Deretan pegunungan berjajar rapi di bawah sinar mentari. Langit biru dihiasi dengan sedikit awan putih, burung-burung berterbangan bebas, dan hamparan sawah dengan padi yang mulai menguning mengingatkanku pada lukisan anak SD. Gambar yang juga menjadi favoritku semassa SD dulu. Semilir angin dari pintu bus yang terbuka menerpa wajahku, dengan lembut menyapu setiap inchi dari kulit wajahku. Udara segar pegunungan yang memanjakan indra penciuman membuatku terbuai, membawaku ke masa lalu.
"Ayah! Ayah tidak malu pergi bertiga sama Berlin dan Mama?" Aku yang saat itu berusia lima tahun bertanya pada Ayah ketika dalam perjalanan pulang dari acara kemping Ceria Sabtu malam.
"Kenapa mesti malu, sayang?"
"Ayah kan laki-laki, Berlin sama Mama kan perempuan. Ayah tidak malu pergi sama perempuan? Kata teman Berlin, laki-laki itu harus main sama laki-laki juga, nggak boleh main sama perempuan."
Dengan lembut lelaki yang dipanggil ayah itu mengelus kepala anak gadisnya. "Yang di bilang teman Berlin itu tidak benar, sayang. Laki-laki itu pelindung perempuan. Ayah itu pelindung Mama dan Berlin. Sekarang siapa coba yang gendong Berlin?"
"Ayah," sahut gadis itu.
"Yang meluk Berlin kalau nangis?"
"Ayah."
"Temenin Berlin tidur kalau mimpi buruk?"
"Ayah sama Mama,"
"Kalau tidak ada ayah siapa yang melindungi Belin dan Mama?"
Aku menggeleng pelan, tak tahu jawaban apa yang harus aku keluarkan.
"Berlin ingin punya kakak?"
Mataku berbinar mendengar pertanyaan Ayah, "Kakak?"
Ayah mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi tubuhku. Mata Ayah sama berbinarnya dengan mataku. "Iya, sayang. Kakak laki-laki."
"Dek, ongkosnya?"
Colekan di bahu membuyarkan lamunanku. Seorang kernek bus menadahkan tangannya di depan wajahku. Ku selipkan uang lima puluh ribu yang sudah aku pisahkan untuk ongkos. Setelah menerima uang kembalian, mataku kembali terpejam. Tapi kali ini tidak senyaman tadi.
Mataku beberapa kali menyapu setiap sudut bus tua yang ku tumpangi ini. Kursi dengan busa jok yang sudah tidak empuk lagi ditambah kain pembungkus yang sudah kumal menambah kesan tua dan tidak terurus. Tirai bau dan hampir terlepas menjadi pemandanganku kali ini. Biasanya aku akan menyibak gorden itu lalu ku selipkan di besi pegangan yang memalang di sepanjang kaca, tak ku bayangkan berapa ratus tangan yang menyentuh gorden itu hingga membuatnya tak indah lagi.
"Turun mana?"
Kepalaku menoleh ke arah samping tempat dudukku. Seorang pria dengan kaos hitam dan bertopi hitam menatapku. Keningku berkerut, tak mengerti apa yang dia bicarakan.
"Apa?"
"Turun dimana?"
"Oooh.." aku bergumam pelan sebelum menyahut, "saya turun di Indihiang."
"Kalau mau ke Tawang turun dimana?"
"Kurang tahu pak, saya bukan orang sini."
Lelaki itu terdiam sesaat sebelum kembali melontarkan pertanyaan yang membuat keningku kembali berkerut, "Orang mana emang?"
Kurasa orang ini mulai mengajakku berbincang setelah hampir setengah perjalanan tidak mengacuhkanku. Mataku menelusuri wajah yang tersembunyi di bawah topi hitam itu, takut-takut lelaki itu buronan yang sedang mencari sandra.
Seolah tahu apa yang aku pikirkan, lelaki itu kemudian menunjukan wajahnya. Setelah melihat wajah lelaki itu, baru aku menjawab, "Saya orang Bandung, pak."
"Ooh. Kuliah atau kerja disini?
"Kuliah, pak."
Ku lihat lelaki itu tak mengajukan pertanyaan lagi. Ia kembali disibukkan oleh ponselnya, padahal dari tadi tak pernah ku dengar berdering meski hanya sekali.
Sebenarnya lelaki itu belum pantas di sebut bapak, wajahnya saja masih terlalu segar untuk seukuran bapak-bapak. Jika ku tebak, usianya paling baru dua puluhan akhir atau tiga puluhan awal. Posturnya yang tinggi tegap membuatnya nampak berkarisma. Tapi sayang, caranya berkomunikasi mengurangi nilai karismatiknya.
"Bapak sendiri orang mana?" Tanyaku yang mulai tertarik untuk mengobrol dengannya.
"Saya orang Jakarta."
Kini ku maklumi caranya berkomunikasi, ternyata daerah tempatnya tinggal yang membentuknya seperti itu. "Disini kerja?" Sungguh, pertanyaanku ini tidak berkualitas sama sekali. Sudah tahu tadi lelaki itu nanya alamat, kenapa melontarkan pertanyaan seperti itu? Tidak mungkin dia tidak tahu wilayah kerjanya.
"Nggak, saya mau ke rumah teman."
Kami kembali terdiam, larut dalam aktivitas masing-masing. Dia dengan ponselnya dan aku dengan penyesalan karena telah melontarkan pertanyaan bodoh seperti itu. Bukan karena aku tidak ingin percakapanku berakhir, tapi karena first impression itu sangat penting bagiku. Meski pun kita hanya bertemu di jalan sekali pun, kita tetap harus menunjukan kualitas diri karena kita tidak akan tahu akan bertemu kembali di situasi seperti apa, begitu kata dosenku.
"Iya, bentar lagi nyampe. Tunggu aja di titik yang di bilang Nicko."
Telingaku menangkap aktivitas baru, lelaki itu berbicara dengan handphonenya. Refleks mataku melirik ke arahnya. Tak berselang lama ia mematikan sambungan teleponnya.
Mataku menangkap pemandangan yang cukup membuatku membenarkan letak dudukku. Dia sudah bercincin! Entah kenapa aku tiba-tiba bergumam seperti itu, padahal sudah menjadi hal yang lumrah jika lelaki berusia dua puluhan akhir sudah mempunyai istri. Tanganku lalu merogoh saku tas depan yang berisi headset. Mendengarkan podcast jauh lebih bermanfaat daripada mengobrol dengan lelaki yang sudah beristri itu.
Sebuah lagu dari Hindia yang berjudul Secukupnya menjadi pilihanku. Alunan musik mengalun memenuhi Indra pendengaranku.
"Selamat datang kembali di kosan tercinta..." Tubuhku ambruk begitu saja di atas ranjang tanpa seprai. Bau debu yang menguar memenuhi indra penciuman tak menyurutkan niatku untuk sedikit memejamkan mata melepas penatnya perjalanan menuju kota santri.
Kota santri. Mendengar kalimat itu sedikit menggelitik jiwaku. Kota yang hampir disetiap penjuru kota dipenuhi santri dan santriwati kini dirusak oleh pendatang tak tahu diri. Hampir setiap akhir pekan hotel dan kos-kosan dipenuhi oleh pasangan muda-mudi yang dimabuk cinta. Ironi memang, kota tempat menuntut ilmu agama dirusak oleh pasangan pecandu maksiat. Tapi seperti kata pepatah, yang jahat tidak akan mengalahkan yang baik dan yang baik tidak akan pernah menyerah. Pecandu maksiat tidak akan mampu mengalahkan kekuatan Allah SWT yang selalu digaungkan disetiap penjuru kota.
Seketika mataku kembali terjaga ketika kurasakan belaian lembut di setiap lekuk tubuhku. Kecupan lembut di leher menambah hawa panas udara di dalam kamar tanpa AC yang menyala ini. Keringat berselancar bebas dipunggungku dan seperti bongkahan es yang jatuh ke laut ketika lelaki itu berbisik.
"Aku merindukanmu."
Tangan kekar itu kini beralih memeluk pinggangku. Mendekap tubuhku yang kian memanas juga melemas. "Aku juga merindukanmu," balasku pelan.
"Maaf tidak menjemputmu," bisiknya sebelum menyusupkan kepalanya di lekukan leherku. Untuk beberapa saat kubiarkan tubuh kami menempel. Saling melepas rindu yang tertunda selama tiga bulan lamanya. Tak ada yang lebih membuatku rindu selain tangan kekar yang selalu membelaiku lembut, wangi parfumnya yang memabukkan, dan pelukan yang selalu menghangatkanku.
Kecupan demi kecupan bertubi-tubi menghujani setiap inci bibir dan leher. Jejak kemerahan yang diukirnya seolah tanda yang ingin ditinggalkannya sebagai tanda kepemilikan.
"Gerahh.." ucapku saat ciuman Kendi semakin intens.
Aktivitas kami terhenti. Tanganku bergerak untuk mengambil remote AC diatas nakas, sementara Kendi yang sudah berada diatas tubuhku kini menatapku dengan napas yang menggebu, perlahan ia melepas kancing bajuku dan membiarkan dadaku sedikit terbuka.
Aku tahu yang kami lakukan ini salah. Sangat menyalahi aturan dan melanggar norma. Tapi setiap sentuhan yang Kendi ciptakan selalu meyakinkanku bahwa tidak ada yang salah dari usaha mencari kenyamanan dan kebahagiaan sendiri. Aku mencintainya dan aku bahagia saat-saat menikmati waktu bersama.