GARIN
Garin masih dengan muka masamnya duduk di lantai teras rumah kakaknya. Dia menekuk kedua lututnya, menempelkan dagu pada kedua lututnya. Dia berdendang tak tentu arah. Tak terdengar jelas apa yang sedang dia nyanyikan. Hanya terlihat bibirnya bergerak gerak. Dalam benaknya masih tergambar jelas kejadian siang ini, di mana suaminya memutuskan untuk mengalah.
Hatinya menjerit. Galau. Hatinya begitu merindu begitu dalam. Rasa sakitnya melebihi ketika bulan bulan diawal pernikahannya. Hatinya tak hanya seperti ditusuk oleh sembilu. Bahkan rasanya seperti ribuan sembilu menghujam hatinya saat ini.
Butiran butiran krisatal cair mulai lolos dari pelupuk matanya. Dia masih dalam posisi yang sama. Dia seperti orang yang selalu dipermainkan perasaannya. Perasaannya seperti tidak berharga sama sekali saat ini.
"Garin!" Panggil ibunya khawatir.