1.
"Bangsa Mongol datang lagi! orang-orang itu datang lagi!"
"Bangun kalian semua, raja membutuh kalian!"
Pada malam itu sekitar tahun 1293 di sebuah desa di sekitar Singasari, aku masih berumur 3 tahun, terbangun dalam dekapan ibu. Ibuku terbangun sendirian, sedang kebingungannya mencarinya suaminya.
Dia menyusuri jalan malam dengan obor di tangan kanannya, dan menggenggam kakakku yang baru berumur 5 tahun di tangan kirinya. Dalam kegaduhan malam itu terlihat ayah sedang sibuk membagikan tombak dan pedang kepada beberapa pemuda.
Ayahku adalah seorang pandai besi, dan memang sudah diperintahkan oleh raja untuk membuat banyak senjata.
Melihat ibu datang menghampiri, ayah pun mendekat.
"Ratna, saat ini keadaannya sedang kacau, pergilah bersama rombongan wanita ke barat, hingga kamu sampai pada lembah di sekitar sekitar Sungai Serayu, lembah itu juga dikelilingi beberapa gunung, kamu akan aman di sana."
"Apapun yang terjadi tetaplah di sana, jaga kedua anak kita ini, jangan pergi dan tunggu aku datang menjemputmu, aku akan pergi menyusul, mungkin paling lama setelah satu tahun, maka bersabarlah menungguku, dan sekarang pergilah"
Saat itu ibu hanya diam dan mengangguk, seakan mengerti apa yang sedang terjadi, ibu mulai berjalan menuju rombongan wanita dan anak-anak yang akan mengungsi.
"Tunggu Ratna!"
Dalam pelan jalannya ibu pun menengok, memastikan bahwa memang suaminya yang memanggilnya.
"Ratna, aku titipkan ini padamu, keris peninggalan ayahku, jadikan ini sebagai janjiku, bahwa aku pasti akan kembali, apapun yang terjadi"
Tanpa sadar ibu mulai meneteskan air mata, tak percaya tentang apa yang terjadi dan mulai berpikir tentang hal yang membuatnya semakin sedih.
Dalam keadaan yang sedikit kesal ibu tak menjawab apa-apa dan langsung kembali berjalan.
"Hati-hati di jalan, Ratna!"
Mungkin pikiran ibu sedang kacau saat itu, tapi tentunya di sana terdapat ayah yang pasti juga merasakan kesedihan, harus berpisah dengan istrinya yang belum tentu bisa dia temui kembali, bahkan di saat terakhirnya itu ayah tidak dapat mendengar suara jawaban istrinya.
2.
Dalam gelap malam, ibu beranikan pergi memasuki hutan bersama mereka, rombongan pengungsi dengan beberapa prajurit untuk berjaga-jaga, meninggalkan kampung halaman tanpa tahu apa yang akan terjadi ke depannya. Bau minyak tanah, bising kaki menapak tanah, semua menyatu menyempurnakan suasana. Jika dipandang dari depan, di belakang prajurit yang memimpin perjalanan, barisan diawali dengan banyak wanita dan anak kecil, di ikuti dengan para tetua dan prajurit yang tersisa berada di ujung belakang.
Perjalanan itu memakan waktu hingga beberapa minggu untuk sampai pada lembah yang mereka katakan, dan selama itu juga ibu menggendong dua anaknya melewati jalan yang terjal, menaiki bukit dan menyeberangi sungai.
Sesampainya di tanah datar yang disebut lembah itu, para prajurit mulai membuka lahan untuk pemukiman sementara tepat berada di tepi sungai, sementara wanita dan orang tua membantu membangun gubuk dari kayu pohon yang sebelumnya ditebang.
Selama beberapa minggu ke depan, orang-orang sudah mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru bagi mereka.
Bulan ke bulan sudah terlewati, sawah sudah luas dibuka, jalan sudah ramai dilewati, pasar sudah didirikan, belum ada seorang pun dari Singasari yang datang membawakan kabar.
3.
Satu tahun sebelumnya yaitu tahun 1292, Jayakatwang melakukan pemberontakan dan berhasil membunuh Raja Singasari, Kertanegara. Setelah itu Kerajaan Singasari runtuh dan Kerajaan Kediri didirikan kembali.
Lebih lama, dahulu Kerajaan Singasari sendiri didirikan dari hasil pemberontakan Ken Arok terhadap Kerajaan Kediri. Berawal dari merebut daerah bawahan Kediri yaitu Tumapel dari Tunggul Ametung, hingga berhasil membunuh Kertajaya, Raja Kediri.
Beberapa tahun setelah berdirinya Kerajaan Singasari, lahirlah kakekku di Daha atau ibukota Kediri pada tahun 1230. Dia tumbuh dan berkembang hingga dewasa di sana dan menjadi pandai besi yang terkenal dengan nama Jayakala, dia mewarisi keterampilan dari ayahnya, Bayalungguh.
Jayakala akhirnya menikah dan mempunyai tiga orang anak, dan anak yang ke dua adalah ayahku. Pada tahun 1260 ayahku lahir dengan nama Senaweling. Tidak seperti kedua saudaranya, ayahku suka dengan petualangan, sehingga setelah dia menguasai teknik pandai besi, dia segera pergi mengembara.
Suatu saat, Senaweling pergi bersama rombongan pedagang menuju Malaka untuk menjual keris yang dibuatnya. Sesampainya di sana, karena tidak membawa cukup bekal, dia memutuskan untuk bekerja di pelabuhan kepada seorang saudagar rempah sebagai kuli panggul sembari menunggu kerisnya terjual.
Berbulan-bulan keris Senaweling tidak kunjung terbeli, karena memang dia memasang harga yang cukup tinggi. Untuk keris yang waktu pembuatannya membutuhkan waktu lebih dari setahun, biasanya terjual dengan beberapa kantong emas yang cukup untuk membeli 4 ekor sapi jantan dewasa. Rombongan pedagang yang berangkat bersamanya sudah pulang, sedang dia tetap menunggu kerisnya terjual.
Saudagar itu sendiri bernama Paradhikawijaya, seorang duda dengan empat orang anak laki-laki dan satu anak perempuan bernama Ratnamithasika. Dia memperkerjakan dua orang untuk membantunya berjualan rempah, yaitu Senaweling dan seorang lagi bernama Watulintang.
Empat anak laki-lakinya sekarang sudah berpisah rumah, dan memiliki pekerjaan masing-masing.
Karena sudah bekerja untuk waktu yang cukup lama, Senaweling sudah mulai akrab dengan keluarga Sang Saudagar. Senaweling memang bekerja dengan rajin, sehingga sering mendapatkan pujian dan upah tambahan. Melihat itu Watulintang selalu cemburu, terlebih lagi melihat tingkah Ratnamithasika, anak saudagar yang sebenarnya dia sukai sering berbincang dan terlihat akrab dengannya.
Malam itu hujan gerimis, pelabuhan juga sedang sepi, Senaweling sedang tertidur.
"Sena! Senaweling! kau ada di dalam?!" teriak Watulintang sembari menggedor pintu kamar. Saudagar memang menyediakan dua kamar bagi pekerjanya di bagian luar taman rumahnya.
Tidak mendengar ada jawaban, Watulintang langsung memasuki kamar, dia mulai menggeledah seisi kamar untuk mencari keris buatan Senaweling. Bukan untuk dicuri atau apa, tetapi untuk niat yang yang lebih buruk, Watulintang ingin membunuh Senaweling dan Saudagar, sehingga dia bisa membawa kabur Ratnamithasika.
Sore sebelum malam itu, Watulintang memberi Senaweling ikan bakar, dia mengatakan bahwa dia mendapat hadiah dari Saudagar atas kerja kerasnya. Tanpa pikir pikir panjang selepas Watulintang pergi, Senaweling langsung memakannya. Tapi setelah beberapa saat, Senaweling menyadari ternyata ikan bakar tersebut beracun, dan dia segera tak sadarkan diri.
Setelah lama mencari, akhirnya keris itu berhasil ditemukan. Melihat Senaweling yang sudah tergeletak, Watulintang langsung menusukkan keris itu ke punggungnya, dan pergi menuju rumah saudagar.
Dengan mencongkel jendela, Watulintang berhasil memasuki rumah, dia berkeliling memeriksa setiap kamar untuk mencari Saudagar. Saat dia menemukan Ratnamithasika sudah tertidur dia hanya meninggalkannya tanpa niatan buruk, tapi saat dia melihat seorang Paradhikawijaya yang biasanya gagah sedang tertidur, dia langsung mendekatinya dan menghunuskan keris tepat di atas mukanya, Watulintang tampak sedikit bimbang, dia terdiam cukup lama di hadapan majikannya.
Hingga tiba-tiba terdengarlah teriakan seseorang.
"Watulintang! dimana kau! keluar kau keparat!"
Mendengar itu Watulintang tentu saja terkejut, bagaimana bisa Senaweling masih hidup setelah diracun dan ditusuk olehnya, tidak lama kemudian Senaweling sudah terlihat di pintu kamar. Ternyata tusukan yang dilakukan oleh Watulintang hanya mengenai pundak, dan justru membuatnya terbangun dari pengaruh racun, racun itu tidak terlalu kuat karena dia sedang berhemat dan memakan sedikit ikan itu dengan nasi yang lebih banyak.
Dengan segera Watulintang mengayunkan kerisnya ke arah muka Saudagar, tapi di saat yang tepat Senaweling melemparkan sebuah kendi tepat ke kepala Watulintang. Watulintang berbalik ke arah Senaweling dan mulai menyerang membabi buta.
"Kenapa kau masih hidup bangsat!"
Tanpa menjawab apa pun Senaweling tetap melawan meski dengan tangan kosong. Serangan demi serangan ditahan, tangan Senaweling mulai banyak terluka, dan dia mulai menggunakan apa pun yang dilihatnya sebagai senjata.
Mendengar kegaduhan tersebut Saudagar terbangun dan mulai memahami situasi, setelah melihat Senaweling dengan pundak berdarah melawan seseorang yang menggenggam keris buatannya, Saudagar dengan cepat bangun dan membantu, dia mengambil balok kayu di bawah tempat tidurnya dan memukul kepala Watulintang dari belakang. Pukulan tersebut membuat Watulintang tersungkur dengan kepala retak dan berlumuran darah.
"Senaweling, apa pun yang sedang terjadi, aku bangga padamu, aku merasa keberanianmu telah menyelamatkan keluargaku"
Watulintang seketika tewas, Saudagar mengambil keris yang berlumuran darah itu dari tangannya, dan berjanji akan membeli keris tersebut kepada Senaweling.
"Akan kubeli keris ini darimu dengan harga berapapun yang kau inginkan"
"Sekarang beristirahatlah, balut semua lukamu, akan kubangunkan Ratna untuk membantu"
Belum sempat menjawab sepatah kata pun, Senaweling sudah terjatuh tak sadarkan diri.
"Ratna! bangunlah bantu ayah di sini!"
Mendengar teriakan ayahnya, Ratnamithasika yang sudah dari tadi sudah terbangun segera berjalan menuju kamar ayahnya.
"Cepat selamatkan Senaweling, Ratna! dia masih hidup"
"Aku akan membersihkan kekacauan yang dibuat Watulintang"
4.
"Akhirnya kamu terbangun juga"
Suara Ratnamithasika menjadi yang pertama didengar oleh Senaweling pagi itu.
"Ada apa ini, di mana aku, kenapa badanku sakit begini"
"Kamu sekarang di rumahku, kamu menolong keluargaku tadi malam, apa kamu sudah ingat?"
"Ah iya, si bodoh itu, bagaimana keadaannya saat ini?"
"Kudengar dia sudah dikuburkan pagi ini, dia tewas tadi malam, Sena aku sangat berterima kasih"
"Jadi dia sudah mati ya, lalu kenapa kau menggenggam tanganku?"
Seketika Ratna menarik tangannya dan tersipu malu.
"Anu, itu bagaimana ya, anu emm" dengan gelisah Ratnamithasika segera pergi dari kamar itu.
"Hey tunggu, Ratna!" Senaweling hanya bisa kebingungan melihat tingkahnya saat itu. Dalam hatinya seolah berkata.
"Apa-apaan barusan itu"
Tak lama kemudian saudagar pun datang.
"Jadi kamu sudah terbangun"
"Sudah tuan, maaf aku jadi merepotkan tuan"
"Mulai sekarang kamu jangan memanggilku tuan, panggil saja dengan ayah"
"Baik tuan, eh maksudku ayah, tapi kenapa aku harus memanggilmu ayah, tuan?"
"Eh"
"Kamu ini ya"
"Tadi malam kamu sudah dengan berani menyelamatkan nyawaku, jadi dalam arti lain aku dapat melihat hari ini juga karena keberanianmu"
"Jadi aku ingin menikahkanmu dengan Ratna, lagipula Ratna sepertinya menyukaimu, apa kamu setuju dengan itu?"
"Apa! apa tuan serius? aku hanya seorang buruh loh"
"Ya, aku serius, tidak peduli kamu buruh atau pun pengangguran bagiku kamu adalah pahlawan, kamu mau kan?"
"Tentu saja aku mau tuan, aku sangat berterima kasih" dalam hati Sena juga pasti berkata.
"Beruntungnya aku, dinikahkan dengan anak saudagar, terlebih lagi dia cantik"
"Aku yang seharusnya berterima kasih, sekarang istirahat lah"
"Dan satu lagi, panggil aku dengan ayah, tidak enak nanti di dengar tetangga, seorang mantu memanggil mertuanya dengan tuan"
"Siap ayah!" dalam badan Senaweling yang sedang sakit terdapat hati yang berbunga-bunga.
5.
Satu minggu setelah kejadian itu Senaweling dan Ratnamithasika menikah, Saudagar Paradhikawijaya juga mengijinkan Ratna untuk mengikuti Senaweling pulang ke Jawa.
Satu bulan setelah pernikahan.
"Sena! jika anakku sedih aku bisa merasakannya dari sini, maka buatlah dia selalu bahagia, atau aku akan datang sendiri untuk merontokkan gigimu"
"Baik ayah, akan aku usahakan dengan jiwa ragaku" Jawab Sena dengan senyum canggungnya.
"Duh, ayah jangan bicara begitu, nanti kalau Sena tidak punya gigi, Ratna juga sedih" sambung Ratna.
"Ya, terserahlah, intinya kalian harus selalu bersama dan bahagia"
"Kalau kalian ingin berkunjung, datanglah, aku akan selalu di sini"
"Baik ayah, kapalnya sudah menunggu, kami berangkat dulu, selamat jalan ayah, sampai bertemu kembali" Ratna pun kemudahan memeluk ayahnya sebagai bentuk perpisahan.
6.
Setelah sampai di Jawa, ayah dan ibuku memutuskan untuk menetap di Kutaraja Tumapel atau ibu kota Singasari, di sana lah aku terlahir pada tahun 1290.
Ranusona, itulah namaku saat dilahirkan, seorang bocah biasa yang hidup bahagia dengan keluarganya, hingga pada umur 3 tahun harus berpisah dengan ayahnya dan hidup di antah berantah.
7 tahun, pada umur itulah kenangan terlama bisa ku ingat. Pada saat itu aku hanya berlatih gamelan, tanpa ayahku aku tidak bisa mempelajari cara menjadi pandai besi.
Aku tumbuh dengan ceria di padepokan seni dan memiliki banyak teman, memainkan gamelan sembari memandang anak-anak perempuan berlatih menari yang dibimbing oleh ibuku seakan aku ingin menikmati masa itu selamanya.
Tapi pada umur 12 tahun aku memutuskan untuk pergi berguru mempelajari ilmu hitam dan sihir. Tidak pergi ke tempat yang sama seperti teman-temanku, aku memilih untuk pergi berguru ke tempat yang lain. Lebih tepatnya di lereng Gunung Sindoro, di sana terdapat orang sakti yang akan aku ikuti.