Lexi mondar mandir panik di depan kampus ternama kota ini. Gedung dengan arsitektur tinggi berbentuk huruf u dengan kolam dan taman pada bagian depan, sementara gerbang tinggi tertutup sempurna tak bisa dimasuki sembarang orang, termasuk.lexi, pria itu hanya bisa mondar mandir memperhatikan tiap wajah yang membuka pintu mobil untuk men tap kartu mereka di monitor gerbang. Belum juga menemukan wajah yang dia tunggu. Sudah hampir satu jam Lexi gelisah.
Max menurunkan kaca jendela, dia melihat wajah Lexi di depan sana
"Hey! Kau mencari siapa!" Teriak max dari dalam mobil. Lexi segera berlari menghampiri mobil sport max. Wah gila, mata Lexi melotot tak percaya dengan tunggangan mewah max, impiannya! Hanya sebatas impian saja.
"Emh!" Lexi menggaruk.leher belakang, dia ragu ragu.
"Ada apa?" Tanya max heran dengan tingkah Lexi. Pria kemaren ini, apa butuh uang lagi sampai sepagi ini mencari dirinya di kampus. Benarkan? Lexi jelas mencari max. Pria itu turun dari mobil dan membetulkan pakaiannya. Matanya sedikit menyipit entah karena wajah Lexi yang membuatnya heran atau karena silau matahari pagi.
"Sorry, apa kau ada waktu?"
"Katakan saja ada apa?" Max sudah under estimate dengan wajah bingung Lexi.
"Apa kau akan meminta uangmu lagi?" Max mengerutkan dahi.
"Katakan. Aku tidak mempunyai uang lagi untuk mengembalikannya. Aku akan memakai sisa uang untuk ke rumah sakit dan membeli obat!" Max bingung dengan ucapan Lexi.
"Apa kau mabuk?" Lexi bengong mendengar pertanyaan max.
"Ah kau tak mengerti! Aku sedang membicarakan Lia!" Wajah max semakin bingung, dia meraih handle mobil dan bersiap meninggalkan Lexi, waktunya terbuang sia sia.
"Hey, maksudku gadis di mini market!" Max menoleh sekali lagi. Gadis itu?
"Dia ke pub bukan karena suka berpesta,, dia terpaksa datang kesana, jadi kuharap kau sportif ya!"
"Dia bukan wanita yang seperti itu! Kau bisa memegang omonganku!" Max menggeleng tak mengerti. Dia tak bisa memahami tingkah aneh Lexi. Dia masuk ke mobil bersiap meninggalkan Lexi.
"Hey, aku belum selesai!" Teriak Lexi melihat kaca mobil max terus naik.
"Hey, dia hanya bekerja di Merci pub! Dia bukan---"
Bruumm..
Max mengangkat bahu, tapi dia menyimak kalimat terakhir Lexi. Oh, kabar baik. Sampai jumpa di pub. Max tak sadar mengembangkan senyumannya.
"Aku merasa tidak jadi diri sendiri!" Ujar max pada dirinya, dia mentap kartu aksesnya,, dan memutar kemudi.
"Akan menyenangkan malam nanti. Aku jadi tidak sabar!"
"Apa dia akan menjadi seorang hostes? Apa pelayan?" Max tertawa kecil. Dia turun dari mobil
"Hay!" Suara lexa mengejutkan max.
"Kau tersenyum di pagi hari? Apa ada hal baik?" Max mencibir saja
"Katakanlah. Oiya apa kau sudah terima undangan merci?" Max mengangkat bahu
"Ayolah, kita bersenang senang!" Ujar lexa mengacungkan undangan dan max menyimpannya.
"Kita bertemu nanti malam!" Lexa mengangkat telapak tangannya meminta balasan dari tangan max, keduanya berjalan santai dengan senyuman di wajah, sesekali membalas sapaan rekan sejawat mereka.
***
Lexi memperhatikan Lia yang berdandan. Dia sangat percaya jika sepupunya itu terlahir cantik paripurna. Tapi siapa sangka hanya dengan gelungan rapi ponytail dan kaos ketat membuat Lia seribu kali lebih mempesona.
"Aku akan memacarimu jika kau bukan saudaraku!" Ujar Lexi membuat wajah Lia mendengus kesal.
"Bagaimana hasil pemeriksaan bibi?" Tanya Risa mengalihkan topik.
"Seperti biasa, tak stabil. Kau tahu komplikasi akut" Lia menarik nafas dalam
"Kuharap kau lebih perhatian. Apa kau sudah memberikan obat. Sudah waktunya bibi minum obat!" Lexi mengangkat bahu dengan ajah cuek
"Bukankah itu tugasmu!" Lia melirik jam dinding, dia mengangguk mengalah.
"Aku juga harus berpamitan dengan bibi"
"Apa dia tahu kau bekerja di pub?"
"Kau harus merahasiakannya!" Ujar Lia memainkan alisnya.
"Baiklah. Oiya, apa kau akan memakai sepatu itu?" Lia melirik alas kakinya, lalu melempar senyuman pada Lexi.
"Ayolah sayang!" Lexi mengambil sebuah kantong plastik
"Apa itu?"
"Hadiah! Aku membelikan heel untukmu!"
"Yang benar saja!" Lia tak percaya, dia segera melepas sepatu kets kumalnya. Lia mengenakan heel dengan tali di pergelangan kaki hadiah dari Lexi.
"Ini cantik sekali!" Puji Lia
"Tentu saja!" Lexi bangga "setidaknya aku harus membagi sedikit denganmu!" Lia mengerutkan dahi tak mengerti.
"Baiklah, aku harus ke kamar bibi!" Lexi mengangguk. Dia membuka kaosnya dan memamerkan otot kekarnya.
"Wah, kau tambah keren saja!" Puji rllia menggamit kasar otot bisep Lexi.
"Apa kau tertarik?" Goda Lexi. Lia tersenyum dan mengedipkan mata.
"Tidak sama sekali!" Lia terkekeh dan meninggalkan Lexi. Begitu pula dengan pria itu. Dia segera masuk ke kamar mandi.
"Mari kita berpesta!" Ujar Lexi bersemangat.
**
Kediaman mewah Edwardo
Mariah sudah mengenakan dress seksi dengan resleting gold melintasi tubuhnya, ya, dari pangkal paha hingga ke tengah dada. Gadis itu menggunakan dress sequin dan Stiletto pelengkap penampilan.
Max mengetuk pintu, Mariah membukakan pintu. Keponakannya bersandar pada daun pintu meneliti penampilan totalitas Mariah. Max mengangkat kedua tangannya dan memamerkan deretan gigi.
"Apa bibi akan pentas disana?" Mariah mencibir.
"Kau akan mengenakan dress mini ini dari sini?" Tanya max tak percaya
"Apa bagus?" Mariah berputar putar. Max mengangguk saja tak banyak komentar.
"Saranku sebaiknya bibi tambahkan long Coat atau jaket, kau akan masuk angin bi!"
"Konyol!" Protes Mariah mencibir lagi.
"Aku serius!"
"Ayolah max! Tidak ada yang masuk angin ketika menikmati gelas alkohol mereka!" Max hanya mengangkat bahu terserah
"Aku tak menyangka ibumu tak pulang!" Max mengangguk setuju.
"Apa dia terlalu sibuk di pertambangan?"
"Aku rasa seperti itu!"
"Kenapa wanita harus bekerja keras dan membiarkan suaminya di rumah. Harusnya kakak bersenang senang seperti kita!" Keluh Mariah dengan wajah kecewa.
"Kau tahu mana sangat mencintai harta dan pekerjaanya"
"Tentu saja, dia sudah berjuang sejak kecil. Dia tak akan siap meninggalkan semuanya!" Max mengangguk setuju.
"Kalian akan kemana?" Suara berat Edward mengejutkan. Max dan Mariah kompak menoleh.
"Eh, kau mengejutkan saja kakak ipar!" Ujar Mariah menyentuh pundak Edward, pria itu memasang tatapan tajam dan membuat Mariah menarik tangannya.
"Kami akan ke pub!" Ujar max, Edward mengangguk saja. Matanya menyoroti undangan di tangan Mariah. Mercj! Baiklah. Edward melebarkan senyum
"Selamat bersenang senang untuk kalian!" Ujar Edward mengangkat tangan mengucapkan selamat malam.
"Papa tidak apa sendiri di rumah?" Max sedikit khawatir
"Tentu saja, papa sudah biasa!"
"Baiklah kalau begitu, kami pergi dulu!" Max mencium papanya diikuti Mariah. Edward berusaha menahan tangannya agar tak memukul gemas bokong Mariah. Ah dia sangat seksi dan menghoda. Tapi Edward memasang wajah cool dan tenang.
Max dan Mariah saling bergandengan, keduanya melangkah santai meninggalkan rumah. Edward menatap punggung kedua anggota keluarganya dengan sorot tajam. Dia mengeluarkan ponsel dari dalam saku.
"Hallo, Edwardo disini. Sebuah ruang VVIP di pub Merci dan semua butterfly terbaikmu!" Ucap Edward tegas. Dia menjentikkan jari. Seorang pelayan memakaikan jas dan menyerahkan kontak mobil.
"Ah tunggu, kita masih ada waktu!" Edward meraih pergelangan tangan pelayannya, mendesak mundur wanita itu hingga merapat ke tembok.
"Apa kau siap lembur?" Tatapan tajam Edward membuat pelayan itu ragu harus mengangguk atau menggeleng. Dia memilih mengangguk dan patuh.
"Sayang sekali!" Dia melempar pelayan itu hingga terduduk di lantai.
"Aku sedang tak berminat denganmu!" Edward menyapu bahu jasnya seakan membuang sisa sentuhan pelayannya yang meringis di lantai. Pria itu melangkah dengan gagah, meninggalkan rumah menyusul dua orang tadi.
"Siapkan pemandian dan hiasi kamarku malam ini! Siapa tahu aku menemukan pelayan terbaik esok hari!"
****
Jangan lupa dukungan dengan meninggalkan jejak..
Review.. komentar, batu kuasa dan hadiah.
baca juga:
1. bukan salah jodoh
2. bukan cinta yang salah (akan ganti judul jadi : my perfect CEO)
3. My playboy boyfriend
4. aku kamu dan masa itu
simpan semua buku di galeri mu.
nama pena : ayun_8947
Ig @ayun_8947