"Sekian laporan dari kami."
"Terima kasih, kamu boleh pulang."
"Baik, terima kasih."
Shu En meninggalkanku, yang duduk di kursi. Aku membaca laporan yang dia dan anggota Agade buat lebih lanjut. Anggota Agade yang aku maksud tentu saja yang bekerja sebagai instruktur agen schneider, bukan yang saat ini menjalankan Agade.
Mereka, anggota Agade yang di sini, aku perintahkan untuk meneliti kebenaran dokumen yang diberi oleh Akadia. Dokumen dari Ibla? Nanti saja aku baca.
"Gin?"
"Ya?"
Shu En berhenti di pintu.
Aku menoleh, menatap Shu En. Matanya tampak tidak bersemangat, agak sedikit muram. Aku tidak tahu kenapa.
"Jangan memaksakan diri. Kamu masih belum 20 tahun, kan?"
Ah, karena itu.
"Jujur, aku tidak tega ketika melihat laki-laki yang seumuran dengan anakku memikirkan semua hal ini. Tolong jangan memaksakan diri."
Aku sama sekali tidak memaksakan diri sih. Banyak pekerjaan yang kuberikan ke orang lain, baik ke agen Schneider maupun anggota Agade. Namun, bagaimanapun juga, dia adalah seorang ibu. Aku bisa memahami perasaannya.
"Aku tidak akan memaksakan diri. Banyak pekerjaan yang kuberikan pada kalian, kan?"
"Iya, sih. Tapi...." Shu En tersenyum masam. "Baiklah kalau begitu. Aku pulang dulu ya."
"Ya..."
Akhirnya, aku sendirian di ruangan ini, melanjutkan membaca laporan. Agar tidak terlalu lelah, aku berpindah ke sofa. Tidak lama kemudian, aku sudah selesai membaca cepat laporan ini, dan meletakkannya di atas meja.
Laporan ini berisi mengenai hasil pencarian calon siswa sekolah mata-mata. Aku hanya membaca cepat, jadi aku hanya membaca di bagian nama dan kenapa mereka dipilih. Sebagian besar, anak-anak ini dipilih karena mereka memiliki hubungan dengan pasar gelap, baik karena urusan keluarga atau keinginan sendiri.
Sisanya, bervariasi. Ada yang karena memiliki potensi akademik yang menjanjikan, ada yang menjalankan organisasi bayangan di sekolah, ada yang berlatih bela diri diam-diam, latar belakang, suram, dan lain sebagainya.
Baiklah, mari kita buat daftar apa saja yang perlu kulakukan.
1. Merekrut dan melatih Agen schneider baru
2. Meningkatkan kekuatan tempur intelijen kerajaan
3. Menyingkirkan agen schneider yang tidak mau bekerja untukku
4. Mencoba menggaet dua dari enam pilar yang tersisa, Quetzal dan Guan
5. Mencoba menggaet mafia, yakuza, gangster, atau semua organisasi tidak resmi yang ada
6. Mencari inkompeten untuk menggantikanku
7. Mengatur negosiasi dengan True One
8. Melatih Shinar
9. Memastikan keluarga Alhold tidak merepotkanku
Sial! Banyak sekali yang harus kulakukan.
"Gin, kamu masih di sini?"
"Ya, aku masih di dalam."
Aku menjawab Emir yang mengetuk pintu.
Mereka berdua pun masuk dengan membawa dua tas karton berisi bahan makanan.
Ah, ya, aku lupa. Aku harus melatih Emir dan Inanna juga, terutama dalam hal pertarungan jarak pendek. Aku sempat dengar anggota Agade ingin melatih Inanna dan Emir, tapi mereka tidak membahasnya lagi. Apa aku saja yang melatih Emir dan Inanna?
"Ah, kamu kenapa melihat kami seperti itu, Gin?"
"Seperti apa?"
"Seperti kami adalah sebuah beban. Apa kami terlalu merepotkanmu? Apalagi semalam..."
Jawaban Inanna membuatku tersenyum masam. Di satu pihak, aku merasa tenang ketika mendengar dia tidak ingin merepotkanku. Di lain pihak, aku juga sedikit sedih karena tanpa kusadari sudah melihat mereka seperti beban.
Ya, memang sih mereka agak merepotkanku. Namun, itu adalah hak mereka. Atau lebih tepatnya, ini adalah kewajibanku sebagai ketua Agade terhadap anggotanya. Di lain pihak, aku juga merasa ini adalah kewajibanku sebagai calon suami mereka.
"Tidak. Kalian bukan beban. Aku hanya sedikit.... terkejut? Entahlah, ketika aku memikirkan semua hal yang harus kulakukan, aku mulai mempertanyakan diriku sendiri. Kenapa aku mau melakukan semua ini? Ini tidak seperti aku. Aku ingin hidup tenang, sederhana, dan tanpa gangguan."
"Iya juga ya." Emir meresponsku cepat. "Tapi gin, apa kamu berharap bisa hidup tenang setelah menemui kami di jalan tol itu? Belum lagi mengenai fakta kamu membantai keluarga Cleinhad. Tambah, kamu adalah inkompeten yang seharusnya menyatukan lima negara dan menjadi Raja Kerajaan Kish."
Aku menundukkan kepala, mengistirahatkan dagu di telapak tangan kanan.
Semua ucapan Emir adalah benar. Tampaknya dia berbakat untuk menyerang psikologi seseorang, yaitu aku.
Kalau aku pikir-pikir lagi, sejak lahir, aku tidak ditakdirkan untuk memiliki hidup tenang dan normal. Sejak aku lahir, semua masalah ini telah menantiku. Walaupun keluarga Cleinhad tidak menculik Tasha, cepat atau lambat, aku tetap akan berurusan dengan mereka. Justru aku bisa sedikit, sedikit, bersyukur karena menyingkirkan mereka lebih awal.
Padahal, ketika aku masih kecil, aku memperkirakan akan dibuang oleh keluarga Alhold, menjadi pekerja kelas bawah, hidup dengan bayaran di bawah rata-rata. Dengan kata lain, hidup standar tapi penuh dengan kesusahan. Setidaknya, masih bisa bertahan hidup.
Ya, aku kira hidupku akan berjalan seperti itu. Aku kira.
"Gin, tenanglah...."
Tiba-tiba saja, kepalaku ditarik ke kanan, mendarat ke sebuah kelembutan, kehangatan, dan kelembutan. Sekarang, Inanna memelukku sambil menyandarkan kepalaku ke dadanya.
"Apa kamu lelah?"
Aku tidak menjawab. Bukannya aku tidak mau menjawab, tapi aku tidak tahu mau menjawab apa. Aku tidak tahu.
"Ketika kamu lelah secara fisik, secara tidak langsung kondisi psikologi dan mentalmu pun akan ikut terbawa lelah." Inanna mengelus kepalaku. "Tampaknya, kamu mulai kepikiran banyak hal gara-gara kecapekan. Kami minta maaf karena tadi malam tidak membiarkanmu beristirahat."
Aku tidak menyalahkan kalian. Aku..... entahlah. Aku tidak tahu.
Kalau aku merunut kejadian yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, aku menyadari semua itu dimulai ketika aku bertemu dengan mereka di jalan tol itu. Sejak saat itu, kejadian demi kejadian pun muncul. Semua yang ingin kutinggalkan muncul ke permukaan. Pasar gelap, Agade, pembantai keluarga Cleinhad, dan lain sebagainya.
Kalau aku orang dengan sumbu pendek, mungkin aku sudah marah dan menyalahkan mereka berdua atas semua yang terjadi. Namun, untungnya, tidak. Aku justru bersyukur karena mereka ada di sini untukku. Aku bisa merasakan ketenangan dan kehangatan ini.
"Gin, terima kasih karena selama ini kamu sudah membantu kami."
Tiba-tiba saja, aku mendengar suara Emir dari kiri. Selain itu, aku bisa merasakan tangannya yang membelit perutku. Dia mengusap wajahnya ke lenganku.
"Kalau bukan karena kamu, aku mungkin masih menjadi tuan putri tomboi yang tidak jelas. Berkat kamu, aku bisa menjadi diriku yang sebenarnya. Aku sadar, kalau aku tidak menjadi calon istrimu, mungkin kamu sudah menyingkirkan ayah, ibu, kak Yurika, dan keluarga kerajaan lain. Setelah itu, kamu bisa pergi dari kerajaan ini, hidup dengan identitas baru. Aku sadar kalau aku hanyalah beban dan rantai di hidupmu.
"Aku berterima kasih karena kamu mau menerima semua keegoisanku, karena kamu memutuskan untuk tidak membunuh mereka. Selain itu, aku juga ingin berterima kasih karena kamu tidak menganggapku sebagai beban. Kamu masih menyayangiku dengan sepenuh hati, tanpa mengharapkan imbalan. Aku berterima kasih karena kamu tidak memperlakukanku sebagai tuan putri. Aku berterima kasih karena kamu memperlakukanku sebagai seorang perempuan biasa."
Ketika Emir mengatakannya, aku jadi teringat ucapan Yurika saat lamaran Emir, yang mengatakan hal yang mirip. Namun, kali ini, aku mendengarnya dari Emir langsung.
Inanna melanjutkan, "untuk aku, Gin, kamu memilih untuk melindungiku, ibu, dan Ninshubur. Padahal, saat itu, kami hanyalah orang asing di hidupmu. Namun, kamu bersedia untuk menyelamatkan kami bahkan memikirkan rencana agar kami bisa pindah kewarganegaraan.
"Kamu juga memberiku kesempatan untuk keluar dari lingkungan kerajaan, bukan sebagai tawanan politik, tapi sebagai calon istrimu. Aku berterima kasih karena kamu telah bersedia melakukan itu semua dan selalu mendukung semua keputusan yang aku buat."
Aku, aku, aku tidak tahu. Saat ini pikiranku benar-benar kosong dan bingung. Aku sama sekali tidak menduga mereka akan mengatakan semua ini.
"Terima kasih, Gin."
Emir dan Inanna mengucapkannya bersamaan. Ketika mendengar mereka mengatakan kata-kata itu, entah kenapa, aku merasa begitu tenang, damai, seolah-olah semua beban yang aku pikul menghilang.
Terima kasih, Emir. Terima kasih, Inanna.
***
"Emir, tampaknya kita sudah terlalu mengandalkan Lugalgin."
"Ya, kamu benar." Emir menjawab singkat. "Dan, tampaknya, ucapanku menjadi pelatuk terakhir."
"Hahaha. Kalau biasanya, Lugalgin akan menjawabmu enteng dengan 'ya, ya, aku paham.'. Namun, tidak untuk kali ini."
Setelah semua itu, Lugalgin tertidur. Aku memberikan pangkuanku sebagai bantalnya.
Kalau dulu, Emir pasti sudah protes, menyerobot kepala Lugalgin, dan menggunakan pangkuannya sendiri untuk bantal Lugalgin. Namun, kali ini, dia tidak melakukannya. Dia duduk di sofa seberang meja dengan tenang.
Tanpa perlu kami mengatakannya, tampaknya, perasaan kami adalah sama. Selama ini, Lugalgin telah menjadi sosok pemimpin sekaligus kepala keluarga yang bisa diandalkan. Dia memikirkan semua rencana dan jalan keluar dari semua masalah kami.
Namun, sayangnya, karena itu semua, kami melupakan satu hal yang krusial. Kami melupakan kalau bahkan Lugalgin belum genap berusia 20 tahun. Dia masih remaja.
Di lain pihak, kami yang sudah lebih tua satu tahun justru terlalu bergantung padanya. Tampaknya, membuatnya kelelahan tadi malam adalah sebuah keberkahan yang tidak terduga. Kalau dia tidak kelelahan, mungkin dia tidak akan pernah menyadari semua beban yang dia pikul.
Orang bilang, psikologis perempuan lebih cepat dewasa dibandingkan laki-laki meski berusia sama. Kami yang secara fisik saja sudah lebih tua dari Lugalgin, seharusnya lebih dewasa darinya. Kami merasa malu.
"Aku sudah menghubungi Ibla. Dia bilang akan mengirimkan Ur untuk berjaga."
"Baguslah. Karena tampaknya, kita akan menginap di ruangan ini."
"Selain itu, Shu En bilang kita bertiga bisa libur besok."
"Haha, aku tidak yakin Lugalgin akan mengambil libur itu."
"Kalau tidak mau, kita harus memaksanya supaya mau. Sudah tugas kita sebagai calon istrinya."
Aku melihat ke bawah, melihat wajah Lugalgin yang tertidur dengan pulas sambil membelai rambut coklatnya. Selamat tidur, Lugalgin, sayang. Kami menyayangimu.
***
Hah?
Aku membuka mata dengan cepat, melihat ke sekitar. Matahari mulai menampakkan diri di ujung horizon. Di sampingku, Emir dan Inanna tertidur. Mereka masih mengenakan pakaian kasual, bukan piama apalagi telanjang. Kami bertiga tidur di atas satu kasur, di antara kursi kantorku dan jendela.
Tampaknya kelelahan membuat pikiranku kacau. Aku harus lebih memperhatikan jam istirahat.
Tiba-tiba saja, aku merasakan getaran dari dalam saku jaket. Aku mengambil smartphoneku dan membaca pesan di dalamnya.
Aku pulang ya. Maaf kalau kami terlalu membebanimu. Kami akan berusaha agar bisa lebih berguna lagi.
Aku tersenyum kecil. Tanpa aku sadari, aku sudah membuat orang-orang di sekitarku merasa bersalah. Meskipun dalam keadaan tidur, instingku masih kuat. Aku bisa merasakan kalau ada ancaman dan langsung bangun.
Namun, tampaknya, Ur mencoba menjaga agar tidak ada ancaman yang datang, mencegahku terbangun.
Aku pun membalas pesan Ur.
Terima kasih
"Unn... Gin? Kamu sudah bangun?"
Inanna adalah yang pertama bangun. Di lain pihak, Emir, seperti biasa. Meski aku bilang bangun, dia masih mengusap-usap matanya. Rambutnya seperti ibu dan Ninlil yang rapi walaupun baru bangun tidur. Di lain pihak, Emir, dia sudah menjadi seperti singa.
"Maaf, apa aku membangunkanmu?"
"Tidak apa. Aku juga biasanya bangun jam segini."
Aku tersenyum masam. "Kelihatannya aku sudah membuat kalian cemas."
"Tidak apa, Gin. Kami lah yang harus meminta maaf karena telah membebanimu." Inanna menjawab dengan senyum lebar. "Bagaimana? Sudah lebih segar?"
"Ya, sudah. Sekarang aku bisa memikirkan semua ini dengan lebih tenang."
"Hahaha, lain kali kami akan memperhatikan jadwalmu kalau minta jatah."
"Haha,"
Aku bangkit dari kasur dan berjalan ke jendela. Tanpa bertanya, aku sudah bisa menyimpulkan kalau kasur ini dibawa oleh Emir atau Inanna dari kamar hotel terdekat. Sebagai Mal terbesar yang memiliki hotel dan ruang konferensi, kasur cadangan adalah hal yang lumrah.
"Shu En bilang kita bisa libur hari ini."
Ung... rasanya baru minggu lalu aku masuk kerja.
"Shu En bilang pencapaianmu selama seminggu ini jauh lebih besar dari keluarga Azzaha selama beberapa tahun. Kamu sudah mencapai kata sepakat dengan Akadia dan Agade, dua dari enam pilar. Selain itu, kamu juga sudah memberi instruksi yang membuat agen-agen yang tidak berguna dirumahkan. Belum lagi soal rekrutmen. Dengan begini, meski ada sedikit gangguan, dia bilang agen schneider memiliki masa depan yang lebih cerah."
"Dia bercanda kan?"
Inanna menggelengkan kepala.
Aku mencapai kata sepakat dengan Akadia karena ada ibu. Agade, tidak usah dibahas. Merumahkan agen? Ayolah, siapa saja bisa melakukannya. Bahkan, yang menyebarkan instruksi dan peringatan itu adalah agen schneider sendiri. Aku sama sekali tidak bekerja.
"Dia bilang, dengan kamu menjadi pemimpin dan mengambil keputusan, kamu telah bekerja. Belum lagi, dia bilang, pikiranmu tampak tidak pernah beristirahat, bahkan bekerja di hari Sabtu dan Minggu. Ketika agen schneider beristirahat, kamu justru melakukan pendekatan pada Akadia dan Agade."
Ahh, umm, aku tidak tahu ingin mengatakan apa lagi.
"Sudahlah gin, terima saja hari liburmu. Bagaimana kalau kamu mengajak kami pergi ke taman bermain? Sejak bertemu, kita belum pernah kencan, kan?"
Now that you say it.
Bersambung