Chereads / The Darkness Island / Chapter 1 - The Beginning

The Darkness Island

🇮🇩HigashiSasaki
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 5.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - The Beginning

The Darkness Island

Genre: Fantasi, Game, Action, Sci-fi, Romance

Chapter 0: The Beginning

Seminggu sebelum semuanya dimulai~

"Kak, keluarlah sesekali dari kamar. Dan makan bareng sama ayah yuk," ajak seorang perempuan dengan nada halus dan lembut. Ia terlihat memiliki warna rambut yang hitam kecoklatan.

Perempuan itu berdiri di depan pintu kamar sambil menunduk sedih.

"Pergilah," balasku dingin.

"Tapi kak ...."

"Apakah aku perlu mengulanginya?"

"A-ah, iya. Maaf." Perempuan itu langsung berbalik dan pergi dari depan pintu kamarku dengan menunduk sedih.

Sesaat setelah itu, aku langsung menggebrak meja komputer dengan kuat.

"Sial!" sorakku dengan sangat kesal. Sesaat kemudian aku langsung menunduk dan secara perlahan mulai menangis.

"Maaf, maafkan kakakmu ini Nita," tangisku dengan rasa kesal pada diri sendiri.

"Maafkan kakakmu yang sudah menjadi orang-orang yang tidak baik."

"Oleh karena itu." Sesaat kemudian, aku langsung mengangkat kepalaku dan memasang wajah serius.

"Kakak akan mencari uang lebih dan lebih agar hidup kalian berdua tidak terasa tertekan."

Aku langsung mengambil mause dan keyboard. Lalu menekan sebuah game yang paling terkenal di seluruh dunia beberapa tahun belakangan ini.

Dengan game itu, yang sudah kumainkan sejak perilisan awal. Aku memulai sebuah live streaming yang membuatku bisa menghasilkan uang. Disisi lain aku adalah sebuah kapten dari sebuah guild yang menduduki peringkat 1 di semua server, yang isinya adalah 5 orang pemain pertama dan pastinya mereka adalah pro player. Itu membuat live streaming milikku setiap di mulai akan ditonton lebih dari 100.000 orang, rekor terbanyak adalah hampir mencapai 2 juta orang.

Sekali lagi aku masuk kedalam game dan langsung mengabarkan ke guild bahwa kita akan melakukan sebuah misi tingkat mustahil. Misi ini diberikan oleh salah satu viewer stream milikku. Jika kami berhasil menyelesaikannya, maka kami akan di berikan imbalan yang cukup banyak.

Beruntung, setelah usaha kerasa selama hampir 3 jam. Kami berhasil menyelesaikannya. Melihat itu aku langsung bangun dari kursi.

"Yes! Yes! Yes!" sorakku dengan sangat senang.

Dan benar saja, sesaat setelah itu, sebuah notifikasi dari streamingku muncul. Imbalan dari misi itu telah masuk.

Disaat-saat yang berbahagia itu, sekali lagi. Adikku mengetuk pintu kamarku dengan halus.

"Kak," panggilnya pelan dan selalu menggunakan nada yang lembut.

"Hummm?" jawabku dengan nada senang.

"Eh?" respon Nita yang kaget mendengar jawabanku yang tidak dingin seperti biasanya.

"Ah, itu kak. Ada sebuah paket untukmu. Memangnya kau membeli apa?" tanya Nita yang kebingungan sambil melirik kotak paket yang ia pegang.

"Paket? Apakah aku membeli sesuatu?" jawabku dengan kebingungan di dalam hati.

"Ah, letakan saja itu di depan pintu, nanti aku akan mengambilnya," balasku yang kemudian kembali mendekati meja komputerku.

"Heuh, baik. Kak," balas Nita dengan nada sedih.

Aku sedikit mengobrol dengan para anggota guild atas keberhasilan misi kali ini. Dan sekitar 20 menitpun berlalu.

Aku melirik ke pintu sambil melepas headset.

"Tidak ada suara lagi, apakah ia sudah pergi?"

Aku kemudian bangun dan berjalan ke arah pintu kamar. Sesaat kemudian aku membuka pintu.

Aku kaget jika di depan pintu kamarku, dari tadi Nita duduk disitu sambil menungguku.

"Sial!" responku yang secara reflek mencoba menutup pintu.

Namun reflek milik Nita lebih cepat dariku, ia lebih dulu melompat ke arahku. Ia dengan cepat langsung memelukku.

"N-nita! Lepaskan!" seruku sambil mendorong kepalanya.

"Tidak! Jika tidak begini, kakak hanya akan kembali mengunci pintu kamar, dan mungkin akan lebih dari seminggu mengingat persediaan makanan kakak cukup banyak. Tidak ada kesempatan lain selain ini," jawab Nita yang mengeratkan pelukannya sekuat mungkin agar tidak lepas.

"N-nita, apa yang kau maksud, su-sudah. Lepaskan."

"Tidak! Apakah aku tidak boleh memeluk kakakku sendiri setelah 2 bulan berlalu dan kita bahkan tidak pernah berbicara secara langsung. Aku tidak mau hubungan saudara yang seperti itu." Nita kemudian secara perlahan mulai merasa sedih. Tanpa sadar ia mulai menangis.

Melihat hal itu, aku langsung panik, dan tidak tau harus melakukan apa agar ia bisa tenang.

"E-eh! Kenapa kau menangis?"

Namun, pertanyaanku hanya membuatnya menangis semakin kuat.

"Si-sial! Apa yang harus kulakukan! Berfikir, berfikir, berfikir!" seruku dengan panik di dalam hati.

"Ba-baiklah Nita. Beritahu apa yang kau inginkan asalkan kau bisa berhenti menangis," bujukku yang kemudian mencoba memegang kepalanya.

"Be-benarkah?" respon Nita yang langsung mengangkat kepalanya dan menatapku. Melihat hal itu aku langsung mengalihkan tanganku dan melirik ke arah lain.

"I-iya, asalkan kau bisa tenang."

"Horeee!" sorak Nita yang kemudian loncat ke arahku dan berpindah dari memeluk perutku jadi memelukku secara langsung.

Nita kemudian melepaskan pelukannya, dan melihat ke arahku.

"Kak, 2 hari lagi sekolahku akan mengadakan sebuah renovasi, dan kami di liburkan selama seminggu. Karena itu ayah ingin mengajak kita pergi berlibur. Ayo ikutlah," ajaknya dengan nada yang begitu senang.

"E-eh! Apakah kakak tidak bisa menolaknya!"

"Hummhh," desis Nita sambil memasang wajah cemberut.

"Maka aku akan berada disini hingga kakak mau ikut berlibur," tambahnya yang kemudian sedikit tersenyum kecil.

"Maka jika begitu, kakak hanya perlu memaksamu keluar," balasku yang seketika bangun, dan membuat Nita terjatuh.

Namun, sebelum aku sempat bergerak, Nita sudah menarik tangan kiriku dan langsung mengunci kepalaku dengan kakinya.

"A-ahk! Lepaskan!" rintihku yang menepuk-nepuk kakinya.

"Kak? Apakah kau lupa jika aku ketua di dalam klub karate?"

"Sial, aku lupa kalau dia adalah seseorang yang selalu menjadi juara satu di kelas, dan bahkan dia juga mendapat peringkat satu di juara umum. Tidak hanya itu, dia juga menjadi ketua klub karate dan di idolakan oleh banyak murid," batinku dengan sangat kesal.

"Ba-baiklah, kakak menyerah," ucapku sambil menepuk-nepuk kakinya tanda menyerah.

"Beneran? Asik! Kakak akan ikut liburan!" ucap Nita yang bangun dan merasa begitu senang.

"Aackk, sial," decitku kesal yang kemudian duduk di lantai.

"Aku masih bingung, kenapa kau sampai melakukan hal seperti ini. Bahkan kita tidak memiliki hubungan darah sama sekali, ayahmu hanya menikahi ibuku yang janda. Sekarang ibuku sudah meninggal jadi bukanya kalian bisa membuangku?" ucapku dengan kesal sambil memegangi leher.

Mendengar hal itu. Nita langsung merubah ekspresinya dan menatapku dengan penuh hawa membunuh. Dengan sangat kesal ia langsung menampar pipi kiriku.

Plak!

Suaranya begitu keras bahkan cukup kuat untuk di dengar tetangga.

"Kak! Jika kau berbicara begitu lagi. Aku tidak segan-segan untuk menghukummu," ancamnya sambil menatapku dengan penuh hawa membunuh. Perkataan yang ku ucapkan tanpa pikir panjang itu berimbas balik padaku.

Aku terdiam menatapnya yang terlihat begitu menyeramkan. Namun sesaat kemudian, ia menunduk dan mulai menangis.

"Jadi, apa sejak aku umur 5 tahun kakak tidak pernah menganggapku sebagai adik? Apakah kakak selalu menganggap bahwa aku dan ayah adalah orang asing? Huaaa!! Kakak jahat!" tangis Nita dengan kuat dan melampiaskan kekesalannya.

Saat itu aku langsung panik dan berdiri. Tubuhku secara reflek ingin mengelus kepalanya. Tapi memikirkan betapa tidak pantasnya aku, aku menahan tanganku.

Dengan cepat Nita mengambil tangan kananku yang sudah ada di atas kepalanya. Yang kemudian di taruh ke pipi kirinya.

"Kak? Apakah kau selama ini tidak menganggap ayahku adalah ayahmu, dan kau tidak menyayangiku?" tanya Nita sambil menangis dan menatapku dengan sangat dalam.

"Bu-bukan begitu. Sudah pasti kakak menganggapnya sebagai ayah. Dan pastinya kakak juga menyayangimu. Hanya saja—."

Sebelum aku menyelesaikan perkataanku, Nita langsung memelukku erat. Sesaat kemudian ia melanjutkan tangisannya. Melihat hal itu, aku pun ikut memeluknya.

10 menit berlalu~

Aku yang menenangkannya pun duduk di disebelahnya sambil menyander di dinding.

"Maaf ya kak, tiba-tiba aku bersikap seperti anak kecil," ucap Nita dengan penuh penyesalan.

Ia kemudian mengangkat kedua lututnya dan memeluknya.

"Sudah, tak apa. Kakak juga salah disini kok."

Nita hanya memandang lurus ke lantai dengan pandangan kosong.

Aku langsung menghela nafas dan mengelus kepalanya.

"Sudah, bukankah sebentar lagi ayah akan pulang kerja? Turun dan segera masak gih," hiburku sambil berdiri.

"Ah, iya. Aku lupa kalau belum menyiapkan apapun," reflek Nita langsung bangun.

"Jadi deal ya. Kakak nanti akan ikut liburan."

"Haaaah, yasudah akan kakak pertimbangankan nanti," jawabku sambil menghela nafas dan ikut berdiri.

Nita langsung menatap tajam ke arahku.

"Tidak ada kata pertimbangan lagi, kakak sudah pasti akan ikut nanti. Jika sudah tiba waktunya dan kakak tidak keluar kamar. Maka aku akan menghancurkan pintu kamar kakak seperti 3 bulan yang lalu," ucapnya sambil menunjukan genggaman tangannya dan merasa begitu kesal.

"Iya, iya iya. Kakak akan ikut, asalkan jangan lakukan hal mengerikan itu lagi," responku yang merasa kaget dan cukup merinding.

"Baguslah."

Sesaat kemudian, terdengar seseorang membuka pintu.

"Ayah pulang ...."

"Nita, bagaiman dengan kakakmu Cakra. Apakah dia sudah mau keluar?" ucap ayah sambil berjalan mendekati kamarku.

Saat itu ayah melihat bahwa pintu kamarku terbuka setelah hampir 3 Minggu tidak pernah terbuka.

"Ayah! Kabar baik! Kakak akan ikut liburan dengan kita besok lusa!" seru Nita yang merasa sangat senang dan berlari ke arah ayah.

"Benarkah! Syukurlah kalau begitu, dengan begini maka liburan keluarga kita akan lengkap," balas ayah, ia ikut tersenyum senang dan mengelus-elus kepala Nita.

Aku yang berada di depan pintu, menunduk di hadapan ayah karena malu pada diriku sendiri.

"Cakra," panggil ayah pelan.

Aku mengangkat kepala dengan ragu. Kemudian menatap wajah ayah.

Ia terlihat memasang wajah senang, dan tersenyum. Sama sekali tidak ada ekspresi marah atau kesal akan apa yang kulakukan.

"Semoga nanti kau bisa berubah."

Mendengar itu, aku menunduk.

"Ba-baiklah ayah."

**

2 hari kemudian~

Semuanya sudah selesai di siapkan. Kami langsung bergerak masuk kedalam mobil.

Nita memaksaku untuk duduk di sampingnya yang berada di kursi tengah. Dan membiarkan kursi di samping ayah yang menyetir agar kosong. Karena aku tidak memiliki kesempatan untuk menolak. Terpaksa aku menyetujuinya.

[Di dalam perjalanan]

"Sebentar lagi kita akan masuk kedalam terowongan yang begitu indah dan baru saja di bangun beberapa Minggu lalu, apakah kalian siap?" tanya ayah yang mengangkat salah satu sudut bibirnya.

Dari jauh sudah terlihat gerbang masuk terowongan itu yang begitu indah dan gemerlap.

"Hey Nita, bangun," ucapku sambil menggoyang-goyangkan kepalanya. Ia sedang tidur di atas pahaku.

"Unnhh, apakah kita sudah sampai di tempat istirahat?" balas Nita sambil menguap dan melihat kedepan.

Saat itulah ia langsung takjub akan keindahan terowongan itu.

"Baiklah, kita masuk," ucap ayah yang menginjak gas mobil dengan semangat dan mulai memasuki terowongan.

Kami bertiga takjub akan keindahan dan betapa elegannya bagian dalam terowongan ini di bangun. Menurut kami terowongan ini akan lebih terlihat gemerlap saat malam hari.

20 menit berlalu semenjak kami memasuki terowongan, sepertinya saat ini kami berada di bagian tengah, dan membutuhkan 10 menit lagi untuk keluar.

Saat itulah, bencana terjadi.

Duarrr!!

Terdengar ledakan dari kedua ujung terowongan. Ledakan itu bahkan menciptakan gempa yang cukup untuk menjatuhkan perabotan-perabotan yang ada.

"A-apa itu!" responku kaget dan langsung melihat ke arah belakang.

Saat itu ayah yang sudah memperkirakan bahwa sesuatu sedang terjadi. Langsung menginjak pedal gas dan menaikkan kecepatan di atas 90km/jam.

Mobil kami menyalip mobil-mobil lain yang masih berjalan santai. Kami bertiga panik, Nita dengan reflek langsung memelukku karena ketakutan.

5 menit berlalu dan selama itu terus terdengar ledakan dari belakang yang beruntun.

Menurut perkiraanku kita telah sampai di 3/4 terowongan dan akan segera sampai di pintu keluar. Tanpa di duga.

Boommm!!!

Dari sisi kanan dan kiri terowongan terjadi ledakan, sepertinya bagian dalam terowongan dipasangi bom-bom yang akan meledak seiring berjalannya waktu.

Karena ledakan itu, atap terowongan yang memiliki lebar 10 meter itu langsung berjatuhan ke tanah.

Saat itu juga ayah langsung membanting stir dan menabrak pinggir terowongan.

"Cepat keluar!!" teriak ayah yang melihat kebelakang.

Dengan panik kami semua langsung keluar dari mobil.

Dan bum!!

Sebuah batu besar menimpa mobil kami.

"Lari!!" teriakku yang langsung menarik tangan Nita. Ayah yang berada di paling depan langsung ikut lari.

Tak lama kemudian ....

Duar!!

Mobil kami meledak.

"Kalian berdua!! Cepat kesini!!" teriak ayah yang sedang berada di pinggir terowongan.

Disana terdapat sebuah jalan kecil yang menjorok masuk, dan beberapa meter di depan terlihat ada sebuah pintu.

Kami bertiga langsung lari kedalam jalan kecil itu, namun kami terlambat. Pintu depan itu sudah tertutupi oleh reruntuhan batu yang ada.

Saat itu juga kami bertiga langsung menyender di dinding dan sebisa mungkin menghindari bebatuan yang jatuh.

"Apakah kita akan berhasil selamat?" ucapku di dalam hati dengan sangat ketakutan.

>>Bersambung<<

~Higashi