Chereads / Kepompong / Chapter 2 - Teman?

Chapter 2 - Teman?

Jam pelajaran bahasa saat itu kosong, hampir lima belas menit belum ada tanda-tanda kemunculan guru mereka. Tentu saja hal itu menjadi momen yang menyenangkan bagi kelas 1B, karena bagi mereka momen ini adalah saat yang pas untuk bisa bersenang-senang, dan lepas dari tugas sekolah.

Savira menghela napasnya dengan perasaan tak senang, ia mengeluarkan headset miliknya dan ia kenakan segera pada kedua telinganya. Memutar lagu kesenangannya, seraya ia membuka buku pelajarannya.

Masih didalam kelasnya, dan berada disudut ruangan kelas. Kelompok anak siswi sedang berbincang ringan, diiringi dengan tawa kecil yang bersautan satu sama lain.

"Eh kalian tahu gak? Itu..." Ucap Sisil menunjuk pada sosok Savira yang masih asik mendengarkan musik.

"Ingat kan waktu orientasi kemarin, dia disuruh tulis kakak senior terganteng. Terus dia gak isi apa-apa, dan dia bilang kalau dia itu enggak suka laki-laki." Ucap Sisil bercerita dengan semangat.

"Eh iya gue tahu soal itu, aneh banget dia. Freak ih... serem." Ucap siswi wanita lainnya, dan Sisil semakin menunjukkan wajah kesombongan dan angkuh.

"Itu dia yang bikin gue bingung, kenapa Adelia malah mau duduk sama dia." Lanjut Sisil dan menatap sinis pada punggung Savira.

"Entahlah, mungkin karena kasihan." Jawab siswi dengan rambut lurus dan memakai bandana berwarna merah jambu.

"Tapi Adelia itu keren banget ya, terus cantik lagi. Tahu gak... aku dengar bokap nyokapnya sering keluar negeri loh. Mangkanya dia sering ditinggal sendiri gitu... pantas aja barang yang dia punya... barang branded semua." Ucapnya bercerita dengan seru.

Ucapan kagum terus saja bermunculan, kerumunan anak wanita itu terus saja menceritakan sosok Adelia. Sampai akhirnya orang yang mereka bicarakan, baru saja memasuki kelas. Pandangan Adelia segera saja menyorot pada mereka yang tampak berkumpul.

"Adelia sini, kamu dari mana aja?" Seru Sisil bertanya dengan lantang, dia yang sedang duduk diatas meja belajar. Segera turun dan menghampiri Adelia dengan cepat, segera saja ia mengaitkan tangannya pada lengan Adelia.

"Tadi aku dari ruang guru, aku tanya kenapa guru bahasa belum datang. Ternyata Pak Agus sedang sakit, jadi tadi aku minta tugas untuk kita semua." Ucap Adelia memberikan penjelasan.

"Ish... Adelia ini. Mentang-mentang ketua kelas, kamu sampe datang langsung keruang guru. Udah sih, Del, sekali-kali kita enggak belajar juga enggak kenapa-kenapa, kan." Ucap siswi yang memakai bandana berwarna merah jambu.

"Rika, enggak boleh begitu. Udah cukup main-mainnya, sekarang waktunya ngerjain tugas." Ucap Adelia tak setuju, tapi tetap menunjukkan wajah ramahnya. Dan setelahnya ia melepaskan diri dari Sisil, ia berjalan kearah bagian depan kelas.

Adelia mengambil penggaris papan, dan ia ketukkan diatas meja guru. Suara ketukan dari papan penggaris, membuat keributan didalam kelas seketika menjadi sunyi.

"Semuanya, sekarang kita ada tugas bahasa yang harus dikerjakan. Dan... tidak ada lagi yang buat keributan! Kalau sampai terdengar dikelas sebelah, nanti kita semua bisa kena hukuman." Ucap Adelia dengan suara lantangnya.

Suara "Wuh..." terdengar pelan, walau tak menerima tapi tetap saja semua murid menurut dengan Adelia. Savira segera saja melepas headset-nya, dan membuka buku pelajarannya. Sebenarnya didalam hatinya, Savira sedikit tak menyukai Adelia.

Mungkin karena ia cantik? Mudah bergaul dan menarik simpati teman sekelas? Bahkan guru-guru juga sangat senang dengan sosok Adelia? Atau karena dia seorang ketua kelas? Kaya raya? Sehingga semua murid didalam kelasnya menurut saja. Atau terparahnya, apa karena Adelia adalah teman sebangkunya? Membuat sebuah perbedaan yang terlalu kentara, bagaikan bumi dan langit.

"Savira?" Panggil Adelia dan duduk disampingnya.

"Ya?" Tanya Savira bingung.

"Kalau aku bingung... boleh ya aku tanya-tanya sama kamu. Aku dengar kamu pintar, dan... Ah pasti aku jadi kelihatan bodoh sekali ya." Ucap Adelia, dan menggigit bibirnya dengan cemas.

"Tidak kok! Maksud gue... eee.... aku. Kamu enggak bodoh. Kalau memang ada pertanyaan yang sulit, tanyakan saja. Aku akan bantu kamu." Ucap Savira memotong percakapan Adelia.

"Terimakasih Savira, kamu memang baik." Puji Adelia, dengan senyum manis khas miliknya.

Batin Savira. "Sepertinya hanya perasaan burukku saja, Adelia sepertinya orang yang baik, bahkan bicaranya sangat sopan."

***

Jam makan siang kantin sekolah.

Bersama dengan teman barunya yang bernama Mita, mereka berdua memutuskan untuk makan siang bersama di kantin sekolah. Duduk pada kursi panjang, dan meletakkan beberapa makanan yang sudah mereka pesan.

"Kyra, lo betah ya duduk sama Sasi?" Tanya Mita seraya menguyah bakso perlahan, didalam mulutnya. "Aku dengar banyak soal Sasi, dia berasal dari Keluarga Cadramaya. Perusahaan besar yang berhubungan dengan dunia Fashion dan kencatikan. Dia berasal dari orang yang kaya raya, rasanya seperti langit dan bumi ya, jika melihat Sasi," Lanjut Mita, dan menatap lurus pada Kyra.

"Kau harus hati-hati dengannya. Dia punya pengawal yang berjaga di sekitar sekolah. Apalagi dia..." Mita memajukan wajahnya sambil melihat keadaan sekitarny dengan was-was.

"Ada apa?"

"Aku pernah dengar saat disekolah sebelumnya saat dia masih SMP. Ada rumor yang beredar, saat Sasi diganggu oleh seorang kakak senior, dan kakak senior itu dikeluarkan di sekolah. Seram, kan?"

"Aku tidak tahu jika dia punya kekuasaan seram seperti itu. Selama ini dia lebih banyak diam sih, atau lebih tepatnya dia seperti mengabaikan dan menganggapku tidak ada. Lagi pula, aku juga enggak tahu mau pindah tempat duduk sama siapa lagi," Jawab Kyra memberikan penjelasan.

"Emangnya kamu mau tukeran tempat duduk sama aku?" Kyra mencoba menawarkan.

"No... no... no... Sorry Kyra. Bukannya gue enggak kasihan, tapi Sasi itu..." Mita tampak bingung menjelaskan. "Hhh... seandainya aja waktu orientasi kemarin lo ada dan enggak sakit. Pasti..." Mita memperhatikan sekelilingnya, memastikan tidak ada yang mencuri dengar percakapannya.

"Pasti apa?"

"Pasti lo tahu kalau Sasi Candramaya itu menyeramkan." Lanjutnya, dan Kyra yang mendengarnya segera saja terkekeh.

"Ini serius, Kyra, waktu itu ada senior yang marahin dia. Karena Sasi enggak bawa perlengkapan yang sudah diberi tahu sebelumnya. Sasi dan senior itu pergi keruang kelas yang sepi, kita tahu kalau senior itu baik dan mau negur Sasi tanpa harus diperlihatkan dihadapan siswa dan siswi yang banyak." Wajah Mita semakin serius saja menjelaskannya.

"Mereka beruda enggak lama kok diruangan itu. Setelahnya Sasipun keluar, wajahnya kaya orang marah gitu. Mungkin dia enggak terima kalau dimarahin oleh senior, dan besoknya... lo tahu apa yang terjadi sama senior yang baik itu?" Tanya Myta, dan Kyra menggelengkan kepalanya.

"Besoknya senior itu dipanggil sama kepala sekolah, dan dikasi sanksi skor selama satu minggu enggak boleh masuk sekolah. Nah... serem kan." Mita mengusap kedua bahunya, seraya bergidik seram.

"Kok bisa?"

"Aku dengar... ternyata ayah dari Sasi itu punya pengaruh kuat, dalam pemberi dana sekolah ini. Jadi Kyra, gue peringatin kekamu ya... jangan macem-macem sama dia. Lebih baik menjaga jarak, karena kalau elo buat dia marah aja. Enggak akan tahu nasib buruk apa yang bisa menimpa diri lo." Ucap Mita dan kembali memakan baksonya yang hanya tinggal separuh porsi.

Sambil melanjutkan makan siangnya, Kyra tampak berpikir dengan semua penjelasan yang diberikan padanya. Apa benar seorang Sasi bisa berbahaya dan sekejam itu? Meskipun harus Kyra akui, kalau selama ini dia sendiri pun tidak pernah mengobrol dengan teman sebangkunya itu.

Apa mungkin sampai akhir nanti seorang Sasi, akan terus menganggap tidak ada seorang Kyra yang hanya murid biasa.