Lorraine melangkah memasuki ruangan dengan perapian yang menyala. Udara terasa lebih hangat bahkan dibandingkan kamarnya sendiri. Di sana Bhaltair duduk bersama Edheliel, istrinya, tetapi bukan ibu kandung Lorraine.
"Tahun lalu kau memilih tidak datang," ujar Bhaltair sambil menatap putrinya. Ekspresinya tidak bisa ditebak. "Apa alasan hari ini?"
"Ayah yang memintaku," jawab Lorraine, berdiri mematung seperti anak kucing yang bertemu harimau.
Ayahnya tidak pernah bertindak terlampau kasar, tidak pernah memukul apalagi mencambuk, kecuali menamparnya sekali pada saat skandal itu terjadi. Namun, dominasinya sebagai laird dan kepala klan sudah membuat Lorraine merasa takut.
Usianya sudah tidak muda lagi. Tubuhnya tinggi dan besar. Tartan merah tak pernah lepas dari pinggangnya. Itu adalah kain yang selalu dibangga-banggakan di sepanjang hidupnya.
"Sayang, lupakan saja. Kita seharusnya senang karena Lorraine mau pergi bersama," kata Edheliel sambil bangkit berdiri lalu berjalan mendekati Lorraine. Dia merapikan sedikit wignya.
"Kau tetap cantik, Lady Jillian," pujinya. Meskipun dia bukan ibu kandung Lorraine, tetapi kasih sayangnya tidak pernah kurang—terlepas dari batasan-batasan tertentu. Bhaltair tidak salah memilih istri pengganti.
"Aku takut orang akan berpikir aku adalah simpanan Ayah."
"Omong kosong!" Bhaltair langsung berdiri, mengibaskan kemejanya. Sementara Edheliel hanya terkekeh kecil.
"Milord, kereta sudah siap seperti yang diminta," lapor Bac, orang kepercayaan sang laird.
Bhaltair mengangguk, lalu melangkah keluar sambil menggandeng Edheliel. Lorraine mengikuti dari belakang bersama Tira, mereka akan berada di kereta yang sama.
Dua kereta sudah disiapkan di halaman kastel. Satu adalah kereta utama yang terlihat mewah dengan ukiran nama MacLaren yang elegan. Ada dua kuda yang menariknya. Sementara satunya lagi kereta yang lebih kecil dan sederhana.
Sebagai Lady Jillian yang hanya berstatus seorang asisten laird, Lorraine tidak bisa menikmati kemewahan seperti bagaimana putri laird yang semestinya. Dia tidak memprotes ketika harus mengenakan pakaian sederhana, tidak memprotes juga ketika hanya bisa menaiki kereta sempit.
Sekali lagi, itu adalah pilihannya.
Kereta yang dinaiki Lorraine mulai bergerak mengikuti kereta utama. Tidak terlalu cepat, tetapi juga tidak bisa disebut lambat. Beberapa pria tampak mengawal mereka dengan kuda-kuda yang beriringan.
Napas Lorraine sedikit tersengal. Kipas di tangannya kembali dicengkeram. Ini pertama kalinya dia menghadiri pesta besar sejak tujuh tahun yang lalu. Perasaannya sulit untuk dijelaskan. Sedikit antusias, tetapi juga takut.
Tira menggenggam tangannya dengan lembut. "Saya mungkin tidak akan turun nanti. Jaga diri baik-baik di sana. Jika ada seseorang yang mencoba bertindak buruk, larilah pada ayah Anda."
"Kastel MacKnight adalah tempat yang besar. Sebagai keluarga laird resmi, seharusnya mereka tidak berani membuat masalah," ujar Lorraine, entah untuk meyakinkan Tira atau dirinya sendiri
"Orang-orang MacKnight mungkin tidak akan bertindak buruk. Saya hanya khawatir akan ada tamu yang mengenali Anda, lalu mencoba mengungkap di depan orang lain," lirih Tira yang membuat Lorraine merasa tidak tenang.
"Jangan katakan lagi," bisik Lorraine sambil membuka sedikit tirai untuk melihat jalanan yang berkabut.
Perjalanan dari Bunchrew ke Wardlaw memakan waktu lebih dari satu jam. Jalanan di musim ini sangat tidak menyenangkan. Banyak jalan berlubang yang berisi genangan air, membuat kereta sering terguncang.
Untungnya mereka tiba tanpa melalui masalah. Lorraine memastikan penampilannya benar dan tanpa masalah, sebelum akhirnya turun dari kereta. Sang kusir yang biasa dipanggil Haye, membantunya sampai berpijak dengan benar.
"My Lady, berhati-hatilah," kata Haye dengan pelan.
"Jaga Tira di sini," balas Lorraine sebelum akhirnya melangkah mendekati ayah dan ibunya. Tugasnya adalah menemani mereka, terutama mengikuti ayahnya jika ada urusan bisnis.
Bhaltair melangkah bersama istrinya menuju pintu masuk. Namun, sebelum itu dia berbalik menatap Lorraine. "Kau tidak takut?"
"Jika saya takut, apa Anda akan membiarkan saya pergi?" tanya Lorraine dengan lebih sopan.
"Jangan melakukan sesuatu yang buruk. Jangan merusak reputasi keluarga MacLaren untuk yang ke dua kalinya."
Saraf di tubuh Lorraine sedikit menegang. Dia menunduk lalu mengangguk. Akhirnya mereka pun masuk setelah melakukan beberapa formalitas. Sudah ada banyak tamu yang datang, Bhaltair termasuk terlambat.
Lorraine melihat-lihat ke sekitar. Kastel MacKnight sungguh bangunan yang besar. Lebih besar dari kastel MacLaren sendiri. Dia merasa takjub melihat interiornya yang mewah. Tembok-temboknya diukir dengan teliti dan sangat bagus.
Ayah dan ibunya mulai saling bertegur sapa dengan tamu-tamu yang lain. Lorraine mengikuti dari belakang sambil sesekali melemparkan senyum asal. Beberapa pria mencuri pandang padanya, beberapa lagi secara terang-terangan menatapnya dengan tatapan senonoh.
Lorraine merasa sedikit aneh dan juga risih. Dia menyentuh wignya dengan hati-hati, lalu turun ke topeng yang hanya menutupi mata dan hidungnya. Di sana ada beberapa orang juga yang mengenakan topeng, itu seharusnya tidak aneh, tapi kenapa dia masih merasa mencolok? Apa ada yang salah dengan penampilannya?
Namun, pandangan mereka jelas bukan untuk penampilannya yang aneh. Itu lebih seperti tatapan serigala yang kelaparan. Sangat menjijikkan.
Lorraine pun segera menyentak kipas lipatnya hingga terbuka, lalu menggunakannya untuk menutupi bagian bawah wajah dan lehernya yang terbuka. Hanya dengan itu dia merasa lebih aman.
"Lady Jillian," panggil ayahnya tiba-tiba.
"Ay—My Lord ...." Hampir saja Lorraine memanggil ayah. Dia menelan ludahnya, lalu tersenyum canggung pada pria tua bertubuh tambun yang berdiri di depan ayahnya. Meskipun usianya sudah tua, tetapi wajahnya memiliki jejak-jejak ketampanan masa mudanya.
"Ini adalah Lord Clennan MacKnight, tuan rumah kita malam ini." Bhaltair mencoba memperkenalkan Lorraine pada pemilik kastel.
Lorraine tersenyum di balik kipasnya, lalu mengangguk sopan. "Sudah lama mendengar nama Laird of Wardlaw. Meskipun sudah pensiun, dunia sepertinya tidak salah menilai," ucap Lorraine dengan sopan, tetapi tidak terkesan menjilat.
Clennan MacKnight tertawa. "Lady Jillian, sepertinya bukan tanpa alasan Lord Bhaltair memilihmu untukku mengawasi asetnya."
"Memang sudah seharusnya." Lorraine tersenyum tipis, merasa sedikit waswas. Orang di depannya berbicara dengan makna ganda. Entah Clennan sedang memuji sikap dan penampilannya atau justru sedang menyindir karena mengetahui hal lain.
Pria tua itu terlihat sedikit aneh. Jari-jarinya selalu membelai cincin permata di tangan kirinya. Itu tidak tampak seperti sedang menghargai perhiasan, justru seperti sedang memperhitungkan sesuatu.
"Di mana Lord Gillivray? Aku belum melihatnya sejak masuk," kata Bhaltair untuk mencegah Clennan berbicara lebih dalam dengan putrinya.
"Oh, putraku sepertinya akan datang sebentar lagi. Mungkin masih mengurus hal lain."
Bhaltair mengangguk. "Kalau begitu aku tidak akan mengganggumu lagi. Pasti ada banyak tamu yang ingin bertemu denganmu."
Clennan terkekeh, lalu mengangguk. Pria tua itu menatap Lorraine penuh arti sebelum melangkah pergi. Apa yang sebenarnya orang tua itu pikirkan?
Menyadari pikiran Lorraine, Bhaltair pun berkata, "Keluarga MacKnight bukan keluarga sembarangan. Konon mereka memiliki sebuah kemampuan khusus. Aku khawatir orang itu sudah mengetahui identitasmu."
Kemampuan khusus? Lorraine tidak bisa berkata-kata. Mungkinkah mereka bisa meramal? Atau mungkin membaca pikiran? Itu sedikit menakutkan. Sepertinya dia tidak boleh berada terlalu dekat dengan keluarga ini.
"Aku mengerti."
Dia kembali melihat ke sekeliling sebelum tiba-tiba penglihatannya menangkap sosok wanita yang melangkah terburu-buru di tengah ramainya tamu-tamu. Wanita itu mungkin mengenakan topeng, tetapi rambut dan bentuk tubuhnya terasa akrab bagi Lorraine.
Wanita itu tampak melihat-lihat ke sekeliling dengan sorot mata waspada sembari terus melangkah menuju lorong. Sama seperti Lorraine, topeng yang dikenakan wanita itu hanya menutup setengah wajah. Bibir, dagu dan garis rahang yang lancip terlihat begitu jelas.
"Bhictoria Caden," desis Lorraine dengan dingin. Tujuh tahun berlalu dan kebencian itu masih ada di dasar hatinya.
Dia menoleh pada ayahnya yang sedang sibuk berbicara dengan tamu lain, Edheliel pun sibuk dengan pasangan tamu itu. Dengan cepat dia mengambil kesempatan ini untuk mengejar Bhictoria.