Chereads / I am No King / Chapter 158 - Arc 5 Ch 8 - Orang Jahat

Chapter 158 - Arc 5 Ch 8 - Orang Jahat

"Ira! Hentikan!"

Ira si pelayan istana tidak mengindahkan peringatan Bapak Bilad. Dia terus melancarkan serangan ke arahku. Awalnya melempar pisau, kini dia menghadapiku dengan tebasan pedang satu sisi.

Di lain pihak, aku terus menghalau dan menahan serangan Ira dengan sepasang kayu. Kursi yang digunakan pada ruang makan cukup berat, jadi aku mematahkan kaki kursi dan menggunakannya sebagai senjata.

"Lugalgin, perlu aku ingatkan kalau material penyusun pedang yang digunakan Ira adalah campuran. Keluarga Ira telah mendapat pelatihan khusus bertarung tanpa pengendalian. Jadi, walaupun kamu menggunakan darahmu untuk menghilangkan pengendaliannya, tidak akan ada bendanya. Dia adalah orang terkuat di kerajaan ini."

"Cukup merepotkan."

Sementara Bapak Bilad panik, Ibu Amana hanya duduk dengan kedua tangan di depan wajah. Dia hanya menonton.

Sesuai omongan Ibu Amana, Ira tidak menggunakan pengendalian. Pergerakan pedangnya mengikuti hukum parabola fisika normal, jalurnya tidak terganggu atau diubah oleh pengendalian. Bahkan, Ira bisa menyaingiku, yang menggunakan dua senjata, dengan satu bilah pedang. Selain Ira, yang pernah aku lawan, hanya Jin dan Lacuna yang memiliki kemampuan fisik seperti sehebat ini. Kecepatan tangan dan tebasannya bukan main.

Seharunya, aku akan memiliki keunggulan dengan dua senjata karena bisa menahan sambil membalas serangan Ira. Namun, setiap kali serangannya ditahan, Ira akan langsung menarik pedangnya dan melancarkan serangan dari arah lain. Kalau aku memiliki senjata dengan panjang memadai, mungkin aku bisa menyainginya. Yah, tidak ada gunanya berharap.

Pedang memotong kayu padat dengan satu tebasan hanya terjadi di dunia fantasi. Di dunia nyata, pedang tidak akan pernah mampu memotong kayu padat dengan satu tebasan, apalagi kayu furnitur. Kayu furnitur sudah mengalami proses pengerasan dan pengisian pori dengan minyak, meningkatkan kekerasannya. Meski demikian, kayu ini tetap terpotong dan teriris secara perlahan. Dan, saat ini, tinggal tunggu waktu sampai kayu ini terpotong seluruhnya.

Aku maju menerjang Ira, menggunakan dua kaki kursi untuk menahan sekaligus menyerang. Ira bergerak cepat. Dia melompat mundur dan melepaskan dua tebasan. Namun, tujuanku bukanlah menyerang. Setelah mencapai jarak yang diinginkan, aku melempar dua kaki kursi ini dan mengambil sepasang pisau lempar yang tadi digunakan Ira.

Sekarang, waktunya kabur!

"Sampai jumpa, Ibu Amana, Bapak Bilad."

Aku berlari meninggalkan ruang makan tanpa melihat ke belakang, menyusuri lorong dengan lampu kuning. Sejauh mata memandang, aku sama sekali tidak melihat ada senjata sebagai hiasan tembok atau sekedar dipegang baju zirah kosong. Normalnya, istana atau rumah bangsawan pasti memiliki senjata dekorasi. Terkadang, senjata yang diletakkan pun bukan dekorasi, berjaga-jaga kalau tuan rumah diserang dan harus membela diri.

Lorong kosong tanpa senjata menunjukkan kalau Ibu Amana, atau Ira, sudah berjaga-jaga kalau aku melawan.

"Kamu tidak diperkenankan meninggalkan gedung ini tanpa bersujud minta maaf, Lugalgin!"

"Tidak akan!"

Aku memiliki rencana untuk menyusup ke istana Kerajaan Nina di masa depan. Oleh karenanya, aku sudah melihat desain dan denah bangunan kerajaan. Jadi, mencari jalan antara tempatku berdiri hingga ke pintu keluar adalah hal yang mudah. Namun, setelah itu, apa?

Istana Kerajaan Nina dan Wilayah Anshan berjarak ribuan kilometer. Walaupun mencuri kendaraan kerajaan, yang adalah barang antik, aku hanya bisa pergi untuk beberapa ratus kilometer. Kendaraan antik membutuhkan minyak untuk bergerak. Aku tidak yakin ada tempat yang menjual minyak dengan bebas. Begitu minyaknya habis, aku tidak bisa bergerak karena mobil lain pasti menggunakan pengendalian.

"Berhenti!"

"Sial!"

Tiba-tiba saja Ira melompatiku dan menghadang. Ira tidak bodoh. Saat bertarung dia memang tidak menggunakan pengendalian. Namun, untuk pengejaran, dia menggunakan pengendalian.

"Hei, Ira. Apakah ada kemungkinan kamu lebih kuat dari Ibu Amana? Sebagai inkompeten, bukankah seharusnya Ibu Amana adalah yang paling kuat?"

"Omong kosong! Selain bertugas sebagai pelayan, aku juga bertugas melindungi keluarga kerajaan. Apa fungi seorang penjaga kalau orang yang dilindungi lebih kuat? Tentu saja aku harus lebih kuat dari Yang Mulia Paduka Ratu."

Oke. Alasan yang masuk akal. Logis. Ibu Amana juga mengatakan kalau Ira adalah orang terkuat di Kerajaan Nina. Dengan kata lain, dia menyatakan kalau Ira lebih kuat dari dirinya. Aku penasaran antara Ira dan Lacuna siapa yang lebih kuat.

Aku menggunakan pisau logam untuk menahan serangan Ira yang terus datang. Jadi, kali ini, aku tidak khawatir senjataku habis seperti kaki kursi tadi. Namun, tentu saja, pisau memiliki jangkauan yang lebih pendek dari pedang, jadi kemungkinan untukku melakukan serangan balik adalah kecil.

Awalnya, aku mengira akan unggul di lorong ini karena Ira kesulitan mengayunkan pedangnya di tempat sempit, tapi tidak! Untuk mengakomodasi lorong sempit, Ira akan menggerakkan tubuh ke kiri ketika menebaskan pedang ke kanan, begitu juga sebaliknya. Untuk ayunan atas dan bawah, Ira tidak perlu melakukan gerakan ekstra. Dengan kata lain, dia sudah terlatih untuk bertarung di lorong ini.

Aku mengapit pedang Ira dengan dua pisau dan maju, menyeruduk tubuh Ira dengan badan. Sekuat tenaga, aku berhasil mendorong Ira mundur. Akhirnya, aku berhasil keluar dari lorong dan tiba di tengah lantai. Bagian tengah lantai ini tersusun atas lorong di samping dan tangga besar di tengah, menghubungkan lantai atas dan bawah.

Aku melepas tendangan tapi Ira sudah melompat untuk menghindar. Setelah berputar di udara, Ira menjejakkan kaki di langit-langit dan menerjangku dengan cepat.

"Kamu pasti bercanda!"

Aku melompat ke samping, menuju tangga, membuat tebasan pedang Ira menghantam lantai. Baru saja aku sampai tengah tangga, Ira sudah menerjang dari arah lain. Aku berhasil menghalau serangannya, tapi Ira kembali melompat dan menggunakan dinding atau langit-langit lain sebagai pijakan. Saat ini, Ira seperti memantul antara dinding, langit-langit, dan lantai.

Serius? Ira berputar di udara dan menggunakan langit-langit sebagai pijakan? Selain itu, dia juga bergerak zig-zag dengan sangat cepat. Gerakan Ira sudah mencapai tingkat fantasi, bukan dunia nyata lagi. Aku bahkan belum pernah melihat Lacuna melakukan gerakan itu. Di atas langit memang ada langit.

Gawat! Ira adalah kabar buruk! Tanpa kotak arsenal, aku tidak akan bisa menang. Aku harus kabur secepat mungkin!

Dengan sepasang pisau, yang bisa kulakukan hanyalah memastikan pedang Ira tidak memotong tubuhku. Kalau menggunakan pistol bayonet, aku bisa menahan serangan Ira sambil melepas tembakan. Di saat seperti ini, aku sadar betapa istimewanya senjata di dalam peti arsenal.

"Lugalgin, kalau kamu mau meminta maaf dan bersujud pada Yang Mulia Paduka Ratu, aku akan membiarkanmu pergi."

"Hei! Aku tidak menghina Ibu Amana. Aku hanya mengatakan dia tidak layak menjadi Ratu kalau menggunakan ucapan Inanna."

"Bukan itu! Kamu bilang Yang Mulia Paduka Ratu mengutamakan nyawa orang tidak dikenal daripada nyawa Tera. Aku mau kamu meminta maaf karena mengatakan itu."

"Hah?"

Tiba-tiba saja Ira berhenti memantul di udara dan menghadapiku di atas tangga. Sambil terus bertukar serangan denganku, kami mulai menuruni tangga dengan perlahan.

Sambil menuruni tangga, aku memikirkan ucapan Ira baik-baik. Yang membuat Ira marah bukanlah karena aku menganggapnya tidak layak menjadi Ratu, tapi karena ucapanku yang mengasumsikan kalau dia mengorbankan Tera.

"Mana niat membunuh dan aura haus darah yang kau banggakan itu, Lugalgin?"

"Hah?"

"Kau sendiri kan yang bilang bisa kabur dari istana ini dengan bermodalkan niat membunuh dan aura haus darah?"

"Kalau kamu lebih kuat dari Ibu Amana, aku ragu niat membunuh dan aura haus darah bisa menghentikanmu."

"Tidak perlu menghentikanku. Dengan memancarkannya, setidaknya, kamu bisa menghambat pergerakanku. Kamu sadar akan hal ini, kan?"

Yah, Ira tidak salah.

"Kamu pasti menyadari kalau sisi utara istana adalah panti asuhan, kan? Makanya kamu tidak memancarkan aura haus darah dan niat membunuh."

"... oke, aku tidak mengira akan mendengar itu darimu, Ira. Dan kenapa kamu tiba-tiba membawa topik baru?"

Aku menghalau serangan Ira terus menerus sambil menuruni tangga. Gerakan kami yang saling menyerang dan menghindar mungkin tampak seperti koreografi tarian kalau dilihat orang normal.

"Reformasi kerajaan Bana'an, aku yakin kamu pasti akan melakukan sesuatu dari balik layar untuk menekan korban jiwa seminim mungkin, kan?"

"..."

"Kamu bertanya kenapa aku membawa topik lain, kan? Ini jawabannya. Kamu dan Yang Mulia Paduka Ratu sama saja! Dari generasi ke generasi, kenapa sih kalian inkompeten sangat suka bermain jadi orang jahat?"

"..."

Oke, kejanggalan yang kurasakan mulai hilang.

"Kalau kalian inkompeten mau mengatakan seluruhnya, tanpa berpikir untuk memikul beban seorang diri, semua tragedi ini bisa dihindari. Yang Mulia Paduka Ratu tidak perlu bermusuhan dengan Tuan Putri Rina."

"... ibu Amana tidak membunuh Tera dengan sukarela, kan? Atau, jangan-jangan, ibu Amana sama sekali tidak menginginkan kematian Tera, kan?"

Ketika mendengar tebakanku, tebasan Ira semakin cepat dan kuat. Tampaknya, dia marah.

"Kalau sudah mengetahui hal itu, kenapa kamu terus mengatakan Yang Mulia Paduka Ratu membunuh Tera di depannya tadi? Kamu berkali-kali mengatakan kalau Rina dendam pada Yang Mulia Paduka Ratu karena beliau membunuh Tera. Apa kamu sengaja melakukannya?"

"Ya, aku sengaja."

"Kamu!"

Ira yang termakan emosi tidak lagi menebaskan pedangnya dengan elegan dan tajam. Kini, dia mengayunkan dengan kuat.

Aku menahan ayunan pedang Ira dengan dua pisau dan memanfaatkannya untuk melemparkan tubuhku, menjauh. Tanpa disadari, kami sudah mencapai lantai 2. Sedikit lagi aku mencapai lantai 1.

"Kenapa?"

Ira menjulurkan pedang ke arahku dengan pandangan haus darah. Sejak datang ke istana, ini adalah aura haus darah pertama yang kurasakan. Atmosfer udara terasa begitu berat, seolah menekanku. Aura haus darah ini memang tidak separah yang bisa aku pancarkan. Namun, aku tidak akan bilang kecil.

"Kenapa aku sengaja mengatakan semua itu pada Ibu Amana?"

Ira mengangguk.

"Karena aku ingin tahu motif Ibu Amana yang sebenarnya."

"Motif yang sebenarnya?"

"Tadi, saat mabuk dan tertidur, Ibu Amana menyebut nama Rina dan Tera dengan penuh kasih sayang. Seorang ibu yang bengis, tega membunuh putra dan memusuhi putrinya, tidak akan memanggil mereka dengan penuh kasih sayang di tidurnya. Bukan hanya kasih sayang. Dari suara ibu Amana, aku juga merasakan kesedihan. Karena itulah aku membahas pembunuhan Tera berkali-kali, mencoba mencari tahu yang sebenarnya."

"Dan?"

"Ibu Amana selalu terdiam ketika aku membahas Tera yang dibunuh olehnya. Bahkan dia tidak mau memalsukan ekspresi atau sekedar berbohong. Hal ini membuktikan kalau dia benar-benar merasa bersalah."

Setelah mendengar analisisku, aura haus darah yang dipancarkan oleh Ira menghilang. Tampaknya, analisisku benar. Ada cerita lain di balik tewasnya Tera dan dendam Rina. Bahkan, cerita Ibu Amana tentang keluarga utama tidak bisa sepenuhnya aku percaya. Ada kemungkinan dia meletakkan kebohongan di beberapa bagian, demi meneguhkan posisinya sebagai ibu jahat.

Aku bisa menebak jalan pikiran ibu Amana setelah Ira memberi petunjuk mengenai bermain sebagai orang jahat. Kenapa aku bisa menebak jalan pikir ibu Amana? Karena aku melakukan hal yang sama. Seperti ucapan Ira, meski di mulut mengatakan akan jatuh banyak korban, aku sebenarnya sudah menyiapkan rencana di balik layar untuk menekan angkanya.

Untukku, cara ini adalah yang paling efektif dan efisien untuk mengalihkan pandangan orang. Kalau aku bilang akan menekan jumlah korban sekuat tenaga, orang akan menganggapku naif kalau gagal. Kalau berhasil, aku akan dianggap pahlawan. Namun, keduanya sama-sama membuatku menjadi pusat perhatian. Dan, aku benci menjadi pusat perhatian. Oleh karena itu, bermain menjadi orang jahat adalah pilihan yang aman.

Apakah ibu Amana memiliki jalan pemikiran yang sama denganku? Mungkin ya, mungkin tidak. Bisa saja ada alasan lain yang mendorong ibu Amana. Atau mungkin, sifat keibuannya yang muncul. Entahlah, aku tidak yakin. Selama ini, kiblatku dalam penentuan sifat Alhold adalah diriku, Etana, Ami, dan Rina. Ada kemungkinan pemikiran seseorang akan berubah setelah memiliki anak. Dan, belum ada seorang pun dari kami yang memiliki anak.

Sejauh perbincangan tadi, reaksi Ibu Amana yang kontradiksi hanyalah saat aku membahas kematian Tera. Respons ketika aku menceritakan rencana reformasi Bana'an dan juga filosofi Raja oleh Inanna terlalu jelas, terlalu gamblang. Seorang Ratu, kepala kerajaan, tidak mungkin menunjukkan semua reaksi dan emosi itu dengan jelas. Apalagi dia seorang Alhold. Bisa dibilang, menurutku, hampir semua reaksinya sudah direncanakan. Ya, hampir.

"IRA! BERHENTI!"

Sebuah teriakan terdengar dari lantai atas. Tampaknya, Ibu Amana memiliki perasaan kalau Ira akan menceritakan semua ini.

Instingku mengatakan Ira tidak segan untuk menceritakan semua masalah ini. Namun, aku yakin Ibu Amana tidak menginginkan hal ini. Dia pasti akan mengerahkan segala usaha untuk mencegah Ira mengatakannya. Oleh karena itu, aku hanya ingin memastikan satu hal.

"Ira, aku hanya butuh konfirmasi. Apakah Ibu Amana mengambil peran penjahat dengan harapan menebus kematian Tera? Dia berharap Rina membunuhnya?"

Ira mengangguk.

Oke! Masalah ini semakin runyam.

"Dulu," Ira mulai memberi cerita. "Yang Mulia Paduka Ratu tidak pernah mabuk. Dia menjalani hidup yang sehat dan normal. Namun, sejak rencana ini berjalan, Yang Mulia Paduka Ratu mabuk setiap malam. Bahkan, beliau membuat dirinya ketagihan seks. Dia akan mengerahkan seluruh tenaganya di ranjang, berusaha melepaskan frustrasi dan perasaan bersalahnya."

Ibu Amana melampiaskan seluruh frustrasinya di ranjang? Aku jadi teringat pada Rina yang juga melakukan hal yang sama. Seperti ibu, seperti anak. Di lain pihak, aku terkejut pada Bapak Bilad yang mampu melayani Ibu Amana setiap malam padahal bukan seorang inkompeten. Dia pasti menjalani latihan yang begitu berat untuk memiliki stamina itu.

Ira menoleh ke kanan. "Tampaknya, pembicaraan kita harus diakhiri, Lugalgin."

Aku menghela napas. "Tampaknya demikian."

Sesaat setelah kami bertukar kata, beberapa ledakan muncul di sebelah kami. Tentu saja kami tiarap sebelum ledakan itu muncul, memastikan diri aman.

"Uhuk, uhuk."

Belum selesai aku terbatuk-batuk karena debu yang beterbangan, sebuah kain sudah melilit perutku dari dalam asap. Daripada melilit, lebih tepatnya mengikat. Ikatan ini selalu dilakukan untuk mengantisipasi pengendalian yang hilang. Dengan kata lain, benda yang melilitku sebenarnya bukan kain, tapi material non organik lain yang lentur, seperti silikon.

Seketika itu juga tubuhku ditarik dengan kasar keluar.

"EMIR!"

"Jangan khawatir Lugalgin, kami sudah mengamankanmu! Dan helikopter ini adalah barang antik!"

Emir menjawabku enteng, seolah menarikku dengan kasar adalah hal yang wajar. Di lain pihak, dia sudah mengantisipasi penghilang pengendali Ibu Amana. Ngomong-ngomong, aku penasaran dari mana dia mendapat helikopter antik.

Tergantung di selendang, aku memandang dinding istana yang berlubang, menunjukkan sosok perempuan berpakaian pelayan berkibar. Satu lantai di atasnya, terlihat dua sosok berdampingan yang melihat ke luar jendela, Ibu Amana dan Bapak Bilad.

"Cepat pergi! Sabotase jaringan militer yang kita lakukan hanya bertahan beberapa menit lagi."

Helikopter yang menyelamatkanku langsung pergi, menjauh dari tempat ini. Entah bagaimana caranya, mereka bisa meretas dan mengakali jaringan pertahanan militer dan menerbangkan helikopter ini. Tanpa melakukan hal itu, mungkin helikopter ini sudah ditembak jatuh ketika keluar dari wilayah Anshan.

Dalam waktu singkat, istana sudah tidak terlihat dan aku sudah ditarik masuk ke helikopter. Karena helikopter ini barang antik, aku tidak khawatir memegang lantainya ketika sampai di dalam.

"Terima kasih, Inanna, Emir, Rina."

Well, sebenarnya, aku ingin menghabiskan sedikit waktu lebih lama dengan Ira, mencari informasi. Namun, sangat tidak bijak aku menyalahkan istriku di saat ini. Wajah mereka terlihat begitu berseri. Bahkan, aku bisa melihat titik air mata di ujung kelopak.

Emir dan Inanna memelukku erat. Aku membelai rambut dan punggung mereka dengan lembut, menerima semua kekhawatiran dan kesedihan mereka. Well, lebih tepatnya, aku merasa kekhawatiran mereka lebih mendominasi daripada kesedihan. Di lain pihak, Rina duduk di ujung. Dia tidak bereaksi sama seperti Emir dan Inanna.

Tidak lama, Emir dan Inanna melepas pelukan dan memberi jarak. Mereka tidak melihatku lagi, tapi melihat ke arah Rina.

"Kenapa?"

"Rina, dari kami bertiga, jelas-jelas kamu yang paling khawatir."

"Emir benar, Rina. Sudah dipertemukan dengan Lugalgin, kenapa kamu masih jual mahal?"

"Hah? Jual mahal? Siapa yang jual mahal? Aku hanya–"

Aku mengabaikan pertukaran pembicaraan antara ketiga istriku dan langsung memeluk Rina.

"Gin, apa yang kamu–"

"Aku masih di sini, Rina. Aku masih di sini. Aku belum pergi."

Pergi yang aku maksud bukanlah berpindah ke lokasi lain, tapi tewas. Dan, tampaknya, pesanku tersampaikan ke Rina. Perlahan, aku bisa merasakan Rina yang mulai runtuh. Dia pun menangis dan memelukku erat.

"Gin, untunglah ... untunglah ...."

Aku menoleh ke belakang sejenak, melihat Emir dan Inanna yang menangguk pelan.

"Aku khawatir ibu akan ... ibu akan ...."

Rina tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Tampaknya, Rina benar-benar khawatir ibunya akan melakukan suatu hal buruk padaku.

Sebelum berpisah, aku sudah meminta Emir dan Inanna untuk mendukung dan terus bersama Rina. Ini bukan soal istri mana yang paling istimewa, tapi soal peran siapa yang paling penting. Saat ini, kami berada di kerajaan Nina. Kami berempat di sini untuk mengumpulkan massa dan dukungan terhadap Rina, tuan putri kerajaan. Jadi, Rina harus berada di garis depan, menunjukkan wajahnya.

Di satu sisi, aku bisa memahami perasaan Rina sebagai Alhold. Dia pasti takut semua yang kini dimiliki, seperti rumah, rekan berbicara, dan juga perlindungannya hilang ketika aku tewas. Dia pasti takut Emir dan Inanna tidak akan bersamanya lagi. Rina juga takut rumahku yang selama ini menjadi tempat bernaung hilang. Selain itu, pasti ada banyak ketakutan lain.

Namun, di balik itu semua, tampaknya Rina lebih takut kehilanganku, seperti bagaimana dia kehilangan adiknya. Apakah mungkin aku yang diculik ibunya mengingatkannya pada Tera yang juga diculik oleh ibunya? Bisa jadi.

Kalau ditanya, Rina pasti takut dukungan Bana'an padanya akan hilang kalau aku mati. Sebelumnya, aku menganggap ucapan Rina setengah benar. Namun, setelah mendengar ucapan Ira mengenai inkompeten suka mengambil peran orang jahat, aku jadi menyadari hal lain. Rina pasti memiliki pemikiran yang lebih tulus dibanding itu semua. Tanpa ucapan Ira, mungkin hal ini akan luput dariku.

Melihat bagaimana Rina tampak begitu sedih, rasanya sangat tidak mungkin aku mengatakan kalau ada hal lain dibalik kematian Tera. Saat ini, mungkin, dendam pada Ibu Amana adalah satu hal yang membuat Rina tetap bertahan. Kalau alasan itu dicabut dari Rina, aku tidak yakin kondisinya akan baik-baik saja. Aku khawatir.

"Apa yang harus kulakukan?"

Bersambung