Sesampainya di depan kantor.
"Kalau begitu, aku duluan ya. Ichinose-kun ada perlu ke ruangan Bu Aikawa, 'kan?"
"Iya," Haruki mengangguk.
Reiha menundukan kepala sebagai tanda terima kasih atas pertolongan tadi. Ia pun kini beranjak masuk ke dalam kantor yang lalu disusul oleh Haruki.
Karena masih baru di sekolah, pemuda ini nampak menanyakan lokasi ruang Bu Aikawa kepada beberapa guru yang ia temui.
Cek Vote! Dan akhirnya ia pun menemukannya.
–Ruang Aikawa Akio–
Itulah nama yang terpampang di papan kayu di samping kanan pintu ruangan.
Saat Haruki mencoba untuk mengetuk pintu, muncullah Ketua OSIS dari baliknya.
Melihat ada seseorang di depannya, gadis ini tampak tidak begitu peduli, ia hanya menundukan kepalanya dengan sopan dan kemudian pergi dari hadapan Haruki. Haruki pun sama, ia hanya menunjukkan rasa hormatnya dengan menundukkan kepalanya kepada gadis yang sudah pergi dari hadapannya itu.
"Menghormati dibalas menghormati, begitu pun sebaliknya" itulah prinsip baru yang dipelajari Haruki dari seseorang yang ia kenal.
Duk! Duk! Duk!
"Permisi, Haruki di sini!"
"Masuklah!" suara seseorang dari dalam pun terdengar, mempersilahkan pemuda ini untuk masuk.
Setelah masuk, Haruki melihat seorang wanita berkecamata, tengah bersandar membelakangi meja kerjanya sembari memegang secangkir kopi hangat yang baru diseduh.
"Akhirnya kamu datang juga, Haru."
Orang yang memanggil 'Haru' tersebut adalah Aikawa, lebih tepat walinya Haruki.
Sambil melihat tamunya, nampak gurunya ini memiliki penampilan yang sedikit berbeda.
Dengan surai hitam pekat nan panjang, menambahkan citranya sebagai seorang guru, apalagi kacamatanya. Yang membedakan, hanyalah kemaja putih yang begitu panjang sampai ke lutut layaknya seorang dokter. Sisanya sama persis guru-guru pada umumnya.
"Jadi? Kenapa saya dipanggil ke sini?"
"Jangan dingin begitu. Tanpa aku panggil pun, kamu pasti akan datang ke sini, 'kan?" tebak Aikawa dengan mengedipkan sebelah mata kanannya.
Mendengar tebakan itu, Haruki hanya bisa menatap datar wajah walinya ini dengan menyembunyikan rasa kesalnya.
Kemudian ia merogoh sesuatu dari balik kantong saku celananya.
"Ini,"
Tampaknya itu adalah sebuah tempat pil obat yang isinya kosong.
"Ah, letakkan saja di meja sana, nanti aku buat lagi fil obatnya. Kalau dipikir-pikir ... kenapa bisa cepat sekali habisnya, Haru?"
"Entahlah."
Menanggapi respon datar Haruki, Aikawa hanya bisa tersenyum kecil. Baginya, hal tersebut sudah dapat menjadi kesenangan tersendiri. Itulah yang membuatnya tersenyum.
"Hei Haru, bagaimana kalau duduk dulu?"
Meski sempat terdiam sejenak memikirkan permintaan itu, Haruki pun duduk sesuai apa yang diminta oleh Aikawa, mengingat gurunya ini adalah walinya sendiri, Haruki berusaha menghormatinya dengan caranya sendiri.
Dengan disuguhi secangkir kopi hangat serta pemandangan taman yang indah dari balik jendela, membuat suasana di dalam ruangan ini begitu nyaman.
"Jadi? Gimana sekolahmu tadi?"
"Biasa."
Dari satu nada datarnya ini, sudah dipastikan kalau Haruki tidak begitu tertarik dengan memulai pembicaraan.
"Huuh ... sebaiknya kamu harus sedikit menikmati masa sekolahmu ini, Haru. Kalau tidak...."
"Kalau tidak?" alis Haruki terangkat heran.
"Kalau tidak, pihak Anggota Dewan akan curiga kepadamu. Mengurusi surat persetujuan sekolahmu dengan mereka saja terbilang cukup sulit. Apalagi jika sampai dicurigai mereka."
Sebelum melanjutkan, Aikawa menghirup kopinya terlebih dahulu. Setelah usai, nampak wajahnya itu kini dibalut raut keseriusan. "Intinya mereka masih mewaspadaimu, Haru!"
"Waspada, 'kah...." sembari menutup mata sesaat, Haruki pun mengela napasnya. "huuh ... itu pun ada benarnya."
Melihat respon yang diberikan anak didiknya ini, Aikawa lagi-lagi tersenyum kecil. Lalu ia menolehkan wajahnya ke arah jendela.
Bak sebuah layar kapal, tirai-tirai itu kini berhembus dengan damainya. Nampak pula di luar sana, terdapat sepasang burung kakak beradik tengah bermain ria di bawah teriknya mentari. "Hanya dengan melihat mereka bersama, aku...." lirihnya.
"Hei, Haru. Bukankah menikmati masa sekolah itu ... adalah salah satu keinginannya Miyu? Kalau terus begini, Miyu tidak akan senang, lho!"
Mendengar nama itu, lagi-lagi Haruki mendapatkan lonjakan besar yang dapat membuatnya ragu. Tanpa pikir panjang, pemuda ini pun menghela napas.
"Huuh ... baiklah, saya mengerti. Saya akan berusaha melakukannya, dengan begini ... Bu guru, puaskan?"
Melihat respon yang diberikan Haruki barusan, Aikawa pun tertawa kecil.
"Aha~ kamu ini ... setiap kali berkaitan dengan Miyu, pasti kamu begitu serius menanggapinya."
Sembari memalingkan pandangnya, pemuda ini pun menjawab, "Itu bukan urusan, Bu guru."
"Jadi? Apa kamu tulus melakukannya? Atau...."
Mendengar pertanyaan gurunya, Haruki terdiam sejenak. Ia menunduk, menatap segelas kopi di hadapannya. Tampaknya ia juga bingung harus berkata apa sekarang.
"Itu...."
"Saya masih belum tahu...."
"Apakah saya melakukan ini dengan ketulusan? Atau hanya sekedar perintah darinya saja? Saya pun tidak tahu."
Dari tatapan kosong itu, sudah terlihat jelas kalau masih ada keraguan yang merasukinya. Aikawa menyadari akan hal itu, tapi ia tidak berusaha menampilkan kekhawatirannya, malahan ia tersenyum, lalu berkata. "Ternyata benar ya, kamu ini ... memang seperti Rajawali."
Dengan menaikkan alisnya sebelah, nampak jelas kalau pemuda ini bingung dengan apa yang diucap oleh Aikawa.
"Rajawali?"
"Iya, Rajawali,"
"Rajawali yang mencoba keluar dari sangkarnya. Karena tidak berkeinginan untuk terbang ia pun terus mengurung dirinya di dalam sangkar ... tetapi, ketika ia berkeinginan untuk terbang layaknya burung-burung lain, ia pun berusaha untuk keluar dari sangkarnya bagaimana mana pun caranya, meskipun harus merobek sayapnya sendiri. Itulah Rajawali, itulah yang kumaksud kamu, Haruki."
Angin berhembus masuk seketika, ke dalam ruangan sampai-sampai tirai-tirai jendelanya mengibar layaknya bendara di pagi hari.
Rasa merinding lagi-lagi muncul dari Haruki, setelah mendengar ucapan walinya itu. Bukannya karena takut, melainkan rasa ingin tahunya itu membuat bulu kuduknya berdiri.
"Sa-saya?"
"Iya, itu kamu. Apakah kamu bisa keluar dari sangkarmu itu meskipun harus mengorbankan sayapmu? Ataukah kamu akan terus mengurung dirimu itu di dalam sangkar sampai akhir hayatmu?"
Haruki tidak bisa berkata apa-apa lagi, wajah datarnya seakan hilang entah kemana, matanya seakan tidak ingin berkedip setelah mendengar pertanyaan dari walinya ini. Rasa penasaran dan bingung memenuhi pemikirannya saat ini.
"Aku menantikan jawaban ini darimu, Haru ... kapan pun itu...."
****
Langkah demi langkah yang semakin lambat, menandakan kalau pemuda ini terus memikirkan pertanyaan gurunya tadi di benaknya. Terkadang ia sempat menatap langit nan biru, yang silaunya dapat membuatnya merentangkan sebelah tangan kanan untuk menutupi sinar sang mentari yang menyinari setengah lautan dunia. Ia mencoba untuk berhenti memikirkan pertanyaan tersebut. Namun sayang, benaknya terus menolak, malahan benaknya menyuruh untuk terus memikirkan hal tersebut layaknya seorang mentor.
Apakah kamu bisa keluar dari sangkarmu itu meskipun harus mengorbankan sayapmu?
Ataukah kamu akan terus mengurung dirimu itu di dalam sangkar sampai akhir hayatmu?
Entah mengerti atau tidaknya itu pertanyaan, itulah yang terus dipikirkan Haruki di sepanjang jalan menuju kelas. Sudah lama bagi pemuda ini tidak lagi merasakan bagaimana rasanya rasa penasaran dan kebingungan, dan baru kali ini ia pun merasakannya. Otaknya yang sekarang terasa lebih terisi, dari pada otaknya dulu yang terasa hampa.
Langkahnya yang lambat itu, kini terhenti sejenak setelah perhatiannya teralihkan oleh burung-burung yang terbang di langit. Tangan kanannya ia coba rentangkan kembali ke angkasa seraya ingin menggapai mereka, namun tak sampai.
"Aku adalah Rajawali yang mencoba keluar dari sangkar, 'kah...." lirihnya.
Sambil menatap langit, ia mencoba memahami maksud pertanyaan gurunya tadi dari burung-burung tersebut. Di kala ia mulai memahaminya, hembusan angin menghembuskan pemahamannya itu sehingga ia harus mengulangnya lagi untuk bisa paham.
Karena mengalami kebuntuan, pemuda ini pun melanjutkan kembali langkahnya.
Beberapa langkah kemudian, ia meresakan ada seseorang yang sedang mengikutinya dari belakang.
Sekejap Haruki memalingkan wajahnya ke belakang. Namun nihil, tidak ada seorang pun yang ada di belakangnya. Meski begitu, hawa keberadaan orang tersebut masih dapat ia rasakan. Pemuda ini pun melanjutkan kembali langkahnya untuk mengecoh orang yang mengikutinya itu.
Dan ternyata benar, ada sesosok orang yang sedang mengikuti pemuda ini dari belakang. Haruki menyadari akan hal itu, tapi ia tidak ingin bertindak gegabah. Malah ia menunggu orang tersebut menyerangnya terlebih dahulu.
Tampak dari belakang, sosok yang mengikuti Haruki itu adalah seorang gadis dengan tinggi 168cm, mengenakan kacamata, bersurai hitam kecoklatan dengan ujung rambutnya berkepang ke depan layaknya seorang kutu buku.
Kedua tangan gadis itu secara bergantian menggapai ke depan ke arah Haruki. Bukan karena ia ingin menyapanya, melainkan ia sedang merapalkan sebuah mantra dengan kedua tangannya. Haruki merasakan Mana yang besar sedang menuju ke arahnya, tetapi tetap saja ia berlagak seperti orang yang tak tau menahu layaknya orang biasa.
Bhuum!!
Tiba-tiba muncul dari dalam tanah di sekitar Haruki, empat balutan sutra berwarna putih yang langsung melilit tubuhnya dengan cepat hingga menutupi seluruh bagian layaknya seorang mumi yang tidak bisa bergerak. Sepertinya balutan sutra ini dikendalikan oleh gadis tersebut.
Di saat Haruki tidak diberi kesempatan untuk bergerak, di situlah kesempatan bagi gadis tersebut. Perlahan ia mencoba mengepal tangan kanannya yang membuat balutan sutra yang menyelimuti Haruki itu semakin erat mengikatnya.
Sling! Sling! Sling!
Dengan cepat, kedua pedang sihir milik Haruki, langsung menebas seluruh balutan sutra yang mengikat tubuhnya. Di saat yang bersamaan ia melemparkan salah satu pedangnya dengan sangat cepat ke arah gadis tersebut untuk mengecohnya. Namun gadis itu langsung sadar, ia pun membuat tameng dari tiga balutan sutra yang muncul dari punggungnya untuk menghadang pedang itu.
Ketika gadis itu berfokus pada pedang yang sedang mengarah kepadanya, sekejap Haruki muncul di belakangnya dan langsung mengayunkan pedang sihirnya ke arah leher gadis pembalut tersebut. Tapi sayang, gadis itu kembali menyadarinya.
Ia langsung menangkis dan melilit pedang sihir yang diayunkan oleh Haruki dengan salah satu balutan sutranya–yang juga muncul dari punggungnya. Di saat yang bersamaan ia juga sempat menahan pedang sihir yang tadinya dilempar oleh Haruki, dengan tameng tiga balutan sutra miliknya. Meskipun itu membuat tamengnya tertusuk oleh pedang sihir pemuda ini, karena saking cepatnya dilempar.
Tiba-tiba Mana dari kedua pedang sihir Haruki yang berhasil ditahan si gadis langsung diserap oleh balutan sutra yang melilit keduanya. Haruki yang menyadari akan hal itu, langsung menjaga jarak aman dengan gadis ini.
Berbeda dengan senjata lawannya Arma, pedang sihir pemuda ini terbuat dari Mana, itulah yang membuatnya terserap dengan mudah oleh senjata lain.
"Siapa gadis ini? Dilihat dari tipe sihirnya itu ... terbilang cukup unik,"
"Sepertinya ... balutan sutra itu, bisa menyerap Mana rupanya,"
"Jika aku terlalu dekat dengannya, mungkin saja sisa Mana yang ada dalam tubuhku ikut terserap juga olehnya,"
"Mata Intimidasiku juga, sepertinya tidak bisa kugunakan sekarang ... jika kugunakan sekarang ada kemungkinan aku akan kehilangan kesadaran ... mengingat baru-baru ini aku baru saja menggunakannya,"
"Kalau dipikir-pikir lagi ... Mana yang dipancarkan gadis ini terbilang cukup besar, bahkan melebihiku."
Baru pertama kali ini bagi Haruki, menghadapi seseorang dengan tipe sihir yang terbilang cukup unik seperti gadis tersebut. Dengan jurusnya yang dapat mengeluarkan beberapa balutan sutra dari dalam tanah saja, sudah mengejutkannya. Apalagi senjata—Arma-nya yang juga bisa mengeluarkan empat balutan sutra dari belakang punggungnya, sudah pasti bakal merepotkan bagi pemuda ini. Bukan hanya itu, yang paling merepotkan dari melawan gadis ini bagi Haruki adalah balutan sutranya itu sendiri, yang bisa menyerap Mana bagi siapa saja yang menyentuhnya.
"Huuh ... benar-benar lawan yang merepotkan!"
Sambil menghela napas, Haruki mengakhiri pemikiran panjang nan seriusnya itu. Ia pun kembali menciptakan pedang sihir di kedua tangannya. Seketika kumpulan Mana berwarna ungu muncul di kedua telapak tangan, yang akhirnya membentuk menjadi dua buah pedang sihir panjang berwarna ungu yang siap untuk menebas kembali lawannya.
To Be Continued....
Happiness always comes for those who sincerely want it