Chereads / I am No King / Chapter 103 - Arc 3-3 Ch 31 - Asupan Kalori

Chapter 103 - Arc 3-3 Ch 31 - Asupan Kalori

Seperti biasa, kalau ada yang mengganjal atau ada kesalahan ketik, silakan langsung comment. Kalau bagian mengganjal, selama tidak spoiler dengan story, akan Author jawab.

============================================================

Ya, satu-satunya hal yang terlintas di benakku ketika mendengar pertumbuhan daging yang cepat adalah kanker. Sebenarnya, saat ini, aku sangat ingin menggigit kuku. Namun, aku menahan diri dan hanya meletakkan tangan di dagu.

"Tapi ayah, Kak Lugalgin tidak memiliki gejala seperti orang yang terkena kanker, kan?"

"Ayah bilang seperti kanker. Tapi, yang dialami Lugalgin bukan kanker."

Ya, benar, yang terjadi di tubuh Lugalgin memang bukan kanker, hanya seperti kanker.

"A-"

"Inanna, sudah aku bilang kamu diam saja," Om Barun menyela. "Biar aku yang mengurus penjelasan ke mereka."

Om Barun, apa kamu tidak overprotektif? Aku dan Emir hanya kelelahan karena menggunakan pengendalian terlalu lama. Kami tidak perlu istirahat total hingga tidak berbicara.

"Jadi, Ninlil, anehnya, pertumbuhan daging abnormal kakakmu hanyalah terjadi ketika dia terluka. Tadi saat memeriksa Lugalgin, aku mencoba menyayat anggota tubuhnya yang tidak terluka. Di saat itu, tempat yang kusayat langsung mengalami pertumbuhan daging yang tidak normal. Jika luka normal butuh 1 – 2 hari untuk menutup, kakakmu tadi hanya membutuhkan beberapa jam."

Om Barun melanjutkan penjelasannya. Di satu sisi, hal ini memang benar-benar menolong Lugalgin. Seperti ucapan Ninlil, tidak peduli separah apapun luka yang dialami oleh Lugalgin, dia akan sembuh dengan cepat. Namun hal ini juga datang dengan hal negatif. Salah satunya adalah tulang dan daging Lugalgin yang terlalu padat.

Semakin padat daging dan tulang, akan semakin berat pula tubuh Lugalgin. Semakin berat tubuhnya, dia akan membutuhkan asupan kalori yang lebih tinggi. Untuk orang dengan badan seperti Lugalgin, normalnya berat badannya tidak akan mencapai angka 80 kg. Orang dengan berat 80 kg, dalam seminggu, hanya membutuhkan kalori sebanyak 2500.

Namun, karena berat Lugalgin hampir 100 kg, dia membutuhkan jumlah kalori yang jauh lebih banyak. Normalnya, kalau hal ini terjadi, berat tubuh orang itu akan berkurang. Namun, kalau hal ini terjadi pada Lugalgin, efeknya bukanlah berat tubuh yang berkurang, tapi kesehatan Lugalgin yang terganggu.

Jika Lugalgin kekurangan asupan kalori, tubuhnya akan mulai mengalami masalah, entah sulit bernafas, aliran darah tidak lancar, jantung berdetak lebih lambat, atau sebagainya. Hal ini karena jumlah kalori minimal tidak berubah. Seperti mesin yang kekurangan bahan bakar, tubuh Lugalgin akan rusak oleh beban yang dipikulnya.

Sederhananya, otot dan tulang yang lebih berat dan padat akan memberi beban berlebih pada tubuh Lugalgin.

"Jadi, dengan demikian, aku sarankan pada kalian untuk membujuk Lugalgin agar dia pensiun dari lini depan pasar gelap. Akan jauh lebih baik dan aman bagi Lugalgin kalau dia hanya sebagai ahli strategi."

Aku terdiam dan melihat ke kiri, ke arah Emir. Emir pun melihat ke arahku. Tanpa perlu mengeluarkan sepatah kata, kami sudah bisa berkomunikasi sederhana.

Yang menjadi kekhawatiran kami adalah apakah Lugalgin mau mendengarkan? Seperti yang dibicarakan oleh Mulisu dan Ukin, seharusnya, Lugalgin bukanlah tipe yang suka serangan frontal atau maju ke lini depan. Seharusnya, Lugalgin adalah tipe orang yang mengandalkan strategi dan jebakan.

Meski tadi dia melakukannya, aku tidak yakin dia akan mendengarkan lagi. Kalau Lugalgin dalam keadaan normal, dia akan mendengarkan. Kalau dalam kondisi kelelahan atau ada hal lain yang menimpanya, entahlah. Aku khawatir, jangan-jangan, Lugalgin maju ke lini depan adalah cara pelampiasan stresnya.

Kalau ucapan Mulisu dan Ukin adalah benar, dulu, mencari informasi dan membunuh keluarga Cleinhad mungkin adalah cara Lugalgin melampiaskan stres. Namun, setelah keluarga Cleinhad dibantai, Lugalgin seperti kehilangan media pelampiasan stres.

Aku sendiri tidak yakin, tapi menurutku dugaan itu adalah yang paling tepat. Jadi, sekarang, kami harus mencari sebuah sarana pelampiasan stres untuk Lugalgin.

"Sebagai catatan," Om Barun menambahkan. "Tadi, saat aku melakukan scan pada tubuh Lugalgin, aku mendapati syarafnya mendapat tekanan yang berlebih dari pertumbuhan tulang dan ototnya. Jadi, selain rasa sakit dari luka, Lugalgin juga akan mendapat rasa sakit dari proses penyembuhan. Bahkan, aku bisa bilang, rasa sakitnya jauh lebih parah dari yang dialami pasien kanker tulang."

Oke, itu mengganggu. Amat sangat mengganggu. Daripada Lugalgin tewas karena efek pertumbuhan daging dan tulang, bagiku, hal ini justru jauh lebih penting. Kamu pasti bercanda, kan? Selain rasa sakit dari luka, Lugalgin masih mendapat rasa sakit dari proses penyembuhan? Hal ini sama saja seperti penyiksaan.

"Meski aku mengatakan itu semua, aku sendiri tidak yakin dengan ucapanku," Om Barun memberi catatan tambahan. "Maksudku, sejak beberapa tahun terakhir, aku baru memeriksa tubuh Lugalgin malam ini. Bahkan, aku baru melakukan pemeriksaan mendetail tadi. Jadi, aku merasa kekurangan data."

Meski Om Barun mengatakan kekurangan data, tapi, sebagai ayah Lugalgin yang sering bertemu dengannya, dia memperhatikan Lugalgin sehari-hari. Jadi, pengamatan Om Barun terhadap Lugalgin sebenarnya sudah berjalan lama. Namun, pengamatan ini hanya sebatas observasi visual.

Dengan kata lain, Om Barun merendahkan dirinya. Mungkin, dia merasa bersalah karena baru bisa menarik kesimpulan atas semua yang terjadi pada tubuh Lugalgin sekarang, setelah 19 tahun.

"Inanna, Emir, mulai sekarang aku akan memberi kalian stok obat bius. Seperti yang kubilang sebelumnya, entah kenapa Lugalgin tidak bisa pingsan. Meskipun dia pensiun dari lini depan, ada kemungkinan dia diserang dan terluka. Jadi, satu-satunya cara untuk membuat Lugalgin terlepas dari rasa sakit yang dia alami adalah membuatnya tertidur dengan obat bius."

Aku dan Emir mengangguk.

"Namun, tentu saja, karena tubuh Lugalgin memiliki kecepatan pemulihan yang tidak normal, efek obat bius ini akan cepat habis. Jadi, kalau kalian sedang keluar kota dan tidak ada rumah sakit di bawah manajemenku di kota itu, kalian harus menyuntikkan obat bius ini setiap 1 atau 2 jam sekali. Dan, bahkan, sekarang aku harus memberi bius lagi pada Lugalgin sebelum dia sadarkan diri."

Om Barun melihat ke jam di ujung ruangan, di atas papan tulis pada bagian ruang yang berantakan. Dia pun berjalan melewati kami dan keluar ruangan. Sebelum keluar ruangan, Om Barun berhenti dan memberi tawaran.

"Kalau kalian mau bersama Lugalgin, aku memperbolehkannya, tapi dengan syarat kalian harus diam. Benar-benar diam. Kalau kalian berisik, meski sudah dibius, ada kemungkinan Lugalgin akan bangkit. Kalau bangkit, dia akan merasakan semua rasa sakit itu. Bagaimana?"

"Ya, kami mau."

Tanpa mengkomunikasikannya terlebih dahulu, seolah sudah sependapat, aku dan Emir memberi jawaban yang sama.

Om Barun mengangguk. "Ninlil?"

Ninlil menggeleng. "Tidak. Rasanya, aku pulang saja. Kasihan ibu sendirian mengurus Ninshubur."

"Kalau begitu, bisa tolong bantu mereka ke kamar Lugalgin? Aku akan meminta pegawai menambah kasur di kamar Lugalgin."

"Baik,"

***

Perlahan, cahaya kembali ke pandanganku. Ketika membuka mata, yang kulihat hanyalah langit-langit berwarna putih.

Aku menoleh ke kanan, ke kiri. Tidak ada seorang pun di tempat ini. Ada dua ranjang di kanan dan kiriku. Meski selimut, bantal, dan gulingnya tampak rapi, terlihat sarung dan sepreinya lusuh. Ada orang yang menggunakannya.

Ah, iya, Emir dan Inanna tidur di ruangan ini. Beberapa kali, ketika aku bangkit dan ke kamar mandi, mereka terus membantu berjalan. Setelah itu, mereka memberiku obat bius agar aku bisa tertidur lagi. Tampaknya nyawaku masih belum lengkap sehingga kehadiran mereka hampir terlupakan olehku.

Aku bangkit, duduk di atas kasur. Akhirnya, semua rasa sakit itu sudah menghilang. Ah, sudah lama sekali sejak terakhir aku merasakan rasa sakit separah itu. Kapan ya terakhir kali? Entahlah. Aku lupa.

Atau mungkin aku belum pernah mendapat luka separah itu? Entahlah. Ini adalah kali pertama aku dirawat di rumah sakit.

Aku melihat ke sekitar. Ada jam di belakang ruangan, yang berbatasan dengan dinding kamar mandi. Jam itu menunjukkan jam 11. Karena tidak ada jendela, aku tidak tahu sekarang jam 11 siang atau malam.

Di samping kanan ranjang, di antara dua kasur, terdapat sebuah meja tinggi. Di atasnya, beberapa buah potong terhidang. Aku tidak tahu siapa yang menghidangkannya, tapi, tampaknya, orang itu sudah bersiap kalau aku tiba-tiba bangkit dan kelaparan, seperti sekarang. Tanpa basa-basi lagi, aku mulai melahapnya.

Aku tidak berhenti pada satu buah apel. Aku terus dan terus makan. Apel, pisang, anggur, nanas, semua buah yang terpotong aku makan. Untung saja buah-buahan ini mengandung air, jadi tenggorokanku tidak terlalu terbebani. Namun, sayangnya, satu piring buah masih belum cukup untuk menghilangkan rasa laparku. Aku butuh makan berat.

Karena tidak ada satu pun kabel atau infus menancap, aku langsung berdiri. Namun, ketika berdiri, aku tidak mampu merasakan kakiku berpijak, seolah melayang. Kedua tanganku berpegang pada kasur, menahan tubuhku.

Sudah berapa lama aku tertidur bahkan berdiri saja tidak bisa? Sudahlah. Aku urus itu nanti. Dengan berpegang pada kasur dan menyandar pada dinding, aku berusaha menggeret tubuhku keluar.

Satu hal yang paling aku benci dari rumah sakit adalah semua bangunan itu memiliki interior yang sama. Karena hal itu, kalau dari dalam seperti ini, sulit untukku bisa membedakan rumah sakit A dan B. Jadi, aku tidak tahu denah dan tata letak ruangannya.

Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya, kakiku sudah bisa berjalan normal. Aku tidak perlu lagi menyandar di dinding. Dengan demikian, kecepatan berjalanku pun kembali normal. Aku sampai ke pertigaan dan melihat ada perawat yang muncul dari dinding. Bukan dari dinding, tapi, mungkin, dari pintu yang tidak tampak.

Aku berjalan ke perawat itu dan mendapati mereka keluar dari lift. Setelah bertanya, mereka memberiku arah ke kantin. Aku pun naik lift dan turun ke lantai 1, ke kantin umum.

Normalnya, pasien sepertiku harus diberi makanan lembut ketika baru sadar. Hal ini untuk mengurangi beban sistem pencernaanku. Namun, kalau makanan lembut, aku tidak bisa makan terlalu banyak atau aku akan mual karena bosan. Jadi, makanan normal adalah satu-satunya pilihan.

Di dalam lift, aku baru sadar kalau belum meninggalkan pesan atau apa pun untuk Emir dan Inanna. Semoga mereka tidak panik ketika melihatku menghilang.

Maaf ya, Inanna, Emir, aku benar-benar lapar. Aku tidak bisa menahannya lagi. Semoga kalian memaafkan calon suami yang lebih mementingkan makanan daripada menanti kalian di kamar atau setidaknya memberi kabar.

Ketika sampai kantin yang memancarkan cahaya di balik jendela, aku tahu kalau saat ini adalah siang, bukan malam. Selain itu, akhirnya aku tahu tempat ini adalah Rumah Sakit Yayasan Haia. Yah, saat itu ada ayah, jadi normal kalau aku dilarikan ke sini. Dan, tampaknya, staf kantin di rumah sakit ini mengenaliku. Ketika aku datang ke kasir dan memesan, mereka bilang aku tidak perlu membayar. Bahkan, mereka menyiapkan meja khusus untukku.

Untunglah aku tidak perlu membayar. Aku sedang tidak membawa dompet saat ini. Namun, kalau staf kantin mengenaliku, kenapa perawat tadi tidak? Kalau aku ingat, wajahnya masih muda. Apa mereka pegawai magang? Kalau benar, maka normal jika mereka tidak mengenaliku.

Tidak! Jujur, aku terkejut staf kantin mengenaliku. Seumur hidup aku menginjakkan kaki ke rumah sakit ini kurang dari 10 kali. Namun, di lain pihak, bisa jadi staf sudah mendapat pemberitahuan atau informasi kalau aku dirawat di rumah sakit ini. Lalu, mereka mencari info mengenai wajahku di internet. Yah, bisa jadi.

Namun, aku tidak memedulikan itu semua. Ketika makanan datang, aku tidak bisa menahan air liur lagi. Tanpa basa-basi, selamat makan!

Um, makanan di kantin ini enak sekali. Antara rasa manis, asin, gurih, dan pedasnya berimbang. Aku bisa merasakan lidahku yang bersilat, menghadapi semua makanan yang memasuki mulut. Aku tidak yakin makanan di kantin rumah sakit memang seenak ini atau rasa laparku membuat semua makanan menjadi enak. Namun, aku tidak peduli sama sekali. Yang penting rasanya enak.

Aku terus dan terus melahap semua makanan yang datang. Tidak terhitung berapa banyak porsi yang kumakan, tapi aku masih belum merasa penuh atau kenyang.

Akhirnya, setelah hampir satu jam, aku selesai makan. Di kanan kiriku, terlihat tumpukan piring yang cukup tinggi. Mungkin tingginya sama denganku kalau aku berdiri. Aku tidak yakin bagaimana piring di bagian atas ditumpuk. Apa aku melemparnya? Entahlah. Yang penting, sekarang aku sudah kenyang.

Di lain pihak, kalau aku lihat sekitar, seharusnya kantin ini ditujukan untuk pengunjung, bukan pasien. Aku berterima kasih karena para pegawai masih mau menghidangkan makanan dengan rasa kuat kepadaku.

"Gin?"

Akhirnya, sebuah suara familier terdengar. Aku menoleh ke kiri dan melihat Inanna sudah berdiri.

Tunggu dulu, sejak kapan Inanna berdiri di situ? Bukan hanya Inanna, Emir juga ada di sampingnya. Apa aku terlalu fokus makan? Sial! Kalau benar, aku benar-benar lengah. Salah-salah ada musuh datang dan membunuhku tadi.

Kembali ke urusan sekarang. Emir dan Inanna tersenyum lebar. Namun, meski tersenyum, air mata mereka mengalir. Ketika melihat senyum dan air mata mereka, dadaku merasa sesak. Entahlah, aku seperti merasakan sebuah emosi dalam senyum mereka, seolah kesedihan dan perasaan lega bercampur aduk. Di lain pihak, perasaan bersalahku muncul.

"Hai Inanna, Emir. Maaf ya aku tidak memberi kabar. Saat tadi bangun, aku lapar sekali, jadi aku langsung ke sini."

Tanpa memberi jawaban, Emir dan Inanna langsung memelukku. Bahkan, aku hampir terjatuh dari kursi. Perlahan, dan secara lembut, aku mengusap kedua kepala mereka. Dari usapan tangan ini, aku bisa merasakan tubuh mereka yang bergetar begitu hebat. Tampaknya, aku sudah membuat mereka khawatir beberapa hari belakangan.

"Maafkan Aku, Emir, Inanna. Terima kasih sudah merawatku beberapa hari ini."

Aku bilang beberapa hari karena belum tahu berapa lama aku tertidur.

Ketika Emir dan Inanna memelukku erat, perhatian semua orang tertuju pada kami. Mereka semua tersenyum. Bahkan ada yang menutup mulut dan menitikkan air mata. Ayolah, kalian terlalu mendramatisi.

Dari lorong yang terhubung ke lift, tempatku tadi muncul, ayah datang. Dia mengenakan pakaian formal yang dilapis dengan jas dokter. Dia datang dan berdiri di depanku, di balik meja.

"Halo, ayah."

"Gin, aku tahu kalau kamu sangat kelaparan. Tapi bisa tolong tidak langsung pergi seperti ini? Mereka sudah cukup khawatir dengan kamu yang hampir tewas."

Aku masih tersenyum dan membelai Emir dan Inanna.

"Ya, maafkan aku."

Bersambung

===========================================================

Halo semuanya.

Maaf ya baru sempat update kamis siang. Kemarin seharian, sampati siang ini, real life benar-benar full. Bahkan ini nyolong waktu istirahat untuk update. hehe

Seperti biasa. Author ingin melakukan endorse pada artist yang gambarnya author jadikan cover, yaitu 千夜 / QYS3.

Kalau kalian membaca di komputer, di bagian bawah, di bawah tombol vote, ada tombol external link yang akan mengantar kalian ke page pixiv artistnya. Author akan berterima kasih kalau kalian press like di pixiv atau bahkan love.

Kalau kalian membaca lewat app, kalian bisa ke page conversation author. pada pinned post, author akan post link pixiv artistnya. Bisa banget dibuka pixiv pagenya, lalu like gambar-gambar yang ada di galeri. Atau bisa juga kalian search twitternya. User Id artisnya @QYSThree

Author benar-benar berterima kasih kepada semua reader yang telah membaca I am No King sejak chapter prolog hingga chapter 100 ini. Sekali lagi, terima kasih.

Dan, ini ada sebuah endcard dari pokarii, sebuah ucapan terima kasih dari Emir dan Inanna