Empat puluh menit kemudian, Dewi sudah siap dengan penampilan teebaiknya. Reiner menjemput Dewi dengan menggunakan mobil yang ia pinjam dari temannya. Harapan Dewi jatuh berserakan saat melihat wajah Reiner yang kusut menahan kesal. Alih-alih memberikan pujian, Reiner malah mengeluarkan kalimat protes atas keterlambatan Dewi.
"Lelet banget, sih," tukas Reiner kesal. "Harusnya jam segini kita udah ada di tempat pesta."
"Belum terlambat kok, Yank. Masih ada waktu dua puluh menit lagi," jawab Dewi sambil memasang sabuk pengaman.
"Lo pikir dua puluh menit itu cukup?" sentak Reiner sambil menginjak pedal gas dengan kencang. "Lo pikir kendaraan lain bisa otomatis menyingkir tanpa harus menjebak kita dalam kemacetan."
Dewi mencengkeram erat pouch mungil di pangkuannya hingga buku-buku jarinya memutih.
"Maaf," lirih Dewi pelan.
"Lo berbakat banget bikin mood gue rusak," seru Reiner lagi.
Dewi memilih bungkam, ia menatap jalanan kota Jakarta yang padat merayap di malam hari. Kata-kata Reiner barusan tidak ia masukkan ke dalam hati agar tidak ada air mata yang turun. Dewi telah banyak memberikan toleransi atas sikap Reiner sejak mereka memutuskan untuk berpacaran.
Reiner memang romantis di waktu tertentu, namun di sisi lain ia akan berubah menjadi laki-laki temperamental yang tidak memiliki empati atas perasaan pasangannya. Hingga kini, Dewi masih menelan semua rasa sakit itu sendirian. Dewi bertahan atas nama cinta yang ia yakini akan berakhir bahagia.
Mereka tiba tepat waktu, tidak terlambat sama sekali. Bahkan, Abi sang pemilik pesta saja belum turun untuk menyapa para tamu undangan. Sikap khawatir Reiner tadi dirasa begitu berlebihan.
Dewi menatap kekasihnya yang kini menampilkan wajah ceria. Reiner memang begitu, ia laki-laki yang menyukai pesta dan keramaian. Bertolak belakang dengan Dewi yang lebih merasa hidup saat berada di dalam kesunyian miliknya.
"Dew, lo di sini aja ya. Gue mau nyemperin teman-teman dulu," ujar Reiner tanpa peduli wajah mengiba Dewi.
Dewi memilih berdiri di sudut ruangan dengan segelas cocktail di tangannya. Dari tempatnya berdiri, Dewi bisa melihat keseruan Reiner menikmati pesta bersama teman-temannya. Dewi bisa merasakan bahwa ia sedang berada di dunia yang berbeda dengan Reiner, dunia yang tidak bisa menyatu meski ia telah berusaha untuk meniadakan segala perbedaan.
Dewi memilih diam, merasa tersisih dan terasing di dalam kemewahan yang bukan miliknya. Sepanjang pesta berlangsung, Dewi hanya menyapa beberapa orang saja, itupun hanya sebatas basa-basi pertanda mereka saling mengenal. Sementara Wilona sudah menghilang bersama laki-laki yang tidak Dewi kenal. Kini ia benar-benar merasa sendirian.
Dengan langkah gontai dan lelah, Dewi menuju toilet yang melewati ruang-ruang kosong. Ia menarik diri sejenak dari dunia yang sama sekali tidak cocok dengannya.
Ia menatap pantulan dirinya yang terlihat menawan, namun menyedihkan. Riasannya sempurna, namun rasa sakit akibat perlakuan Reiner telah memghadirkan luka di wajahnya. Gaun yang cantik terasa sia-sia, karena Reiner tidak terkesan sama sekali.
Setelah memgambil waktu yang cukup lama untuk menenangkan diri di toilet, Dewi kembali melangkah keluar dengan perasaan gamang yang lebih hebat. Dia seakan tidak siap berhadapan dengan perasaan asing yang selalu mengikuti. Rasanya ingin segera pulang, namun itu bisa membuat Reiner terganggu.
Saat kembali melewati lorong-lorong panjang yang terasa kosong, sepasang pengan kekar mencegat dan menarik Dewi. Perempuan itu terpekik kecil saat tubuhnya di dorong masuk ke dalam sebuah ruangan yang asing.
"Tolong!" teriak Dewi putus asa.
"Hei, ini aku," seru pria berbadan tegap itu sambil menangkup kedua pipi Dewi.
Dewi mundur dan mengambil jarak yang cukup jauh setelah menepis tangan pria itu.
"Kamu siapa?" tanya Dewi waspada.
Kau melupakanku?"
"Eh?"
"Aku Ethan," pria itu kembali mendekati Dewi.
"Ethan?" tanya Dewi pelan. "Ah, iya ... aku ingat."
Ethan tersenyum, menampilkan sebuah lesung pipi samar yang membuatnya semakin menawan. "Senang bertemu lagi denganmu, Dewi."
Dewi mengangguk seraya tersenyum canggung. "Ya. Nice to meet you too."
"Mau melihat pemandangan bagus?" tawar Ethan kemudian. "Pesta Abi terasa monoton dan membosankan," keluhnya sendiri.
"Uhm, ada teman yang menungguku di sana," jawab Dewi memberi penolakan.
"Teman?" mata Ethan menatap Dewi dengam seksama. "Kau berdiri di pojok ruangan sambil menyesap cocktail sendirian. Jadi, mana teman yang kau maksud?"
Deg.
Dewi merasa malu setelah Ethan mengetahui kesendiriannya di sini. Lagipula, sejak kapan pria ini memperhatikan Dewi?
"Ayo," ajak Ethan sambil melangkah. "Taman di belakang cukup bagus untuk mengembalikan mood yang rusak."
Dengan langkah kecil, Dewi mengikuti Ethan dari belakang. Punggung pria itu terlihat lebar dan kokoh, tingginya menjulang hingga sanggup membuat Dewi merasa seperti kurcaci. Ethan memang pria yang mempesona, sejak dulu memang begitu. Tidak heran jika banyak siswa yang tergila-gila padanya.
"Apa kamu memang selalu begini?" tanya Ethan setelah mereka sampai di ruangan bagian belakang. Taman buatan dengan air mancur yang dihiasi cahaya lampu terlihat mempesona.
"Maksudnya bagaimana?" tanya Dewi kebingungan.
Ethan tidak melepaskan tatapan dari Dewi untuk beberapa saat. "Cantik, mempesona, dan mengagumkan."
Dewi menahan senyuman. Seharusnya Reiner yang mengucapkan kata-kata itu.
Dewi mengerutkan kening, merasa aneh dengan segala hal yang dimiliki Ethan. Pria itu mendekat dengan langkah lebar, mengurung Dewi dalam kedua lengannya yang kokoh. Membuat Dewi terperangkap tanpa bisa melepaskan diri.
"Ethan, lepasin!" seru Dewi sambil mendorong tubuh kekar pria itu. Namun, usaha Dewi sia-sia karena Ethan seperti sebuah tembok kokoh yang tak terusik apapun.
"Aku merindukanmu," bisik Ethan di telinga Dewi.
"K-kita tidak seakrab itu untuk bisa membuatmu merindukanku," ujar Dewi lagi.
Jemari Ethan yang ramping, kokoh, dan panjang terbenam di pinggang kecil milik Dewi. Aroma musk yang elegan dan mewah mendera penciuman Dewi yang berada begitu dekat dengan dada bidang Ethan.
"Mungkin kamu tidak merasa begitu, tapi percayalah... aku merindukanmu hingga bapasku terasa sesak."
Dewi terpaku mendengar penuturan pria itu. Ethan mengucapkan kalimat itu dengan segenap perasaan yang membuncah. Sesuatu yang baru menyelimuti Dewi secara tiba-tiba. Kehangatan, kerinduan, dan juga rasa cinta yang begitu asing.
Mereka saling menatap dengan perasaan yang terass sejalan. Seolah-olah Ethan dan Dewi adalah sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa.
Kemudian Ethan menunduk untuk mencapai bibir Dewi yang merekah menggoda. Sapuan itu terasa hangat, basah, dan begitu nikmat hingg membuat Dewi kehilangan pegangan. Bibir Ethan memenuhi mulutnya yang mungil, meminta seluruh perhatian hingga perutnya terasa begitu kaku.
"Ethan ... stop it," lirih Dewi sambil terengah-engah.
"Sorry," lirih Ethan dengan suara parau menahan gejolak hasrat.
Dewi melepaskan diri, lalu mundur beberapa langkah dengan sorot mata ketakutan. "Lancang sekali," makinya marah.
Dewi segera berbalik dan berlari menyusuri lorong-lorong sepi untuk kembali ke lantai pesta. Ia mengabaikan teriakan Ethan yang mengucap kalimat permohonan maaf.
Persetan dengan semua kata maaf itu. Nyatanya, Ethan telah menciumnya dengan begitu intim dan gairah tertahan. Dewi tidak munafik, ciuman Ethan barusan terasa begitu menggoda.
Namun, tetap saja itu adalah sebuah kesalahan.
Dewi adalah perempuan yang setia. Dan dia baru saja melakukan kesalahan dengan menerima ciuman Ethan.
Sebuah kesalahan yang kemudian menjadi awal dari babak hidupnya yang baru.