Terhitung 92 hari sejak upayaku melupakanmu, aku tetap tidak mampu memberi ruang pada perih untuk singgah lebih lama. Gejolak untuk mencarimu selalu saja membara. Meski setengah mati aku patahkan upayaku, ku perbaiki diri dari apa saja yang selama ini tidak baik bagimu. Aku membuka usaha, untuk menjadi manusia yang mungkin saja sempurna dimatamu. Harapku hanya satu, kau berbalik dan jatuh cinta sekali lagi padaku.
Katakan bahwa kau menyesal dengan kesepakatan terakhir kita. Katakan bahwa keputusan itu seutuhnya bukan keinginanmu. Namun sekali lagi aku pikirkan, ini terlalu egois untuk aku pikirkan.
Salah satu bagian dalam otakku berpikir bahwa ini semua sudah menjadi yang terbaik untuk kita, lalu aku hanya perlu menerima. Tapi aku mohon, beri aku waktu yang lebih dari sebentar untuk bisa membuktikan bahwa aku mampu hidup tanpamu.
Kulit kusam yang biasa ku abaikan, perlahan ku rawat. Pakaian yang biasa tak pernah ku padu padankan, kini mulai ku cocokkan. Makanan yang biasanya bisa ku lahap habis, kini mulai aku perhatikan. Semua hal-hal sederhanapun akhirnya aku perbaiki demi memperlihatkan sisi terbaikku yang tanpamu. Meski kebenaran tetap menamparku, sebenarnya ini tidak benar. Seolah aku tidak menjadi diriku jika tanpamu.
Aku sadar, semua kalimat di bagian ini adalah penjabaran. Tentang bagaimana andilmu sangat berpengaruh dalam hidupku. Tapi, aku tidak mau menjadi manusia yang miskin akal. Tanpamu, aku memang harus menjadi luar biasa.