Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.
============================================================
[Tidak, Lugalgin Alhold! Kamu lah yang harusnya diam saja!]
"Hah?"
Aku tidak salah dengar? Inanna membentakku? Inanna?
"Agh!"
Gara-gara Inanna, perhatianku sempat teralihkan. Hal ini mengakibatkan aku terlambat menghindar, melempar dan memaksaku melepas kedua pistol di tangan.
Sial! Luka di tubuhku semakin banyak dan parah. Aku pun kehilangan darah dengan sangat cepat. Darah? Darahku mengalir? Tidak! Kalau begini, orang yang melihat bisa tahu kalau darah inkompeten mampu menghilangkan pengendalian! Kalau ini, terjadi, usahaku selama ini akan sia-sia!
Ketika aku fokus dengan darah yang mengalir, suara logam berdenting terdengar di udara. Aku mengangkat kepala, melihat Ninlil yang membuat perisai dan melindungi diri dari hujan peluru.
[Aku hanya menggunakan peluru kecil dan aku memastikan tidak ada satu pun peluru yang akan mendarat di tubuh Ninlil. Namun, Ninlil tidak tahu hal ini jadi dia memasang perisai. Maksudku, orang mana yang tidak panik ketika dihujani peluru? Dan tenang, hanya aku dan Emir yang akan berpartisipasi langsung. Aku sudah memberi perintah pada Agade dan agen schneider untuk tidak bergerak.]
Serangan Inanna tidak berhenti ketika peluru yang dikirimnya menghantam perisai Ninlil. Setelah peluru itu terpental atau berbelok, peluru itu akan kembali ke arah Ninlil.
Ninlil pun terpaksa memasang perisai mengitari tubuhnya. Karena berada di balik perisai, dia tidak memperhatikan kalau sebenarnya peluru yang datang tidak menerjang lurus, tapi agak berbelok, melintang. Jadi, seperti ucapan Inanna, tidak ada satu pun peluru yang akan mendarat di tubuh Ninlil.
Sebuah suara ledakan menggelegar di kejauhan. Aku menoleh ke belakang, melihat bola api bermunculan di udara, di kejauhan. Selain di udara, beberapa ledakan juga muncul di sekitar, membuat dinding api yang memisahkan kami dari dunia luar.
Akhirnya, Inanna dan Emir berdiri di sampingku. Sementara Inanna menghadap depan, ke Ninlil, Emir menghadap belakang dengan 8 turret tank yang terus melepas tembakan.
"Inanna, Emir, aku...."
"Sudah kubilang kamu diam saja!"
Aku langsung meluruskan punggung ketika mendengar Inanna membentak lagi. Namun, posisiku tidak bisa bertahan lama. Tepat saat itu juga aku merasa gravitasi menarik sekuat tenaga. Pandanganku masih utuh, tapi aku bisa merasakan seluruh tubuhku terjatuh. Tubuh ini seolah menolak perintahku untuk bergerak.
Tubuh ini terjatuh, tapi tidak pernah menyentuh tanah. Inanna menangkap dan menahan tubuhku. Perlahan, dia merendahkan tubuh dan membiarkanku menyandar di dadanya. Inanna merengkuh erat, membenamkan wajahku di dadanya yang lembut dan kenyal.
"Inanna, aku, tidak bisa, bernafas."
Sekuat tenaga, aku berusaha mengangkat kedua tangan, berusaha mendorong Inanna. Namun, Inanna tidak melepasku begitu saja. Dia terus memelukku erat.
Setelah beberapa saat, akhirnya Inanna melepas pelukannya.
Akhirnya, aku bisa bernafas.
Saat ini, aku menatap tepat ke mata Inanna. Karena lemas, saat ini, posisiku wajahku di bawah Inanna.
"Lugalgin Alhold, apa yang kamu pikirkan? Bukankah kamu sendiri yang mengatakan kalau menyerang tanpa persiapan, maka nyawamu akan melayang? Apa kamu berencana mati?"
".....mungkin?"
Inanna mendekatkan wajahnya dengan cepat. Bahkan, dia hampir membenturkan dahinya denganku.
"Dan apa yang membuatmu berpikir kalau kamu memiliki hak untuk mati? Kamu belum menikahi kami! Kamu belum membebaskan ibuku dan Ninshubur dari belenggu Kerajaan Mariander! Kamu belum membersihkan Keluarga Alhold, belum menstabilkan intelijen Kerajaan ini, belum menyelamatkan Ninlil, be–"
"Ah, Inanna," Emir menyela, tapi tidak dengan nada keras atau membentak. Dia menyela Inanna dengan nada pelan, tenang, lembek.
Tampaknya, bukan hanya aku yang takut dengan Inanna mode marah.
Emir melanjutkan. "Bagaimana kalau marahi Lugalgin nanti setelah misi ini selesai? Kalau sekarang, kita tidak akan bisa memarahinya habis-habisan."
Inanna memisahkan wajahnya dariku sejenak, melihat ke Emir.
"Baiklah, akan kupersingkat." Inanna kembali menatapku. "Kalau kamu lupa, biar aku ingatkan lagi ucapanku. Aku dan Emir akan mengulur waktu hingga kamu siap. Kamu tidak sendiri. Jadi, sekarang, kamu diam saja dan tunggu, ya?"
Di saat ini, sebuah kenangan menyeruak, muncul ke permukaan. Aku teringat ketika beberapa bulan lalu menggendong Inanna setelah tes penerimaan Agade. Yah, dia mengucapkan kata yang sama. Padahal, kejadian itu baru berlangsung beberapa bulan yang lalu. Entah kenapa, terasa begitu lama bahkan sampai aku hampir melupakannya.
Namun, kalimat ini kembali terucap dengan intonasi yang berbeda. Kalau dulu Inanna mengatakan dengan lemah lembut, kali ini dengan nada menekan, penuh ancaman.
"Ba-baik."
Inanna melepaskan kedua tangannya, membiarkanku terjatuh.
Ahh, badanku sakit semua. Aku bisa merasakan semua otot di badan ini nyeri tanpa henti. Normalnya, semua rasa sakit ini akan muncul setelah pertarungan selesai, setelah adrenalinku menurun. Sayangnya, kali ini, karena Inanna dan Emir muncul dan menangkanku di tengah pertarungan, rasa sakitnya muncul terlalu awal.
Sekuat tenaga, aku menahan rasa sakit yang muncul dan mendudukkan tubuh. Aku melihat ke sekitar, ke Emir dan Inanna yang berdiri di kanan kiriku.
"Emir, tadi aku melihat ledakan di kejauhan. Kamu menyerang siapa?"
"Ah, tadi aku mengusir Ukin."
"Ukin?" Aku sontak merespon.
Seolah sudah menduga responsku, Emir menjawab dengan cepat.
"Jangan khawatir, dia datang hanya menonton dan berbincang-bincang dengan Mulisu. Ukin sudah pergi setelah aku mengusirnya."
Mengusir? Emir, kamu salah menggunakan kata mengusir untuk menyerang. Namun, aku tidak membahasnya.
"Gin, dengarkan aku,"
Inanna mendekatkan bibirnya ke telinga kiriku, berbisik. Samar-samar, aku bisa merasakan nafasnya yang menggeliti.
Ah, begitu ya. Ya, akan aku usahakan.
Aku mengangguk. "Baiklah."
Inanna memisahkan diri dariku dan bangkit. Tidak lagi terlihat mata yang menusuk. Kini, sebuah senyum panjang dari ujung ke ujung terpasang di wajah Inanna. Ya, Inanna memang lebih cocok mengenakan senyum seperti ini dibanding wajah penuh emosi dan nada tinggi.
"Emir, sekarang! Tukar posisi!"
"Baik!"
Kalau dilihat sejenak, tidak ada perubahan yang terjadi setelah mereka mengatakan hal itu. Namun, kalau matamu cukup awas, kamu bisa melihat ledakan yang membuat dinding api tidak lagi berasal dari peluru tank, tapi dari sebuah tombak. Ya, kali ini, yang membuat dinding api adalah Inanna. Tidak hanya itu.
"PERGI KALIAN! INI URUSAN KELUARGA!" Ninlil berteriak.
"Kami juga keluargamu!" Emir merespon lantang.
Begitu Inanna memfokuskan pengendalian ke tombak peledak, peluru yang menghujani Ninlil pun berhenti. Di saat itu, Ninlil langsung mengendalikan puluhan senapan dan bazoka. Namun, belum sempat melepas tembakan, dia sudah diganggu.
Beberapa turret tank berubah menjadi kain selendang, menghubungkan tubuh Emir dan semua senjata Ninlil. Seumur-umur, baru sekali aku melihat Emir menggunakan Krat sebagai selendang, pada malam itu di tol. Saat itu, aku mengira Emir hanya menggunakannya untuk membantu gerakan tubuhnya. Ternyata, dia juga menggunakannya untuk tali, seperti yang tampak di film oriental barat.
Kain selendang Emir menyelimuti senjata Ninlil. Ketika diselimuti, senjata itu tampak kehilangan bentuknya. Emir membuka selendang dan sebuah serbuk beterbangan, berhamburan di udara. Sementara Emir berdiri tegak dengan senyum terpampang, Ninlil menggertakkan gigi dengan mata membelalak sebelah.
Aluminium dan silikon. Aluminium silikat? Emir menggunakan pengendalian hingga tingkat molekul?
Ah, begitu ya. Alasan Emir menyelimuti senjata Ninlil adalah untuk mencegah silikonnya bereaksi dengan hidrogen di udara, mencegahnya meledak. Dia memadukan silikon pada Krat dengan aluminium pada senjata Ninlil, menghasilkan aluminium silikat. Begitu menjadi satu, Ninlil pun kehilangan pengendalian.
"Ninlil, kamu memiliki pengendalian aluminium dan tingkat pengendalianmu adalah spesial. Namun, aku ragu kamu bisa mengendalikan silikon. Di antara kita berdua, kurasa sudah sangat jelas siapa yang pengendaliannya lebih spesial. Aku"
Emir memberi deklarasi sambil menunjuk dirinya dengan jempol.
Ninlil yang sejak kecil dielu-elukan sebagai pengendali terkuat keluarga Alhold dan orang paling spesial tidak mampu menerima ucapan Emir. Dia mengendalikan puluhan senjata dan aluminium. Namun, semuanya sia-sia. Belum sempat melepaskan serangan, semua aluminium yang dia kendalikan telah berubah menjadi pasir.
Ninlil termakan emosi dan mau menyerang Emir. Dia mengubah sebuah aluminium menjadi tombak dengan ujung penusuk.
Emir, di lain pihak, menyelimuti tangannya dengan Krat dan menghadapi Ninlil dengan sarung tangan. Ketika berhadapan dengan mata tombak Ninlil, aku mendengar suara tumpul, bukan denting. Dengan kata lain, sarung tangan Emir tidak terbuat dari besi, tapi dari silikon. Suara yang dihasilkan mirip seperti bodi plastik kendaraan dihantam.
Emir dan Ninlil berdua saling melempar, menahan serangan, dan menghindar. Di sekitar mereka, selendang Emir dan senjata api Ninlil masih terus bertarung, menghasilkan pasir yang ditiup oleh udara.
Aku tidak tahu kenapa, tapi tampaknya efek pencucian otak Ninlil masih belum stabil. Ketika menghadapi orang lain selain aku, dia tampak termakan emosi, seolah ingin segera menyingkirkan orang itu dan kembali berurusan denganku.
Sejak awal, Emir sengaja memberi provokasi pada Ninlil. Semakin Ninlil terprovokasi, semakin mudah pula serangannya dibaca.
Di lain pihak, dinding api masih membumbung tinggi, memisahkan kami dari dunia luar. Inanna terus memastikan dinding api berdiri, membuat orang luar tidak mampu mengetahui apa yang terjadi di dalam sini. Emir pun sudah mematikan video kamera dan drone. Dia harus fokus dengan pertarungannya melawan Ninlil. Kalau tidak, risiko Ninlil terluka akan meningkat drastis.
Terkadang, jika ada anggota keluarga Alhold terlihat di kejauhan, Inanna akan langsung menghujaninya dengan peluru. Namun, dia tetap menjalankan permintaanku yang menginginkan mereka hidup-hidup. Setelah ini berakhir, mungkin dia akan meminta penjelasan detail kenapa aku meminta anggota keluarga Alhold dalam kondisi hidup sebanyak mungkin.
Emir sibuk dengan Ninlil. Inanna sibuk dengan dinding api dan keluarga Alhold yang lain. Aku masih menunggu.
Sementara itu, aku terus melihat ke arah ayah. Sampai sekarang, dia belum bergerak. Ayah hanya diam di samping, tidak menunjukkan tanda-tanda akan menolong Ninlil.
Perlahan, aku bisa merasakan nafasku semakin tenang. Meski belum sepenuhnya sembuh, setidaknya aku sudah mulai terbiasa dengan rasa sakit di sekujur tubuh. Perlahan, aku mencoba berdiri, lalu merenggangkan tubuh, pemanasan. Aku harus segera membiasakan tubuh ini dengan rasa sakit agar bisa bergerak dengan lancar lagi.
"Lugalgin, kamu sudah bisa bergerak?"
"Ya, sudah."
Aku melompat-lompat kecil, membiasakan sarafku dengan rasa sakit yang menjalar.
"Masih belum juga ya?"
"Dia harus pergi ke kantor dulu. Apa yang kamu harapkan?" Inanna merespons dengan enteng.
Meski tampak normal, aku yakin mempertahankan dinding api dan mengeliminasi semua keluarga Alhold yang terlihat menghabiskan staminanya dengan cepat. Keringat pun mengalir dengan deras dari seluruh tubuhnya. Bukan hanya Inanna, Emir juga sama. Keringat yang menempel di tubuh membuat mereka berdua sedikit berkilau. Cukup merangsang.
"Gin, aku mendapatkan perasaan kamu berpikiran hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan serangan ini."
"Yah, mau bagaimana lagi. Kalian sudah membuat adrenalinku turun. Jadi, pikiranku normal lagi. Dan, Inanna, kamu tidak perlu menjawabku. Kamu cukup berkonsentrasi pada apa yang kamu lakukan. Sebelum kamu bertanya, adrenalinku belum turun sejak serangan semalam. Dan, entahlah, mungkin kalian marah tadi siang adalah kejadian yang membuatku paling terguncang sejak semalam."
Dengan kata lain, secara tidak langsung, aku menyalahkan Emir dan Inanna untuk keteledoran ini.
Inanna memicingkan sebelah mata, tampak tidak terima dengan ucapanku.
Yah, aku hanya bilang mungkin sih. Tidak pasti juga. Mungkin, lebih tepatnya, hal buruk terjadi secara bertubi-tubi membuat pikiranku stres.
Aku menarik nafas dalam, mencium baru asap yang tersebar di udara.
Kalau dipikir-pikir, akhir-akhir ini, aku sering stres sendiri ya? Hal ini membuatku menjadi teledor dan lebih mementingkan menyerang langsung. Aku penasaran apa penyebabnya.
Sementara aku berdiam diri, memikirkan keadaan, sebuah suara tumpul terdengar. Beberapa langkah di depan, terlihat sebuah tombak menancap dengan shotgun terikat di bagian atas.
Aku melihat ke atas, ke arah Mulisu yang tersenyum sambil memberi salut dari atas lipan logam. Ya, Mulisu baru saja pergi ke markas Agade, mengambil tombak dan shotgunku, lalu kembali ke sini. Dia bisa pulang pergi dalam waktu kurang dari 15 menit. Aku penasaran secepat apa dia? Apa dia menggunakan wewenangnya sebagai intelijen kerajaan? Yah, aku tidak peduli juga.
Aku berjalan dan mengambil shotgun yang terikat. Ketika mengecek isinya, shotgun ini sudah terisi oleh peluru karet sebanyak 6 buah dan 6 peluru karet cadangan terpasang di samping. Bagus! Kalau hanya peluru karet, Ninlil tidak akan terluka parah.
Di kanan, sebuah tombak sepanjang dua setengah meter berwarna hitam dengan garis biru berpindah ke tangan. Di bagian ujung, terlihat tiga mata tombak terpasang. Satu mata berupa pisau berbentuk segitiga. Di bawah mata tombak pertama, di kanan dan kiri, terpasang mata tombak yang melengkung. Ketiga mata tombak itu memakan tempat sebanyak 40 cm dari dua setengah meter panjang tombak dengan lebar hanya satu jengkal.
Shotgun putar di tangan kiri, tombak tiga mata di tangan kanan. Kalau kondisiku sedang fit, mungkin aku akan melakukan dual wielding dengan kedua senjata ini. Namun, saat ini, tubuhku di ambang kehancuran. Hell! Bahkan tidak berlebihan kalau aku mengatakan tubuhku di ambang kematian. Aku harus mencari strategi yang tidak terlalu membebani tubuh.
Saat ini, Ninlil masih sibuk bertarung dengan Emir. Di lain pihak, Inanna masih sibuk dengan dinding api. Aku tidak melihat ada keluarga Alhold yang masih bisa bergerak, jadi, seharusnya, beban Inanna sudah berkurang.
Di saat ini, bisikan Inanna terngiang di benakku, "Saat ini, Mulisu sedang mengambil tombak tiga mata dan shotgun putarmu. Sementara itu, kami akan mengulur waktu agar kamu bisa istirahat dan memikirkan strategi dengan pikiran jernih. Kalau kamu sudah bisa bertarung, kami percayakan nyawa kami dan semuanya padamu."
Entah sejak kapan, aku merasa wajahku lemas lagi. Sekarang, aku bisa merasakan dengan jelas sebuah senyum terpampang di wajah. Meski sempat mengkhianati kepercayaan mereka, kedua calon istriku masih mempercayaiku. Aku yang sempat bimbang apakah bisa mendapat kepercayaan mereka lagi pun menjadi yakin.
Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya.
Aku berteriak, "Emir, terus buat Ninlil sibuk. Inanna, tetap pertahankan dinding apimu. Aku akan mematikan pengendalian Ninlil."
"SIAP!"
Emir dan Inanna menjawab dengan tegas dan lantang. Tidak terdengar sedikit pun keraguan dari suara mereka padahal tidak mendengar rencana yang kubuat.
Terima kasih, Inanna. Terima Kasih Emir. Terima kasih karena kalian sudah mempercayaiku.
Bersambung
===========================================================
Halo semuanya.
Pada chapter ini, sebuah flashback terjadi yang merujuk pada chapter awal di Arc 1 dan akhir di Arc 3-1. Selain itu, kalau ada yang ahli kimia, untuk masalah Emir mengubah aluminium Ninlil menjadi aluminium silikat berbentuk pasir, jangan dipikirkan terlalu mendalam. Ini hanyalah fiksi dan fantasi, anggap saja demikian. Hahahaha
Selain itu, tanpa author sadari, ternyata chapter ini adalah chapter ke 100 (menurut wattpad). Yeay! Sayangnya, tidak ada perayaan khusus yang bisa author lakukan untuk publikasi ke 100 ini.
Jadi, seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.
Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.
Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree
Author benar-benar berterima kasih kepada semua reader yang telah membaca I am No King sejak chapter prolog hingga chapter 100 ini. Sekali lagi, terima kasih.
Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna