan?" jawab Dina saat melihat kawan lamanya dipesantren dulu.

"Ya Allah, apa kabar Din?" tanya Latifah sembari memeluk Dina dengan erat.

"Alhamdulillah baik, Mbak."

"Duuuh lama sekali ya kita nggak ketemu," sambung Latifah.

Sementara ke lima gadis lainnya saling berpandangan dan nampak heran.

"Oh... jadi udah pada saling kenal ya?" tanya Sandra. 

"Iya."  jawab Latifah sembari melepaskan pelukannya.

"Dina ini dulu adik kelasku waktu dipesantren." jawab Latifah.

"Ooohh..." sahut Sandra.

"Eh kamu tambah cantik aja ya, sampai pangling aku."  puji Latifah pada Dina .

"Ah Mbak Ifa bisa saja, Mbak Ifa juga tambah cantik sekarang," Dina balas memuji.

"Duuh kangen banget aku sama kamu, nggak nyangka ya kita bisa ketemu disini , eh udah dulu ya, aku mau lanjut tugas dulu, ntar disambung lagi ya," ujar Latifah.

"Iya Mbak, silahkan."sambut Dina.

Latifah pun segera pergi meninggalkan ruang meeting, tinggallah mereka ber enam menunggu kehadiran kepala rumah sakit.

Sambil menunggu kehadiran si empunya rumah sakit, mereka pun asyik ngobrol satu sama lain.

"Pak kepala rumah sakitnya kok lama banget ya?" keluh Sandra.

"Santai aja kali San, buru-buru amat." sahut Lia sihitam manis.

"Kira-kira bapak kepala rumah sakit ini kayak siapa ya?" Evi gadis yang berpawakan agak gendut itu turut berkomentar.

"Alaah, paling juga udah bapak-bapak tua, gendut, botak, berkumis tebal, galak juga." sahut Shinta menduga-duga.

Mendengar jawaban Shinta rekan-rekannya pun tertawa membayangkan sosok yang diucapkan oleh Shinta.

"Ada-ada saja sih kamu." Rahmah tak mau ketinggalan.

Sementara Dina hanya senyum-senyum saja melihat rekan-rekannya.

Saat tengah asyik bercanda, tiba-tiba terdengar derit suara pintu dibuka, Dina pun segera menaruh jari telunjuknya ke ujung bibirnya memberi isyarat agar teman-temannya tak lagi berisik.

"Assalamu'alaikum, Selamat Siang." sebuah suara menyapa mereka.

Dan keenam gadis itu seketika berdiri menyambut kedatangan kepala rumah sakit Asy-Syifa'.

"Wa'alaikumsalam Warahmatullahi Wabarolatuh," jawab mereka serempak.

Dan betapa terkejutnya mereka ketika melihat sosok yang kini berdiri dihadapan mereka, bukanlah sosok bapak-bapak tua, gendut, berkumis tebal dan galak seperti apa yang dibayangkan Shinta, melainkan seorang pria tampan berusia sekitar 28 tahun, tubuhnya yang tinggi tegap berkisar 175 cm, memakai kaca mata, kemeja hijau muda dan dasi hitam, dipadu dengan celana hitam, serta sepatu pantovel dengan warna hitam mengkilap, aroma Charlie white menguar dari tubuhnya, kulitnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung, ditambah bibirnya yang merah dan mungil, benar-benar menampilkan kesempurnaan.

Kelima gadis tersebut benar-benar terpesona, kecuali Dina, ia mengingat-ingat sesuatu, sepertinya ia pernah melihat sosok pria tersebut sebelumnya. 

Dina mencoba mengingat dimana mereka pernah bertemu sebelumnya, ya, satu minggu yang lalu, saat Dina dan ibunya baru saja pulang menjenguk adiknya Lina di salah satu pesantren di Kota Pasuruan.

Sore itu Dina dan ibunya terpaksa harus berdiri berdesak-desakan dengan penumpang lain saat hendak pulang ke kota Malang, semua kursi penumpang benar-benar penuh.

"Maaf ya Ibu, kita jadi berdiri dan nggak kebagian tempat duduk," ucap Dina menyesal.

"Iya nggak apa-apa Nak, mau bagaimana lagi, keadaannya memang sudah begini," jawab Bu Hanifah.

Bis pun melaju meninggalkan kota Pasuruan secara perlahan menuju kota Malang.

Dina memperhatikan satu persatu penumpang yang duduk dikursinya tengah asik berbicara dan bercanda, tak seorangpun yang terlihat iba melihat ia dan ibunya berdiri berdesak-desakan, padahal kebanyakan dari penumpang tersebut adalah bapak-bapak dan laki-laki.

Dina tidak bisa membayangkan jika ia dan ibunya harus terus dalam keadaan seperti itu sampai di terminal Arjosari nanti, padahal perjalanan juga masih jauh.

"Ya Allah, bagaimana ini jika ibu harus terus berdiri seperti ini, kasihan ibu, mana masih jauh lagi, Ah... mungkin juga udah nasib." Dina berkata dalam hati.

Tiba-tiba dari kursi yang berada tak jauh dari hadapan Dina dan ibunya berada di deretan sebelah kiri, terlihat seorang pemuda memakai topi berwarna merah, jaket berwarna senada, dan kaos putih yang terlihat dari balik jaket yang sengaja tak ditutup resletingnya, ia berdiri dan mengajak salah seorang rekannya yang duduk disebelahnya lantas menawarkan dan merelakan tempat duduknya tersebut untuk Bu Hanifah dan juga Dina.

"Mari Bu, silahkan ibu dan putri ibu duduk disini?! biar saya dan teman saya saja yang berdiri." ujar Pemuda tersebut dengan ramah dan sopan.

"Ya Allah Nak, kamu baik sekali, biar sudah nak, nggak apa-apa ibu berdiri saja." ucap Bu Hanifah menolak dengan halus.

"Jangan Bu, biar kami saja yang berdiri, tidak apa-apa kok, mari silahkan duduk." ujar Pemuda tersebut memaksa.

"Benar tidak apa-apa Nak?" tanya Bu Hanifah ragu.

"Tidak apa-apa Bu , mari silahkan?!" ujar pemuda tersebut.

"Terima kasih banyak ya, Nak." ucap Bu Hanifah.

"Sama-sama Ibu." jawab pemuda tersebut.

Bu Hanifah dan Dina segera duduk menggantikan posisi pemuda tersebut, dan pemuda itu rela berdiri berdesak-desakan hingga sampai di terminal Arjosari Malang.

Dina benar-benar kagum dengan kebaikan pemuda tersebut, dan Pemuda tersebut adalah kepala rumah sakit Asy Syifa' yang kini tengah berdiri dihadapannya.

"Mari silahkan duduk!" ujar kepala rumah sakit Asy-Syifa'.

"Baik, Pak." jawab mereka kompak.

"Maaf saya datang terlambat karena masih ada tugas yang harus saya selesaikan." ucap bapak kepala rumah sakit.

"Perkenalkan nama saya Fahmi, panggil saja dokter Fahmi atau Pak Fahmi juga boleh." ujar Fahmi memperkenalkan diri.

"Iya dokter."

"Kalian lulusan Stikes Bahrul 'Ulum ya, boleh kenal satu persatu?" tanya Fahmi.

"Baik dok, nama saya Sandra,"  ujar Sandra mengawali, ia duduk dikursi yang tak jauh dari hadapan dokter Fahmi.

"Saya Lia,"

"Saya Evi,"

"Saya Shinta dokter," 

"Saya Rahmah," 

"Dan saya Dina."  ucap Dina yang duduk dikursi terakhir.

Melihat Dina Fahmi nampak mengingat sesuatu namun ia ragu.

"Baik saya ucapkan Selamat datang dirumah sakit kami, selamat bertugas, semoga betah ya, dan jika ada kesulitan-kesulitan, hal-hal yang kurang difahami jangan sungkan-sungkan untuk bertanya,  Insya' Allah kami semua disini siap membantu kalian semua , baik kalau begitu, saya akhiri, Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh." pungkas Fahmi sembari berdiri dari tempat duduknya.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarolatuh." jawab ke enam gadis tersebut kompak.

Sandra mengulurkan tangannya kepada Fahmi ia hendak berjabat tangan dengan kepala rumah sakit tempat ia bertugas, namun Fahmi menyambutnya dengan mengatupkan kedua tangannya membentuk salam, memberi isyarat bahwa ia tak biasa dan tak boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahrom, Sandra pun merasa malu, ia pun segera mengatupkan kedua tangannya juga.

Fahmi pun segera pergi dari hadapan mereka, ketika si dokter tampan itu telah pergi, Kelima gadis tersebut kembali ngerumpi.

"Ya Ampuuun speechless deh, bener- bener gak bisa ngomong cakep buangeeeet." komentar Lia.

"Iya tebakan aku salah ya?" ujar Evi.

"Tapi sayang Sombong, bikin gue tengsin." keluh Sandra.

"Lagian salah loe sendiri, ngapain coba pakek acara nglurin tangan segala sok-sokan mau jabat tangan." sahut Evi.

"Ya mana gue tau kalau endingnya bakal kayak tadi?" jawab Sandra tak mau kalah.

"Jangan lupa Non, ini rumah sakit islami, yang benar-benar nerapin syari'at islam dirumah sakit ini " jawab Rahmah.

Rumah Sakit Islam Asy-Syifa terkenal dengan pelayanannya yang bagus, serta menerapkan konsep sesuai syari'at islam, kepala rumah sakit tersebut membuat aturan kepada seluruh staffnya , diantaranya untuk semua tenaga medis putri diharuskan untuk berhijab, pasien laki-laki akan dirawat oleh Ners laki-laki, begitupun sebaliknya pasien wanita akan dilayani dan dirawat oleh Ners wanita juga, kecuali dalam kondisi darurat.

🩺🩺🩺🩺

Afkarina Daniya Fakhiroh, adalah putri kedua dari pasangan bapak H.M. Rusydi Assegaf dengan Bu Hj. Hanifah, gadis 21 tahun itu mengikuti cita-cita sang ayah yang ingin salah satu dari ke tiga putrinya bekerja di bidang kesehatan, Dina gadis yang sangat cantik, nan anggun, ia juga sangat patuh kepada kedua orang tuanya, banyak laki-laki yang mencoba mendekatinya, menyatakan cinta padanya, namun Dina tak menggubris mereka, Dina telah memasrahkan penuh perihal siapa laki-laki yang patut menjadi pendamping hidupnya kepada kedua orang tuanya, tak ada kamus kata Pacaran dalam hidupnya. 

Muhammad Fahmi Azmi Ar Royan, Pria 27 tahun, putra ke empat dari tiga bersaudara, yang semuanya perempuan, ia adalah putra kebanggan dari bapak KH. M. Fadli dan Bu Nyai Hj. Nurul Chusnah, Fahmi adalah cucu dari KH. Achmad Zamzami pengasuh PP.Nurul 'Ilmi di Batu Malang, ia lahir dan tumbuh besar di lingkungan pesantren, namun kedua orang tuanya memberikan kebebasan kepada putra putrinya untuk meraih apapun cita-cita mereka dengan catatan mereka harus memberikan manfa'at kepada orang banyak sebagai salah satu jalan dakwah dan mengabdi dijalan Allah SWT, meski ia putra satu-satunya dan dimanjakan oleh ibunya, namun Fahmi tetap tumbuh sebagai pria yang dewasa dan mandiri.