Chereads / Indescriptible / Chapter 19 - nineteen•Senja

Chapter 19 - nineteen•Senja

"Al," panggil  Brian.

"Hmm."

"Dengar-dengar lo habis ngasih coklat ke Venus ya?" tanya Brian.

"Hmm."

"Dalam rangka apa?" tanya Brian masih tak mengerti.

"Emang ngasih harus dalam rangka sesuatu gitu. Berarti kalau gue ngasih cuma karena ikhlas nggak boleh?Aldrich membalas yang membuat Brian skakmat.

"Bukan gitu Al maksud gue. Gue cuma nanya aja sama lo. Lo kan biasanya kalau ngasih kalau nggak ada acara yang karena kasihan kan. Nah sekarang gue tanya sama lo, kenapa lo ngasih coklat ke Venus?" Jelas Brian.

"Ucapan maaf," jawab Aldrich sesingkat mungkin.

"Emang lo ngapain dia. Lo nggak ngapa-ngapain anak orang kan Al? Jangan bilang lo--." Tiba-tiba mulut Brian di dekap oleh Leo yang tiba-tiba saja datang.

"Lo kalau ngomong tuh kira-kira dulu kenapa sih Bri. Yakali anak baik-baik kayak Aldrich ngapa-ngapain anak orang. Yang ada tuh lo yang aneh-aneh sama anak orang." Timpal Leo melepaskan dekapannya.

Brian mengapa mulutnya kasar." Ya kan gue cuma ngira aja Le. Lagian lo Dateng-dateng nggak diundang terus lo main nyelonong aja ngapain sih ah. Ganggu orang aja."

"Lo yang aneh dari tadi. Nuduh Al yang enggak-enggak," sahut Leo.

"Titan mana?" tanya Leo yang sendari tadi tak melihat keberadaan Titan.

"Biasa lah, dia kan sibuk orangnya. Mungkin dia lagi ada urusan OSIS," jawab Brian.

"Di kantor," jawab Aldrich.

"Ngapain?" tanya Leo.

"Tadi di panggil sama Pak. Jarwo." Jelas Aldrich.

"Nah ketahuan kan lo sekarang kalau sok tahu. Makanya jadi orang jangan sok tahu kalau nggak tahu. Main jawab-jawab aja seenaknya, eh ternyata salah." Ledek Leo.

"Lebih baik salah daripada tidak sama sekali," ucap Brian dilebih-lebihkan.

"Itu kalau orangnya pinter. Nah kau kayak lo itu kata-kata yang cocok tuh 'lebih baik diam daripada salah'. Itu yang cocok kata-kata buat lo, lebih tepatnya sangat cocok buat hidup lo yang terlalu gitu-gitu aja." Saran Leo.

"Lo kenapa sih seneng banget nge bully gue. Lo nggak takut dosa? Nggak takut karma?" ucap Brian yang sudah sangat kesal dengan ucapan Leo.

"Heh kalian kalau mau berantem di luar aja, di sini ganggu." Sentak Vania sang ketua kelas XII-IPA 1 yang sendari tadi sangat terganggu dengan perdebatan mereka.

"Eh es krim Vanilla yang nggak laku, diem aja lo nggak usah ikut campur," ucap Brian sembari mengeluarkan lidahnya tanda mengejek.

"Heh sotong, lo kalau dikasih tahu tuh bisa nggak nurut gitu. Nggak usah ngejek gue bisa nggak. Nggak ada wibawanya gue disini sebagai ketua kelas." Kata Vania kepada Brian yang sejak tadi tak memperdulikan perkataannya.

"Lagian lo bawel banget sih jadi orang, kan keisengan gue jadi terlintas buat ngejek lo terus." Goda Brian.

"Udah lo berdua jadian aja deh. Cocok kalian tuh, yang satu bawelnya tingkat dewa, nah yang satu isengnya tingkat neraka. Udah pantes tuh, hidupnya ntar bahagia deh, gue jamin." Timpal Leo yang sendari tadi melihat perdebatan mereka berdua.

"Eh Al, temen lo kasih tahu noh. Otak aja pinter tapi hati nggak banget." Pinta Vania.

"Ngapain jadi gue, kan lo pacarnya," balas Aldrich memasang wajah serius.

"Sama aja ternyata kalian semua. Nggak ada bedanya sama sekali, capek gue ngomongnya sama kalian. Bisa naik darah gue kalau kayak gini terus," ujar Vania tak ada yang berpihak padanya.

"Sukurin lo, enak nggak lo nggak ada yang bela lo." Ledek Brian.

"Udah diem curut. Gue nikahin lo berdua lama-lama, capek gue dengernya." Ancam Brian yang sudah sangat tak tahu harus bersikap bagaimana.

"Eh bang Titan. Darimana bang Titan?" tanya Brian bak seorang perempuan.

"Eh minggirin muka lo. Muka lo deket banget sama gue." Titan mendorong muka Brian dengan kasar.

"Ganteng-ganteng kok tangannya bau ya. Tangan dia yang bau apa hidung gue yang gangguan." Brian mencium hidungnya sendiri.

"Heh aneh, lo tuh kenapa sih jadi orang tuh bego banget. Di benerin dikit bisa apa enggak sih." Kesal Leo sudah sampai tingkat atas.

"Bully aja terus sampai puas. Dosa gue hilang pahala gue nambah," ucap Brian bahagai kalau duduk di kursinya.

"Tan, Pak. Jarwo ngapain manggil"? Tanya Aldrich.

"Nggak ngapa-ngapain kok Al. Cuma nanya tentang DN aja," jawab Titan jujur.

"Oh." Mulut Aldrich membentuk huruf 'O' pertanda mengerti.

***********

"Ven," panggil Zara.

"Hmm," balasnya.

"Ntar nganterin gue ke kelasnya Aldrich ya," ujar Zara.

"Ngapain?" tanya Venus penasaran.

"Mau ngembaliin bukunya Leo. Kemarin jatuh di depan kelas, terus gue buka eh ternyata punya nya Leo. Jadi yaudah ntar gue balikin." Jelas Zara.

"Ok," jawab Venus singkat.

"Heh berdua, bisik-bisik apaan lo?" Kepo Nada.

"Kepo banget lo Nada lagu nggak jadi." Ketus Zara.

"Heh Nada lagu nggak jadi, mereka bukan bisik-bisik tapi ngomong biasa. Kalau bisik-bisik tuh di telinga bukan kayak gitu. Lo sekolah berapa tahun sih? Tetep nggak ngerti aja." Arva memberi penjelasan.

"Kenapa lo ikut-ikutan. Gue nanya mereka bukan lo." Tangan Nada menunjuk muka Arva.

"Heh tangan lo gue jadiin sup tangan mau?" Ancam Arva.

"Dasar Arva," lirih Nada.

"Diem. Kerjain tuh tugas dari Bu. Lilik. Nanti kalian dikasih hukuman baru tahu rasa." Venus mengingatkan kepada mereka bertiga yang sejak tadi tengah bertengkar cuma gara-gara salah paham.

"Siap Bu Ratu," ujar mereka bertiga secara bersamaan.

Kini mereka sudah diam untuk mengerjakan tugas dari Bu. Lilik. Seperti biasa, Venus sang penakluk semua soal telah selesai terlebih dahulu dari ketiga sahabatnya. Setelah selesai, Venus tidak membuang waktunya begitu saja. Ia memilih melakukan aktivitas seperti biasanya, membaca novel.

Ia mulai membuka batas terakhir novel yang mereka baca kemarin. Perlahan, matanya mulai berjalan mengikuti deretan kata-kata yang sudah tersusun rapi dan rinci. Matanya tak teralihkan dari novel itu. Tak lupa, ia juga memasang earphone pink miliknya pada kedua telinganya. Lagu mulai terdengar di kedua indra pendengaran Venus. Mata bekerja dan telinga pun juga ikut bekerja.

"Ven, ke kelas Aldrich yuk. Mau ngembaliin buku dulu, nanti keburu lupa." Ajak Zara.

"Ok." Venus dengan cepat berdiri dari tempat duduknya.

Mereka berdua berjalan menuju kelas Aldrich. Jarak antara kelas mereka dengan kelas terbilang sangat dekat. Hanya terpaut kantor guru saja.

"Permisi," ucap Zara.

"Ada apa Zar?" tanya Vania sang ketua kelas.

"Ini Van, mau balikin buku ya Leo. Leo nya ada nggak Van?" tanya Zara.

"Tuh lagi sama Aldrich sama Brian. Masuk aja gpp." Suruh Vania pada Zara.

Zara berjalan mendekati bangku Leo." Misi, gue mau ngembaliin buku lo. Kemarin jatuh di depan kelas gue."

"Oh iya ini buku gue. Makasih ya Zar,"

ucap Leo.

"Ekhemmm... Pepet terus le." Bisik Brian.

"Apaan sih lo Bri, nggak jelas deh. Udah lo diem aja

"Iya sama-sama le. Makasih ya," balas Zara.

"Kalau gitu gue balik kelas dulu," ujar Zara lalu pergi keluar kelas.

"Gimana? Udah selesai?" tanya Venus.

"Beres," ucap Zara tangannya membetuk huruf 'O'.

Kini mereka berjalan ke kelas mereka kembali. Seperti posisi awal, Venus kembali memasang benda kecil di kedua telinganya dan membaca buku novelnya yang belum selesai ia baca kemarin malam. Matanya mulai bekerja kembali untuk membaca novel itu.

Tak lama ternyata bel sudah terdengar di telinga seluruh siswa yang sendari tadi menunggu bel itu berbunyi. Mereka keluar secara serempak untuk menemui orang tua mereka masing-masing atau mengambil kendaraan mereka.

"Va, Zar, Nad. Balik duluan ya, kak Mars udah jemput ternyata." Pamit Venus pada ketiga sahabatnya.

"Iya Ven hati-hati ya. Selama buat Mama kamu sama kak Mars," balas Zara.

"Iya Ven, hati-hati ya," ujar Nada.

"Jangan lupa makan habis itu istirahat ya Ven. Tuh buku-buku sahabat kamu selamanya ditaruh dulu aja ya." Pesan Arva.

"Iya Va, makasih ya."

"Ven ayo pulang," ucap Mars yang sendari tadi sudah menunggu.

"Iya kak." Venus menyeberangi jalanan untuk menghampiri sang kakak.

Mobil itu kini sudah mulai melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan yang tak terlalu padat atau bisa dibilang sepi. Seperti biasa, Venus menatap keluar jendela untuk menyaksikan indahnya panorama senja di sore hari. Dirinya memang sangat suka dengan sang senja. Baginya senja memiliki segalanya. Indah, menenangkan dan mengagumkan.

"Kak, mah, Venus masuk ke kamar dulu ya. Mau istirahat," ujar Venus.

"Iya Ven."

"Ok sayang. Hati-hati ya ntar jatuh kalau naik tangga." Goda Marshen yang dibalas tatapan elang dari mata Venus.

"Jangan goda adekmu terus Mars," ucap Hera yang berada tepat di depan Mars.

"Nggak mah, Mars cuma memberi peringatan aja mah." Elak Mars yang membuat Hera tersenyum.