Mr. Prescott menjelaskan semuanya kepadaku setelah kepergian Mr. Braylee. Jadi Mr. Braylee adalah keponakannya. Dan saat Mr. Braylee berkata bahwa dia membutuhkan sekretaris tambahan Mr. Prescott merekomendasikanku.
Aku sebenarnya tidak suka di pindahkan menjadi sekretaris. Entahlah, Pria itu membuat tubuhku tidak beres. Jantungku bahkan berdetak lebih keras saat berhadapan dengannya tadi.
Sisa hari ini ku habiskan dengan melamun. Aku tidak tau apakah ini adalah pilihan yang tepat. Karena jika aku menolak aku akan di pecat. Sedangkan aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. Jadi aku dengan terpaksa menyetujuinya. Tapi tidak apa, toh gajinya tiga kali lipat gajiku saat ini. Bulan depan bahkan aku sudah bisa melunasi hutangku dengan gajiku yang baru tersebut.
----
Hari ini adalah hari yang baru. Aku tidak lagi bekerja di divisi marketing. Aku akan menuju lantai paling atas gedung ini. Semoga semua berjalan dengan lancar.
Aku keluar dari lift. Hanya ada meja sekretaris disini dan satu ruangan dengan pintu besar. Mr. Braylee dan sekretarisnya belum datang. Aku memilih untuk duduk di sofa yang ada di depan meja sekretaris.
Lift berdenting kembali. Seorang pria tampan keluar dari dalam lift. Yah walaupun tidak setampan Mr. Braylee tapi pria ini lebih tampan dari teman temanku di divisi markerting. Dia tersenyum saat melihatku.
"Jadi namamu Callista? Perkenalkan aku adalah Daxon Prescott. Sekretaris Mr. Braylee. Kau pasti sudah tau ayahku bukan?" Oh jadi dia anak Mr. Prescott. Aku tersenyum.
"Nama saya Callista Chloe. Ya.. Mr. Prescott adalah atasan terbaik bagi saya." Daxon terkekeh mendengarku memuji ayahnya.
"Well, Ayahku memang orang yang baik. Tapi Callista, jangan sampai Mr. Braylee mendengar kau memuji laki-laki lain. Atau dia akan memecatmu," Dia mengucapkannya sambil tertawa.
"Hmm... Mr. Prescot ---"
"Daxon. Kau cukup memanggilku Daxon."
"Daxon... apakah -- apakah Mr. Braylee seseram itu?"
Daxon tertawa mendengar pertanyaanku. Tapi sesaat kemudian dia memandangku dengan serius.
"Ya... Dia adalah orang yang kejam, jadi kau harus berhati-hati dengannya Callista."
Aku melebarkan mataku. Astaga, jantungku langsung berdetak dua kali lipat saat lift kembali berdenting.
Wajah tampan Mr. Braylee memandang kami dengan tajam. Tidak ada senyum di wajahnya. Aku memang sering beberapa kali mendengar dari teman-temanku bahwa Mr. Braylee tidak akan mentolerir sedikit saja kesalahan. Dia benar benar orang yang perfectly.
Mr. Braylee berjalan kearah kami tanpa melepaskan tatapanku kepadaku. Aku semakin menundukkan wajahku saat dia semakin dekat. Aku bahkan bisa mendengar detak jantungku.
"Apa jadwalku hari ini Daxon?" ucapnya dengan rendah. Masih dengan menatapku.
"Pagi ini Anda akan meeting dengan bagian perencanaan. Dan Jam 11 nanti Anda harus meeting dengan Mr. Akira untuk membahas project pembangunan Hotel di Indonesia. Setelah makan siang Anda akan meeting dengan bagian keuangan. Hanya itu Sir."
"Gantikan aku meeting dengan bagian perencanaan. Bilang kepada Mr. Akita untuk merescedule jadwal menjadi besok. Dan untuk bagian keuangan, tunda lusa."
"Tapi Sir ---" Mr. Braylee mengangkat tangannya. Daxon hanya menghela nafas kesal. Aku bahkan mendengarnya berdecak, tapi tidak lagi melanjutkan ucapannya.
"Daxon, meeting nanti malam kau tidak boleh terlambat. Awas saja kalau kau terlambat. Dan Callista, masuk kedalam ruanganku sekarang."
"Well... kurasa bukan aku yang akan terlambat Alpha. Prediksiku malah kau yang akan terlambat." ucapnya sambil terkekeh.
Kenapa Daxon memanggil Mr. Braylee Alpha? Aku berjalan mengikuti Mr. Braylee kedalam ruangannya, saat lagi lagi Mr. Braylee menatapku dengan tajam dan dengan gerakan kepalanya untuk menyuruhku masuk kedalam.
"Duduklah Callista."
Aku duduk di depannya. Saat ini Mr. Braylee sedang duduk di kursi kebesaraanya. Dia benar-benar terlihat berbahaya dan sexy.
"Apa wajahku begitu jelek sehingga kau tidak mau memandangku Callista?" Aku langsung menganggkat wajahku menatapnya dan menggeleng dengan kencang. Bukan karena wajahnya tidak tampan. Tapi karena aku takut.
Mr. Braylee tersenyum.
Tanpa aku sangka. Senyumannya lebih berbahaya dari pada tatapan tajamnya. Rasanya jantungku bisa berhenti berdetak jika harus berdetak dengan kencang seperti ini setiap hari.
"Lalu, kenapa Kau tidak mau menatapku Callista," Dia menarik satu alisnya keatas. Aku harus menjawab apa.
"BuBukan begitu Mr. Braylee. Aku hanya... aku hanya bingung."
"Dan kenapa kau bingung Callista. Pekerjaanmu disini adalah sebagai Sekertaris pribadiku. Kau akan mengurus semua kebutuhanku. Termasuk menjadi Lunaku." Aku menatapnya tidak mengerti. Luna? Apa maksudnya?
"Maksud Anda Sir?"
"Tidak perlu di pikirkan. Daxon akan mengajarimu apa yang harus kau kerjakan nanti. Tapi sebelum itu kau harus membantuku." Mr. Braylee berdiri dari kursinya dan berjalan kearahku. Dia menyandarkan tubuhnya di ujung meja. Hanya beberapan centi dari tubuhku.
Mr. Braylee mencodongkan tubuhnya ke arahku. Wajahnya kini benar benar berada di depan wajahku. Aku menahan nafasku.
"Mr. Braylee apa yang...apa yang anda lakukan?"
Aku semakin memundurkan punggungku.
"Aku sedang melakukan apa yang ingin aku lakukan selama ini."
Aku membelalakkan mataku saat bibirnya menyentuh bibirku. Aku benar-benar tekejut saat ini. Dia tidak melakukan apapun. Hanya menempelkan bibirnya ke bibirku.
Aku mencoba untuk mendorong tubuhnya. Tapi itu hanya sia-sia. Tubuhnya jauh lebih besar dari pada tubuhku.
Dorongan tanganku tidak berarti apapun.
Mr. Braylee menggerakkan bibirnya dengan pelan dan lembut. Astaga ini salah. Mr. Braylee adalah bosku. Tapi aku bahkan tidak bisa berbuat apapun.
Ciumannya semakin menggebu. Dia bahkan sudah menerobos bibirku bagian dalamku. Mencoba untuk melilitkan lidahnya ke lidahku. Aku semakin tergoda dengannya. Tanpa sadar aku mulai mengalungkan tanganku ke lehernya.
Membalas ciumannya. Dan ini adalah ciuman paling luar biasa yang pernah kulakukan.
Aku memang pernah berciuman dulu. Dengan pacarku. Tapi tidak pernah sampai membuatku bergairah seperti ini.
Mr. Braylee melepaskan bibirku saat kami sudah kehabisan nafas. Nafasku memburu. Aku sadar ini salah. Tubuh dan otakku terus berdebat hingga aku merasakan bibir kenyal Mr. Braylee di pangkal leher ku. Dia mengecupku lama disana. Membuatku semakin kepanasan. Aku menginginkannya.
Tangan Mr. Braylee juga tidak tinggal diam. Tangganya sudah melepas kancing kemejaku. Lalu meremas payudaraku yang masih berbalut bra. Aku memiringkan kepalaku kesamping agar dia dapat menjelajah leherku semakin dalam. Aku melenguh. Ini sangat nikmat. Tanganku yang tadinya berada di lehernya kini berpindah mengusap dadanya.
Bibir Mr. Braylee sudah turun ke bawah. Wajahnya tepat berada didepan payudaraku. Entah sejak kapan dia membuka bra ku. Nafasku memburu merasakan nafasnya yang menggelitik. Aku mendorong kepalanya kedepan semakin mendekat ke payudaraku. Lalu tanpa menunggu waktu Mr. Braylee melahap payudaraku dengan mulutnya.
Aku meledak hanya dengan permainan mulutnya di bagian atasku. Astaga aku sangat malu sekali.
Mr. Braylee kembali menjelajah leherku. Sampai kemudian aku merasakan kulit leherku seperti di koyak dengan gigi tajam.
"akhhh..."
Pandanganku mulai berkunang-kunang. Hal terakhir yang aku dengar adalah ucapan Mr. Braylee.
"Kau adalah Mate ku Callista. Mine." Lalu semua benar-benar gelap.