Sudah seminggu lebih sejak Inanna bersamaku dan Emir. Awalnya, aku iseng mengatakan pada Raja Arid kalau dia harus datang bersama selir Filial dan Inanna untuk menemui keluargaku.
Di luar dugaan, begitu ibu mengetahui kalau Inanna adalah didikan militer Mariander, dan bahkan memasak makan siang kami saat itu juga, dia langsung memberi persetujuan. Bahkan, ibu langsung membicarakan tanggal pernikahan.
Aku pun terpaksa menghentikan euforia ibu. Alasan yang kubawa adalah karena tampaknya, ibu Inanna, Selir Filial, masih harus mengurus banyak hal. Ibu pun meredam kebahagiaannya. Jadi, tanggal pernikahan akan dibicarakan di kemudian hari. Dan, sejak saat itu, Inanna pun tinggal di rumahku, di kamar kosong lantai dua, di antara kamarku dan Emir.
Di lain pihak, Emir tidak terlalu senang. Kenapa? Mudah saja. Ibu belum menyetujui Emir menjadi istriku. Dia masih di masa percobaan. Beberapa kali, Emir melampiaskan kekesalannya pada Inanna. Dia menantang Inanna dalam hal pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan lain sebagainya. Hasilnya? Emir tidak pernah menang sekalipun.
Seolah-olah masalah belum selesai, dalam waktu kurang dari satu minggu, Selir Filial mendatangiku, tanpa Raja Arid. Dia membawa Ninshubur, bermaksud menitipkannya padaku. Dia khawatir selir lain akan mengirim pembunuh bayaran. Meskipun dia bisa menjaga diri, tapi dia tidak yakin bisa menjaga Ninshubur kalau dia ada pekerjaan.
Aku tidak menduga hukuman yang dijatuhkan pada Selir Filial, gara-gara pengkhianatan putranya, begitu berat. Dia tidak lagi memiliki wilayah kekuasaan dan tidak diberi pengawal pribadi. Bahkan, tabungannya pun habis dirampas oleh kerajaan.
Aku terpaksa menolak permintaan Selir Filial. Kenapa? Karena rumahku, menurutku, tidak lebih aman daripada tempat tinggal Selir Filial. Inanna dan Emir bisa menjaga diri, setidaknya hingga aku datang. Tapi, Ninshubur, dia tidak bisa menjaga diri. Dia membutuhkan pengawalan 24 jam.
Dengan demikian, aku menghubungi ayah dan ibu. Setelah menjelaskan kondisi Selir Filial dan Ninshubur, mereka pun setuju untuk menerima Ninshubur. Dan lagi, mereka bilang, sejak aku pergi, rumah jadi sepi. Jadi, dengan adanya Ninshubur, mereka berharap rumah bisa ramai lagi.
***
Pagi hari ini, aku baru pulang dari rutinitas pagi.
"Aku pulang!"
Seperti biasa, aku berteriak, memberi tahu kedatanganku pada penduduk rumah.
"Ah, selamat datang Lugalgin."
Inanna, perempuan berambut hitam, dikuncir, dan bermata hijau ini, menyambutku dari dapur. Tidak dapat aku ungkiri, perempuan ini benar-benar mirip dengan Illuvia. Kalau mereka berdua berdiri bersampingan, aku tidak akan bisa membedakan mereka dari belakang. Kalau dari depan, sudah jelas. Pegunungan tidak mungkin disandingkan dengan dataran.
Sejak dia tinggal di sini, dia selalu menyambutku di pagi hari sambil memasak. Dengan demikian, pekerjaanku pun menjadi lebih ringan di pagi hari.
Emir? Dia masih tidur, belum ada perubahan. Dan, aku masih mengambil foto selfie setiap pagi dengan rambut singanya.
Tapi, ada satu hal yang menggangguku.
"Inanna, bisa tidak kamu berhenti mengikutiku tiap pagi?"
Inanna tidak menjawab. Dia hanya menurunkan pandangannya dengan wajah yang masam.
"Ma, maaf. Aku kira kamu tidak menyadarinya kalau itu aku."
"Dulu, aku tidak tahu kalau itu kamu. Tapi, sekarang, setelah aku tinggal satu rumah denganmu, aku bisa mengetahui kehadiranmu lebih mudah."
"Ma, maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengganggumu. Aku akan berhenti mengikutimu."
Dan, dia tidak memaksa lebih lanjut. Kalau Emir, dia pasti akan memaksa "kalau begitu ajak aku." atau "memangnya kenapa?". Padahal, kalau dia memintanya, aku tidak akan menolak.
Kalau aku bilang, sifat Emir dan Inanna saling berbalikan. Emir memang liar, dan dia pun masih suka berontak atau mempertanyakan keputusanku. Di lain pihak, di luar, Inanna memang tampak suka memaksa dan mendominasi. Namun, di baliknya, Inanna cukup pemalu dan penurut.
Sejak Inanna tinggal di sini, kalau aku meminta tolong, atau memberi perintah, dia akan langsung melakukannya tanpa banyak bertanya. Awalnya, aku kira ini adalah hasil didikan militer Mariander. Tapi, setelah aku amati baik-baik, dia memang penurut, dan tipe yang tidak berani mengekspresikan diri. Jadi, tampaknya, dia menuruti perintah Raja Arid saat itu bukanlah karena itu perintah Raja, tapi karena dia penurut.
Aku sempat menelepon selir Filial untuk memastikan sifat Inanna. Dan selir Filial membenarkanku. Bahkan, kedua adik Inanna jauh lebih aktif dan bersuara. Dia bilang, sedari kecil, Inanna memang suka menarik diri. Dia lebih suka membaca buku yang berhubungan dengan sains, terutama bencana alam.
Saat aku memancing Inanna dengan menanyakan topik bencana alam di televisi, dia langsung bersuara. Di saat itu, dia begitu menggebu-gebu, wajahnya terlihat begitu bersinar, seolah-olah dia menanti momen itu.
Jujur, mungkin sebagian dari diriku sudah jatuh hati pada Inanna. Kalau saja dia tidak berasal dari keluarga kerajaan, mungkin aku sudah jatuh hati padanya sejak lama. Meskipun dia sudah tidak memiliki status bangsawan atau keluarga kerajaan, tapi dia masih diakui sebagai putri Selir Filial, sama seperti Emir. Jadi, aku masih harus membatasi diri.
"Emir masih tidur?"
"Iya, seperti biasa. Dia masih tidur."
Ahh, perempuan itu.
Aku pun pergi ke dapur dan mengambil alih tugas memasak.
"Inanna, tolong kamu bangunkan Emir."
"Eh? Aku? Apa Emir tidak akan marah?"
"Iya, kamu. Aku berharap, dengan kamu yang membangunkannya, dia akan sedikit memperbaiki diri."
"Ung, baiklah..."
Inanna pun pergi, meninggalkanku di dapur. Menu sarapan yang dibuat oleh Inanna hari ini adalah telur dadar tahu. Aku tidak menyangka dia bisa memasak tahu, kuliner dari barat. Aku kira, sejak dia diajari mandiri oleh militer, variasi makanan yang bisa dia buat pasti lah sedikit. Tapi tidak, dia membuat menu sarapan yang berbeda setiap hari. Tampaknya, memasak adalah hobinya.
Aku pun memotong telur dadar tahu yang dia buat dan menyajikannya bersama nasi.
"Eh? Kok kamu yang bangunin aku?"
"Lugalgin yang menyuruhku."
"Bohong!"
"Aku tidak bohong!"
Dan, suara perdebatan mereka terdengar.
Tapi, reaksi Emir berbeda ketika aku yang membangunkannya. Ketika aku yang melakukannya, susah sekali untuk dia bangun. Tapi, entah kenapa, kedengarannya, dia langsung bangun ketika Inanna yang melakukannya.
Tampaknya, aku sudah bisa menghentikan kebiasaanku untuk selfie dengan rambut singa itu.
Suara langkah kaki pun terdengar. Dalam waktu singkat, Emir sudah berdiri di depan dapur, dengan rambut singanya. Perempuan berambut merah membara, yang senada dengan matanya, sudah berdiri di depanku.
"Lugalgin, kenapa Inanna yang membangunkanku?"
"Bawa dua piring ini ke meja makan."
Aku mengabaikan pertanyaan Emir.
Emir tidak menolak permintaanku. Dia langsung membawa dua piring berisi sarapan ke meja.
"Aku mau kamu yang bangunin aku. Maksudku, aku mau mengawali hari dengan melihat wajahmu."
Aku membiarkan Emir meracau semaunya sendiri.
Akhirnya, Inanna sudah berdiri di depan dapur. Aku memberinya sebuah nampan berisi tiga gelas dan satu teko teh herbal. Aku sudah menyiapkan teh herbal yang kuracik sendiri di toples di dapur, jadi Inanna bisa membuatnya setiap pagi hanya dengan menuangkan air mendidih.
Aku membawa satu piring ke meja makan.
Kami bertiga pun memulai sarapan bersama. Ketika aku melihat dua perempuan di depanku ini, aku melihat dua sosok yang sangat berbeda.
Di kiri, Inanna sudah mandi. Dia mengenakan kaos lengan panjang dan celana pendek. Berbeda dengan celana pendek Emir yang hanya menutupi hingga pangkal paha, celana pendek Inanna cukup panjang, dua cm di atas lutut.
Di kanan, Emir masih mengenakan atasan piama tanpa celana, hanya mengenakan celana dalam ungu. Bahkan, melalui sela-sela piamanya, aku bisa melihat kalau dia tidak mengenakan bra. Penampilannya memberi kesan erotis, dan aku tidak membencinya.
Saat ini status Inanna sudah cukup jelas, calon istriku yang sudah direstui oleh ibu. Bahkan, setelah hidup Selir Filial sudah cukup stabil, tanggal pernikahan akan dibicarakan. Di lain pihak, Emir masih dalam percobaan.
Ibu tidak mempermasalahkan kalau aku mau memiliki dua istri. Tapi, dia masih memberi pilihan untuk menikahi Inanna saja. Jujur, saat ini, aku tidak sepenuhnya setuju dengan ibu. Pemandangan Emir di pagi hari tidak terlalu buruk, kecuali rambutnya. Jadi, aku masih mempertimbangkan pilihanku.
Akhirnya, kami selesai sarapan. Aku membantu Inanna mencuci piring sedangkan Emir langsung pergi ke sofa, menyalakan televisi.
Ah, dasar. Setidaknya cuci muka dan basahi sedikit rambutmu.
"Oh, iya, aku lupa bilang," Emir berbicara dari sofa. "Jeanne bilang dia akan datang ke sini."
"Dengan Ufia?"
"Tentu saja. Ufia kan masih Regal Knightnya Jeanne."
"Jam berapa?"
"Dia bilang setelah sarapan."
"Dan kamu mau menerimanya dengan penampilan seperti itu?"
"..."
Tidak terdengar balasan dari Emir. Tiba-tiba, saja dia pergi, naik ke lantai dua, dan memperdengarkan suara pintu ditutup.
"Hah... sudah hampir dua bulan perempuan itu tinggal di sini, tapi dia masih belum bisa memperbaiki diri." Aku menoleh ke kiri, ke arah Inanna. "Di lain pihak, kamu diam saja. Anteng banget."
"Hahahaha," Inanna tertawa pelan. "Aku memang orangnya pendiam. Mau bagaimana lagi."
"Heh.... kata orang yang menyuruhku membuang formalitas dan mengundangku secara tiba-tiba di restoran hotel."
"Itu, saat itu aku memiliki peran sebagai tuan putri."
"Tapi, saat kamu mengobrol dengan Jeanne, kamu bisa aktif banget."
"Itu karena kami memang sudah akrab sejak lama. Dan lagi, kami sering mengobrol lewat headset di game online."
"Dan lalu saat penjelasan bencana alam kemarin?"
"Itu..."
"Dan sekarang, saat kuajak ngobrol."
"...kamu jahat ah." Inanna sedikit mendorong bahuku.
Hahaha, cukup menyenangkan mengusili perempuan ini. Jadi, Inanna memang pendiam, sesuai ucapan ibunya. Tapi, ketika diajak bicara, dia akan merespon dengan normal.
"Inanna, jujur, saat aku menemuimu, aku berpikir kalau kamu adalah tuan putri yang dimanja, seperti Emir."
"Eh?" Inanna terkejut. "Padahal kamu sudah melihatku di jalan tol itu, kan? Harusnya, kamu menyadari kalau aku dari lingkungan militer."
"Meskipun aku menyadari, aku tidak yakin apakah kamu berada di lingkungan militer sepenuhnya. Maksudku, sebagian besar bangsawan di Mariander masuk militer hanya sebagai syarat, kan?"
"Iya ya. Bahkan, sebagian dari mereka meminta kamar khusus beserta pelayan pribadi."
"Tuh kan?" Aku menegaskan maksud ucapanku. "Dan lagi, kalau orang normal, mereka pasti akan mengira kamu dimanja. Militer negara ini sampah. Semua urusan yang tidak berhubungan dengan perang, seperti memasak dan bersih-bersih sudah diurus oleh negara. Jadi, personel militer hanya fokus bertarung dan berperang. Dan mereka masih lemah."
Aku sedikit emosi ketika mengingat Emir dan yang lain tidak bisa bertahan dari haus darah yang kulepaskan.
"Kembali ke pembicaraan sebelumnya. Kenapa kamu tidak meminta kamar khusus beserta pelayan pribadi?"
Inanna tersenyum masam. "Mereka yang melakukan itu hanya masuk militer untuk memperkuat posisi keluarga atau meneruskan gelar orang tua. Tahu sendiri lah pencapaian di militer penting untuk prestisius bangsawan. Di lain pihak, aku masuk militer karena keinginanku sendiri."
"Eh? Kamu tidak diminta ayahmu?"
"Tidak." Inanna menggeleng. "Yang Mulia Paduka Raja tidak memintaku secara langsung. Dia hanya memberi penawaran bagi anak-anak yang masuk ke militer dan mendapatkan sebuah pencapaian, yang dia aku, maka permintaannya akan dikabulkan."
Berbeda dengan Emir yang memanggil Raja Fahren dengan sebutan ayah, aku tidak pernah mendengar Inanna menyebut Raja Arid dengan sebutan ayah. Hal ini menunjukkan betapa kecilnya peran Raja Arid di kehidupan Inanna.
"Lalu?"
"Aku lulus dari sekolah militer empat tahun yang lalu dan resmi menjadi agen Gugalanna. Ketika aku mengajukan permintaanku, Yang Mulia Paduka Raja menganggap hanya menjadi agen Gugalanna belum dapat dianggap sebagai pencapaian. Dia pun tidak mengabulkan permintaanku."
Begitu ya. Jadi Raja Arid memberi penawaran seperti itu untuk membuat anak-anaknya masuk ke militer. Di lain pihak, Raja Arid tidak memberi kejelasan pencapaian apa yang dimaksud. Aku jadi merasa kasihan pada Inanna. Aku yakin dia sama sekali tidak ada niatan untuk mengabulkan permintaan Inanna. Dia hanya menyiapkan Inanna agar menjadi istri yang tidak bisa ditawan.
"Memangnya, apa keinginanmu?"
"Aku ingin kuliah dan dipindahkan ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kerajaan. Dengan demikian, aku bisa melakukan penelitian semauku. Kamu tahu sendiri kan kalau keluarga kerajaan dan bangsawan harus memiliki gelar pada bidang politik atau pemerintahan. Tapi, aku ingin belajar di bidang bencana alam."
Ternyata, perempuan ini memang cukup mirip dengan Emir. Mereka sama-sama tidak cocok di lingkungan bangsawan, apalagi kerajaan.
"Tapi, sekarang, dengan aku menjadi calon istrimu, kurasa, permintaanku tidak akan pernah dikabulkan oleh Yang Mulia Paduka Raja. Apalagi uang tabunganku juga sudah disita oleh Kerajaan."
Inanna murung, tangannya pun berhenti bergerak mencuci alat masak. Pandangannya kosong.
Tampaknya, Inanna juga percaya kalau dirinya dijual padaku sebagai hukuman Raja Arid terhadap Selir Filial. Aku harus meluruskan hal ini cepat atau lambat.
Inanna kembali bergerak. Dia membilas alat masak yang sudah kucuci dengan sabun dan meletakkannya di samping.
"Terkadang, aku berharap, True One berhasil menjadikan Mariander menjadi republik. Dengan demikian, aku bisa memilih jalan hidupku. Bahkan, aku penasaran, kalau aku yang diberi tawaran untuk bekerja sama, bukan Papsukkal, apa aku akan menerimanya?"
Aku, yang sudah selesai, mencuci tangan dan mengeringkannya dengan serbet.
"Maafkan aku ya, Lugalgin. Aku tiba-tiba memberi cerita sedih di pagi hari."
"Kamu tidak perlu meminta maaf. Aku juga yang memancingmu."
Aku mengambil dua gelas dan menyeduh teh. Aku memiliki simpanan teh herbal spesial yang hanya kuseduh di saat seperti ini. Aku memanaskan kembali air di teko. Karena sebelumnya sudah mendidih, dan aku hanya memanaskan ulang, waktu yang dibutuhkan pun tidak lama.
Pergerakan tangan Inanna menjadi pelan semenjak dia berbicara soal masa lalunya. Jadi, aku mampu menyelesaikan seduhan teh bersamaan dengan dia selesai membilas semua cucian.
"Ayo, temani aku."
Inanna tidak memberi jawaban. Dia hanya mengikutiku ke sofa di depan televisi, diam. Kami duduk bersebelahan.
"Silakan."
Aku menyodorkan satu gelas teh ke depan Inanna. Dia pun menerima teh itu.
Perlahan, Inanna menyeruput teh yang kubuat. Aku pun melakukan hal yang sama.
Teh ini adalah teh lavender. Secara sekilas, teh lavender memiliki khasiat yang sama dengan teh alpine, menenangkan pikiran. Namun perbedaan besar berada pada kondisi saat meminumnya. Teh alpine cocok untuk mengurangi beban pikiran karena pekerjaan. Di lain pihak, teh lavender cocok untuk mengangkat mental yang jatuh.
Wajah Inanna sedikit mengendur setelah meminum teh ini, tidak lagi cemberut.
"Gin," Inanna angkat bicara. "Bukannya aku benci tinggal di sini. Bahkan, aku bersyukur karena kamu mau menerimaku. Padahal, aku sudah merepotkanmu. Apalagi, dulu, aku berusaha membunuhmu dan Emir."
"Lalu?"
"Aku hanya membutuhkan waktu untuk menerima semua perubahan ini."
Aku tersenyum kecil. Aku melingkarkan tangan kanan ke belakang Inanna, meraih bahu kanannya.
"Kamu tidak perlu tergesa-gesa."
Bersambung