Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Why ¿

March_Jovanka
--
chs / week
--
NOT RATINGS
4.6k
Views
Synopsis
belasan tahun hidup bersama orang yang mempunyai minat dan hobi yang sama tentu menyenangkan. apalagi banyak kawan yang memuji aku, Aeliza Firly dan suamiku, Renanda Julianto sebagai pasangan yang serasi dan romantis. di luar semua itu tentu banyak yang tak mereka ketahui kalau kami sering adu argumen bahkan untuk hal yang sepele bagi kebanyakan orang. sebagai istri, tentu aku berusaha untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. aku rasa, akulah yang paling banyak mengalah. tapi tidak untuk hal yang hari itu menurutku sangat berharga dan telah menjadi kecintaanku sejak lama. renan, laki-laki yang sok innocent itu mengambil minatku terhadap menulis. hal yang paling aku senangi dalam hidupku selain makan. Renan mengaku nggak bermaksud buruk seperti yang aku tuduhkan, tapi tetep aja aku nggak bisa terima. kesalahan-kesalahannya yang telah lalu aku ungkit dan betapa aku selalu menerimanya kembali sebagai lelakiku yang sudah menjadi ayah bagi kedua anak-anakku. tapi kali ini aku sulit melupakan perbuatannya, aku jengah sendiri. aku jadi berfikir apakah jika pasangan kita tak mempunyai minat dan hobi yang sama akan terasa lebih menyenangkan dan tak kan pernah ingin ikut ambil bagian dalam setiap project yang dikerjakan? nggak tau juga, yang jelas aku memutuskan untuk berhenti menulis. aku benci menulis, aku nggak mau peduli dengan apa yang renan kerjakan. masa bodo!

Table of contents

VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Trouble

rasanya dadaku mau meledak nahan semua kekesalan beberapa hari ini. dan lebih ngeselin lagi orang yang bikin aku kesel nggak sadar kalo dia biang masalahnya, padahal mukaku udah aku tekuk, aku lipet-lipet biar keliatan betapa aku keseeeell banget sama manusia yang udah 13 tahun jadi suamiku itu. dan, perempuan itu kalo lagi marah sebenernya pingin ditanya "kenapa?" lalu dia bakal jawab bla bla bla bla... panjang banget ngalahin panjangnya gerbong kereta api. dan itu akhirnya terjadi juga padaku setelah aku tunggu-tunggu momentumnya.

"sayang maafin aku ya, aku kemarin bangunnya kesiangan." Renan duduk di bibir ranjang persis dibelakangku yang lagi pura-pura tidur menghadap tembok.

tuh kan, dia beneran nggak peka. soal bangun kesiangan kan udah biasa. bukan itu persoalannya.

aku menggeleng.

"aku nggak dimaafin?"

aku menggeleng lebih kuat lagi tanpa berminat ngeliat tampangnya yang nyebelin banget.

Renan beringsut mendekat. "aku janji besok nggak kesiangan lagi. maafin aku ya..."

"bukan itu!" sahutku dengan jengkel yang tertahan.

"lha, terus?"

asli, ini orang emang dari dulu nggak peka. akhirnya dengan mata yang memanas aku jembrengin semua persoalannya.

"soal kamu sama teman-teman kamu nggak mau pake naskah yang udah aku buat!" air mataku mulai meleleh. aku paling benci sebenarnya menangis di depan dia. tapi kalo udah posisi kayak gini aku pasti nangis. tiap ada masalah ketika berdebat aku pasti sambil nangis. perempuan lain gitu juga nggak ya? atau aku aja yang lebay kali ya?

"Ya Allah....! jadi soal itu?" suara Renan pun terdengar tertahan seperti nggak habis pikir.

"iya! padahal aku udah ikutin maunya kalian, tapi sia-sia aja!" aku mulai berani meninggikan volume suaraku.

"bukan nggak mau, Fir... " Renan menarik lenganku untuk menghadapnya tapi aku menepisnya. ogah banget liat tampangnya, nyebelin! "aku udah coba tawarin, tapi kan nggak direspon."

"ya harusnya bilang dari awal kalo nggak cocok! dari waktu aku bikin sinopsis biar nggak kayak gini jadinya. aku turutin maunya kalian. katanya suruh dilanjut, aku lanjutin ke scene plot. terus katanya mau baca naskahnya, aku garap naskahnya sampe selesei ternyata kayak gini jadinya, kamu malah bikin naskah baru lagi dan udah mau syuting aja. kamu anggep apa kerjaku? udah gitu aku nggak dikasih tau kalo naskahku reject, harusnya kasih keputusan dulu!" ocehku melampiaskan semua yang aku tahan.

"masalahnya didurasi, Fir. budgetnya juga."

"nggak, itu alesan kalian aja. kalo mau yang lebih pendek kan aku udah bikin yang ke dua itu, tapi apa? nggak direspon juga! dasarnya kalian emang ngga suka sama aku!"

"Ya Allah, Fir! bukan itu...., kita lagi cari tema yang pas. itu juga hasil rembukan bareng tim. thriller emang lebih masuk katanya. aku juga nggak ngerti apa-apa soal strategi apalah inilah, aku baru belajar. aku cuman coba nulis naskah ngikutin maunya mereka dulu. kamu juga kan tau, aku nggak bisa sebenernya tapi karena nurutin mereka itu makanya aku coba. dan kalo udah jalan nantinya aku mau kamu yang nulis kok."

"nggak mau!" sahutku cepat. aku nggak mau denger alasan lagi.

aku ngerasa udah ditikung suami sendiri. tega-teganya dia bikin naskah baru tanpa ngelibatin aku, aku nggak diajak ngobrol, nggak dimintain pendapat kayak biasanya kami kalo lagi punya ide baru. tau-tau dia dan timnya udah bahas jadwal syuting dan lain-lain.

asli, aku dongkol banget! tapi sore tadi masih bisa juga aku pasang tampang biasa di depan teman-temannya. aku pura-pura nggak nyimpen kekesalan, tapi nggak aku perlihatkan juga tampang excited-ku dengan rancangan-rancangan mereka untuk beberapa hari ke depan. aku bersikap biasa aja, no response. dan harusnya suamiku udah bisa membaca itu, tapi nyatanya....

sampe mana tadi aku ngomelnya ya....

"aku nggak mau nulis lagi. aku berhenti! dan itu semua gara-gara kamu!" teriakku agak tertahan karena takut si Kenan yang tidur di kamar sebelah terbangun.

"kok kamu jadi nyalahin aku?!" Renan nggak terima.

"iyalah! kamu kan tau aku lagi semangat-semangatnya nulis. aku juga baru belajar, makanya semua kesempatan aku ambil. tapi apa, kamu udah matahin semangat aku! harusnya kamu ngomong kalo kalian mau ganti genre, tinggal bilang aja pingin thriller apa susahnya? bukan kayak gini caranya. diem-diem di belakang aku kamu bikin cerita baru sedangkan dua naskah punyaku sebelumnya nggak ada kejelasannya."

kami saling diam beberapa saat. "bukan maksud aku buat diem-diem bikin cerita baru di belakang kamu." ujar Renan pelan, suaranya melunak dan ini aku gunakan buat nyerocos lagi menumpahkan semuanya.

"terus apa namanya?! intinya aku kecewa banget sama kalian! aku nggrasa nggak dianggep sama kamu. PH besar juga nggak gini-gini amat memperlakukan penulisnya. aku tu ya udah biasa ditolak, atau disuruh revisi naskah. kamu tau sendiri kan? aku lembur sampe jam 3 pagi juga rela demi revisi. aku berangkat kerja sambil ngantuk gara-gara belain revisi aku jalanin. malemnya udah harus bikin draft baru lagi, aku jalani semuanya karena kecintaanku pada menulis. kamu tau passionku disitu, tiap hari aku kerja serasa jenuh membosankan tapi ketika aku udah disuruh garap naskah aku lakuin dengan senang hati. karena cuman dengan nulis yang bisa bikin aku hepi, aku semangat dan ngerasa nggak terbebani walau melelahkan dan menyita waktu. tapi sekarang semuanya itu udah kamu patahin. aku nggak mau nulis lagi." ocehku masih dengan air mata yang berlinangan dan hidungku yang mulai mampet.

sepi, Renan tak buka suara. mungkin dia lagi berpikir. tiba-tiba dia berbaring pelan di belakangku. "Fir, maafin aku. aku bener-bener nggak ada maksud seperti yang kamu tuduhkan itu. itu cuman perasaan kamu aja. mana mungkin aku tega matahin semangat kamu. aku justru dukung kamu selama ini."

aku bangun untuk menyeka ingus dan air mataku dengan daster warna orange kesayanganku, dan tetap ku palingkan wajahku masih nggak mau melihatnya. tapi ku lirik juga dia dengan ekor mataku, Renan sedang menatapku sayu.

laki-laki kalau sudah begitu biasanya minta dikasihani dan ngarep banget buat dimaafin.

hoho.... tidak semudah itu, ferguso! aku tetep kekeh jumekeh nggak mau maafin dia. gak peduli biarpun dia anggep ini masalah sepele. atau mungkin menurut orang lain aku lebay, terlalu membesar-besarkan masalah.

tidak! bukan begitu esperansa! ini soal harga diriku sebagai penulis. ya.... meskipun masih amatiran. aku merasa bener-bener telah dihianati.

"nulis lagi ya. bantuin aku nyelesein." sambungnya masih dengan tatapan memohon.

"nggak! kamu kan bisa sendiri!"

"aku nggak bisa, kamu lebih paham soal menulis. nanti kalo udah jalan, kamu kok yang jadi penulis tetapnya. ini untuk awalan aku ikutin maunya mereka dulu."

"kamu nggak usah ngibur aku ya. aku tetep nggak akan mau nulis. aku udah berenti!"

"jangan gitu, Fir..."

aku menutup kedua telingaku. "aku nggak mau denger apa-apa lagi. lanjuti aja, dan aku nggak akan mau tau soal itu. aku nggak peduli!"

tangisku udah reda, dan dadaku rasanya plong banget. mataku yang masih basah melihat raut kecewa wajah Renan.

"kali gitu ya nggak usah diterusin." suara Renan sok pasrah. "buat apa? aku juga males nglanjutin kalo kamu nggak mau terlibat."

"lanjutin aja!" sahutku setengah memaksa. "kamu udah memulainya kok. aku justru nggak penting dalam tim kalian jadi buat apa juga aku ikutan?!"

"tapi masih ada kemungkinan kan kalo suatu saat kamu nulis lagi?" Renan masih berusaha.

aku menggeleng mantap. "nggak!"

***