Chapter 2 - SATU

"Sabar, adalah pokok yang paling luar biasa dalam menahan segala hal"

*

Alam memang paling ahli dalam menciptakan Beberapa fenomena. Entah itu sebuah fenomena dari yang kecil sampai yang besar sekalipun. Kentara jelas di bagian atas atap langit itu kini mulai menghitam. Suara alam pun bersahut-sahutan untuk menggelegarkan halilintar yang terkadang tiada henti-hentinya untuk sekedar diam. pundi-pundi airpun serempak jatuh tanpa jeda.  Semuanya saling menghias alam dengan karyaNya melalui fenomena besar itu.

Cuaca sangat buruk!

Seluruh manusia ataupun seluruh makhluk hidup yang bernyawa juga serempak saling mencari sebuah perlindungan dari cuaca buruk ini. Buktinya para manusia yang semula berjalan biasa dengan cuaca yang awalnya normal ini-- saling melangkah cepat untuk mencari tempat perteduhan. Seperti halnya aku, yang tengah mengendarai sebuah kendaraan motor matic, dengan cepat-cepat dan buru-buru mencari sebuah tempat untuk berteduh.

Ya Allah, kenapa tiba-tiba cuaca seburuk ini?

Aku berhenti tepat di depan sebuah otlet kecil-kecilan di pinggir jalan. Kuputuskan untuk masuk sekalian memesan makanan karena memang perutku terasa lapar. Ini sudah jam 2 siang . Dan aku baru saja selesai mengajar di sebuah Sekolah Menengah Atas sebagai seorang guru yang memegang mata pelajaran Biologi.

Kudatangi sebuah meja pelanggan dan duduk di sana. Aku memesan makanan hangat sebagai penghangat dinginnya tubuhku. Baru beberapa menit, pesanan datang. Lantas aku menikmatinya hingga semuanya habis.

Sudah hampir satu jam aku berada di sebuah hotel kecil ini. Namun hujan nyatanya belum reda. Entah mau sampai kapan hujan ini akan berhenti sementara sejak awal, hujan selalu saja deras. Jika seperti ini bagaimana aku bisa pulang? Jas hujan saja aku tidak bawa. Inilah sesuatu hal yang paling aku benci dari diriku, menjadi seorang pelupa akan suatu hal yang penting. Hingga akhirnya kelupaanku menjadi suatu hal yang membuatku menyesal.

Melelahkan.

Mau sampai kapan aku menunggu hujan reda? Aku bosan. Aku suntuk. Ku keluarkan sebuah ponsel. Terdapat beberapa notifikasi masuk dari segala aplikasi yang kugunakan. WhatsApp salah satunya.

'Kak Najma nanti pulang ke rumah Ayah, ya?'

Pesan itu dari seorang gadis bernama Aisyah.

Kalian tahu siapa Aisyah itu ? Jika ingin kujelaskan, sepertinya aku harus menyimpan erangan yang membuat dada ini terguncang.

Aisyah adalah saudara tiriku. Dia anak kedua dari seorang istri kedua ayahku. Memang bukan anak ayahku. Hanya saja meski dia bukanlah anak kandung dari ayahku, tetapi ia sekarang sudah menjadi anak ayahku. Dia juga telah berhasil merebut kasih sayang ayahku. Dan mungkin dari dulu sampai sekarang aku tidak akan pernah bisa menyukai hubungan mereka. Sekalipun mereka selalu baik kepadaku.

Mengenaskan sekali-- bukan tentang cerita keluargaku yang segelap ini?

Aku mengabaikannya. Malas untuk membalas chat ini.

'Najma ada acara, nggak, setelah pulang ngajar?!'

Pesan itu dari seorang laki-laki bernama Yusuf. Atau lebih tepatnya aku sering memanggilnya dengan sebutan 'Kak Yusuf'. Entah kenapa setiap kali aku mendengar nama itu rasanya ingin menangis. Ini menyakitkan, dan ini membingungkan. Tanpa adanya suatu kesalahan darinya seolah aku selalu membencinya. Ah, betapa munafiknya diriku. Sebuah kesalahan fatal yang kubuat sendiri nyatanya aku malah sering menyalahkannya. Memang dengan laki-laki bernama Kak Yusuf itu, ini perkara hati. Aku tidak bisa berbohong atas diriku. Aku mencintainya. Namun aku tidak bisa memilikinya. Dan kesalahan terbesarku, aku salah karena telah mencintainya. Dan aku seolah menjadi seorang pendosa besar karena telah memendam rasa untuknya. Dia telah beristri. Maryam namanya. Sudah 15 bulan usia pernikahan mereka sebelum akhirnya hubungan mereka mematahkan hatiku.

Ya Allah, jika menyadari tentang semua ini, rasanya aku ingin menangis. Entah kenapa mataku terasa panas. Air mata tiba-tiba mengalir tanpa seizin dariku. Namun buru-buru ku suka sebelum akhirnya  memutuskan untuk membalasnya,

'Memangnya Kak Yusuf sudah di Semarang?'

Aku membalasnya. Pertanyaan ini menjadikan ku ingat bahwa selama ini Kak Yusuf dan istrinya tinggal di luar kota. Kak Yusuf tinggal di Lamongan untuk mengikuti permintaan istrinya yang asli dari Lamongan. Semenjak itu pula lah, membuatku harus kuat menahan rindu pada Kak Yusuf. Meski ini adalah perbuatan dosa karena telah merindukan lelaki milik orang lain. Dasar kau penjahat, Najma!

Apa?! Kalian menganggapku sebagai penjahat? Atas dasar apakah kalian mengatakan bahwa aku ini seorang penjahat? Memang aku akui, aku terlalu lancang karena mencintai seorang ikhwan yang sudah menjadi milik orang lain. Tetapi aku terlalu lemah untuk melawan perasaanku. Perasaan yang berlalu sendiri untuk mencintainya. Dan awal mula aku mulai mencintainya, semenjak aku masih kuliah dulu saat Kak Yusuf menjadi seniorku. Aku mulai menyimpan rasa jauh sebelum Kak Yusuf menikah. Jadi, masihkah kalian mengatakan bahwa aku ini penjahat? Bila memang demikian, itu artinya kalian yang menjadi penjahat. Sebab kalian telah menganggap seseorang yang bukan penjahat menjadi seorang penjahat.

Ah, abaikan!

Tidak ada balasan lagi darinya. Hanya ada centang satu yang mengindikasikan Kak Yusuf tidak sedang online. Pun, aku diam dan sepi lagi. Aku bingung harus melakukan apa dalam penantian ini pada hujan yang belum juga mereda. Ponselku saja kini telah tergeletak kembali di atas meja. Ku sesap coklat hangat yang masih tersisa setengah setelah aku memesannya lagi tadi, lalu aku kembali meraih ponsel untuk membuka sebuah game. Mungkin dengan bermain game, akan bisa mengurangi rasa kebosananku.

Busway Princess Run. Itulah game yang tengah kumainkan untuk meraih skor tertinggi meski berulang kali nyatanya sang Princess itu terjatuh. Lama-lama aku menjadi bosan. Aku bingung, sementara hujan nyatanya belum juga reda. Apa yang mesti kulakukan? Seorang gadis berusia 25 tahun ini sekarang benar-benar seperti menjadi seorang yang bingung dan butuh bimbingan dari orang tua? Ah, memalukan sekali.

Akhirnya aku menenggelamkan wajahku pada kedua tanganku yang melipat di atas meja. Aku mengantuk. Dan semoga saja setelah ini hujan akan reda saat terbangun. Tapi ada sesuatu yang mengusikku. Pundakku seperti ada yang menepuknya. Aku menoleh kearah seseorang yang--

Allahu Akbar...! Pria ini...! Wajah ini...! Senyuman ini...! Sungguh membuat jantungku ketar-ketir tidak karuan. Beriringan dengan derasnya hujan yang mengguyur alam, jantungku berdetak sangat cepat. Subhanallah, benarkah apa yang kulihat saat ini? Dia datang menemuiku? Akankah dia mengatakan bahwa ia mencintaiku dan ingin menghalalkanku?

"Kak Yusuf...?" Panggilku terbata-bata. Aku Gugup saat itu. Rasanya benar-benar bahagia, seakan sepasang sayapku mulai mengepak dan membawaku terbang. Namun detik selanjutnya, ketika mataku melihat ke arah sisi tubuhnya, ulu hatiku seperti dihantam begitu keras. Aku terjatuh setelah terbang dengan sayapku atas cintanya. Bagaimana tidak? Aku melihat sosok perempuan berkostum gamis biru tua dengan cadar yang melekat di wajahnya. Matanya tanpa ku perintah menatapku meskipun aku tahu mulutnya tertutup dengan kain itu. Dari caranya memandang, ia seperti tersenyum kepadaku.

Perkenalkanlah mereka adalah Kak Yusuf dan disisinya adalah Mbak Maryam, istrinya. Sangat cantik sekali. Aku pernah melihat wajahnya dulu saat acara pernikahan mereka.

Dengan berat, aku mengangkat bibirku ke atas. Lantas tersenyum pada mereka, "Mbak Maryam juga..." Ah, abal sekali mulutku ini. Terlalu bingung. Lebih tepatnya takut karena perasaan ini.

"Kamu sama siapa di sini?" kini, Kak Yusuf meraih punggung kursi untuk ditarik. Ia duduk. Berikutnya ia juga menarik kursi lagi untuk mempersilahkan istrinya duduk di sisinya. "Duduk, Sayang..." ujarnya lembut seraya menuntun istrinya.

Bagus! Adegan yang sangat romantis, bukan? Bahkan mereka melakukannya tepat di hadapanku

Tidak tahukah perlakuan kalian itu membuat hatiku berkeping-keping?!

"Sendiri. Kak Yusuf sama Mbak Maryam apa kabar?" aku bangkit, bersalaman dengan Mbak Maryam. Lalu kami saling memeluk dan cipika-cipiki.

Mbak Maryam tiba-tiba mendesah. Ia memberiku jarak saat aku hampir memeluknya. Aku bingung dan mengernyit.

"Kenapa, Mbak?" aku memastikan. Khawatir dan takut menyakitinya.

"Ada calon anak kami, Najma. Jadi jangan keras-keras kalau mau memeluknya." ujar Kak Yusuf mewakili jawaban Mbak Maryam.

Aku terkejut Bukan main. Mataku membulat, mulutku ternganga. Sebuah kejutan besar seakan menyengat hatiku. Ini kabar apik. Tapi entah kenapa ulu hatiku mengerang.

"Mbak Maryam hamil?"Tanyaku memastikan Seakan aku tidak mempercayai kenyataan ini. Sementara Mbak Maryam, ia tersenyum dari pancaran matanya.

"Alhamdulillah, sudah 5 bulan usianya." jawab Mbak Maryam. Disusul dengan anggukan oleh Kak Yusuf saat menatapku.

Rasanya seperti ada sesuatu yang membuatku sulit untuk berkata. Aku menelan ludah berat, lantas menghela nafas untuk menguatkan perasaan ini.

La haula wala quwwata illa Billah... Tidak ada daya kekuatan yang bisa diraih oleh seorang kecuali dengan kehendak Allah. Ya, semoga Allah menguatkan perasaanku.

"Wah, alhamdulillahirobbilalamin.. sebentar lagi aku bakalan punya keponakan baru, dong..?" aku duduk kembali. Sambil tersenyum miris.

"Insya Allah," Mbak Maryam duduk kembali di sisi Kak Yusuf . Berdampingan seperti layaknya pengantin baru. Sementara aku menjadi saksi di hadapan mereka. Astagfirullah... aku harus kuat!

Untuk waktu selanjutnya, mereka berdua memesan makanan hingga  saat pesanan itu tiba, mereka menikmatinya-- meski dengan selingan perbincangan di antara kami.

Sebenarnya aku sangat enggan berada diantara kemesraan mereka. Namun tentu aku harus menghargai kedatangan mereka. Ini sangat menyakitkan. Lagipula ini juga salahku. Kenapa sejak dulu aku tidak bisa move on dari laki-laki jangkung di hadapanku ini? Bukankah sejak dulu dia selalu menganggapku sebagai seorang sahabat?

Ya, aku ingat betul saat ia pertama kali mendekatiku karena ia ingin bersahabat denganku. Begitupun denganku, yang selalu mengatakan bahwa dia adalah sahabatku-- nyatanya itu hanya sebagai perangaiku. Perangai yang sangat menakjubkan hingga bisa membuat kata-kata kemunafikan atas diriku. Mengenaskan!

"Memangnya Kak Yusuf sama Mbak Maryam ke Semarang kapan? Kok tiba-tiba saja datang menemuiku tanpa kabar?" Tanyaku di tengah-tengah kenikmatan mereka berdua. Sesekali menyesap coklat yang sudah dingin, bahkan nyaris habis.

"3 hari yang lalu." Kak Yusuf yang menjawab.

"Oh, balik ke Lamongan lagi kapan?"

"Niat kami ingin pindah ke sini,Naj. Aku dipindahtugaskan di Universitas Semarang."

Aku melongo mendengar jawaban Kak Yusuf. Mereka pindah ke Semarang? Ya Allah, itu artinya aku akan semakin kerap melihat keberadaan mereka? Matilah saja kau, Najma...!

"Ngajar di Semarang?" aku memastikan lagi. Dan Kak Yusuf mengangguk.

Oh Allah, bila memang Kau menghadirkan kembali lelaki ini hanya sekedar ingin menyakitiku, aku sangat memohon... Kirimkan lah seorang malaikat yang bisa menutupi luka ini...

***

Langkahku melenggang sempurna keluar dari tempat ini. Sebuah tempat yang menjadi saksi bisu antara kepingan hatiku dan hancurnya perasaanku. Hujan telah reda setelah sekian lama aku terjebak dalam situasi yang sangat mengenaskan itu-- kini akhirnya aku bisa terbebas dari sini.

Ya, aku memutuskan untuk pamit pulang lebih dahulu dan meninggalkan mereka didalam. Kudekati motor matic-ku yang telah ku parkirkan di halaman outlet ini. Kemudian meraih helm dan siap mengendarai. Anehnya ada sesuatu yang membuatku merasa janggal. Motor ini seperti tidak normal saat aku menarik gas. Ada masalah di bagian bawah.

Ah, Kenapa bannya bocor?!

Aku bingung harus membawa motor ini kemana. Ke bengkel? Lalu menunggu lagi untuk memulihkan bannya normal-- sementara di satu sisi nenekku sudah berulangkali menelponku agar aku cepat-cepat pulang ke rumah? Ya Allah Apa yang bisa kulakukan?

"Kenapa Naj?"

Aku terlonjak ketika mendengar suara ngebas itu tiba-tiba muncul di belakangku. Kak Yusuf. Ia tengah menatapku khawatir. Sementara tangan kirinya digamit oleh Mbak Maryam. Oh, kurasa aku butuh stock oksigen untuk menormalkan nafasku yang memburu ini.

"Eh, ini... bannya bocor."

Kak Yusuf lantas melihat ban motorku. Lalu menatapku, "Ya sudah. Biar aku bawa ke bengkel. Kalian tunggu di sini sebentar. Nanti biar...

"Tapi aku harus cepat-cepat pulang, Kak." potongku cepat. Aku ingat dengan pesan nenekku.

"Cuma sebentar. Di dekat sini ada bengkel. Setelah itu kamu ikut aku saja. Untuk urusan motormu biar nanti aku yang ngurus."

"Eh, tapi..."

Belum aku selesai berbicara, Kak Yusuf sudah membawa motorku ke bengkel. Membuatku mau tidak mau harus menurut padanya.

Jrak beberapa menit, Kak Yusuf  datang. Lalu mengajak kami untuk masuk ke dalam Mobilnya. Dia di jok kemudi, istrinya di sisi Kak Yusuf, sementara aku di jok belakang. Sendiri.

Bagus! Aku terjebak lagi dalam ruang yang mungkin akan menertawakan atas penderitaan ini. Benar-benar cuaca yang buruk. Situasi yang buruk. Dan bahkan kondisi hati yang lebih buruk.

Oh Allah, kuatkan hati ini...!!!

"Kamu masih ngajar di sekolahan Ayah,Naj?" Kak Yusuf bertanya ketika kami sudah melakukan perjalanan ini.

Ia memang laki-laki yang cerewet. Sejak aku mengenalnya, dia memang sudah menampakan bahwa dirinya mudah untuk diakrabi. Selain itu di sisi banyak bicaranya Ia memang seorang laki-laki yang aktif dalam segala forum yang ia ikuti di kampus kami dulu. Suaranya bagus, rajin salat, seorang agamis dan bahkan sempat menjadi BEM dalam organisasi di kampus. dari itulah yang membuatku merasa tertarik padanya. Entah bagaimana ceritanya sampai aku bisa mengenalnya dan bisa menjalin hubungan yang dekat ini padanya.

"Masih." Singkatku. Entah kenapa untuk sekarang aku begitu enggan untuk berbicara dengan manusia itu.

"Alhamdulillah. Kalau untuk calon imam, sudah punya?"

Hah?!

Aku melongo. Bagai orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Apa maksud pertanyaannya? Apakah ia ingin mengejekku? Seketika, aku tergagap Namun sebisa mungkin aku bersikap normal.

"Belum kepikiran sejauh itu. " tegas ku mantap. Aku tidak menghadap ke depan atau ke arahnya sekalipun. Lebih baik menatap ke arah luar melalui jendela di sisiku meski sesungguhnya hatiku terus-menerus merutuki dirinya. Kenapa ia menanyakan hal itu sementara selama ini aku belum bisa membuka hati untuk lelaki manapun kecuali dia yang ada di depanku sekarang?!

"Hahaha," Kak Yusuf tertawa. Apakah dia menertawakanku? "Hey, Yang benar saja, Najma? Umurmu memang sudah berapa sekarang?"

Aku mengernyit. Bukan berarti bodoh akan pertanyaan itu. Hanya saja begitu heran akan pertanyaannya. "Kamu sudah lupa dengan usia sahabat sendiri?"

"Bukan. Aku selalu ingat kalau sesuatu hal yang berhubungan denganmu. Umurmu sekarang 25 , kan, selisih 2 tahun denganku? Aku 27 tahun."

"Aku tidak menanyakan umurmu."Jawabku sadis tanpa senyum. Atau bahkan melirikny sekalipun. Aku masih sibuk melihat pemandangan luar yang jauh lebih menarik ketimbang melihat sepasang suami istri di depan sana. Entah kenapa mata ini terasa panas. Aku ingin menangis.

"Hahaha... Ya Allah, Najma, Najma, dari dulu kau tidak berubah," Anehnya dia malah tertawa disambut dengan tawa Mbak Maryam. Kompak sekali mereka menertawakanku?

Ya Allah, kuatkan hamba..!

"Memangnya aku harus berubah menjadi apa ? Spider-man atau Power Rangers?" jawabku setelah menyeka air mata. Mereka tidak tahu kalau di sini aku menangis dalam kebahagiaan mereka.

gelak tawa kembali beriuh di mobil ini. Astagfirullah, terlalu bahagia kah mereka di atas penderitaan ini?

"Sepertinya hubungan kalian begitu hangat."ujar Mbak Maryam setelah ia berhenti tertawa. "Siapa yang memulai hubungan ini?" imbuhnya.

"Kak Yusuf,"

"Najma,"

Dua nama itu terlontar secara berbarengan. Terdengar sangat kompak hingga detik selanjutnya ruang yang kedap suara ini lengang. Setiap pasang mata saling melempar tatapan. Mbak Maryam menatap aku dan kak Yusuf secara bergantian. Sementara kulihat, Kak Yusuf menatapku dari arah spion depan. Semua seperti berhenti dalam rotasi jam yang berputar.

"Kak Yusuf, Mbak. Mana mungkin aku mau dengan manusia songong seperti Kak Yusuf?" lanjutku tiba-tiba. Aku berusaha memecahkan situasi yang tegang ini.

"Hay, tapi nyatanya kau mau dengan manusia songong sepertiku? Ck! Hanya orang-orang yang kurang akal jika mau berhubungan dengan manusia songong." desisnya sesekali terkekeh.

Aku mendelik. "Maksudmu aku kelainan jiwa?!" suaraku meninggi beberap oktaf. Tidak terima akan ledekannya. Laki-laki itu malah bersiul. Dasar...!

Hening.

Tidak ada suara selama 15 detik mendatang.

"Nikah ya, Naj..." Pak Yusuf kembali bersuara, Apakah dia mau mengajakku bertempur di hadapan istrinya? Aku hanya diam. Sungkan untuk meladeninya meski sebenarnya aku begitu merindukannya. Sudah 7 bulan lebih kami tidak bertemu. "Nikah itu sunnah Rasul loh..." imbuhnya.

"Aku sudah tahu." Selaku begitu saja.

"Lah terus kenapa kamu belum minat untuk menikah?"

"Memangnya harus sekarang, ya, menikahnya? Kalau Allah menghendaki aku untuk nikah ya semua pasti belum terjadi. Nggak bisa dipaksakan!" Baru kali ini aku bicara panjang lebar. Pun, nadanya terkesan memprotes.

"Bener tuh apa kata Najma. Itu sudah Qodratullah." Mbak Maryam membelaku. Aku sedikit bangga karena ada pemihak di sini.

"Jodoh memang di tangan Allah. Tapi kalau manusia nggak mau berusaha ya jodohnya masih tetap berada ditangan Allah. Mestinya harus ada usaha untuk meraih jodoh yang ada di tangan Allah itu." Fix! Seorang Yusuf memang selalu pandai untuk berargumen. Inilah salah satu alasan aku tertarik padanya. Ini baru satu kelebihan yang kalian ketahui di antara banyaknya kelebihan yang Kak Yusuf miliki.

"Tapi pasti Najma sudah punya calonnya, kan?" Tanya Mbak Maryam kali ini. Ia menoleh ke arah belakang hanya sekedar ingin melihatku.

Aku hanya menelan ludah berat. Pertanyaan itu kembali menusuk jantungku.

"Ada. Fikri. Guru PAI di SMAN 3 Semarang, tempat Najma mengajar," celetuk Kak Yusuf tiba-tiba. Ia kembali terkekeh.

Aku lantas terlonjak. "Sembarangan saja kalau bilang! Pak Fikri bukan calonku."

"Dia kan sangat mencintaimu, Najma. Kamu juga cinta kan sama Fikri? Kalian sangat cocok."

"Siapa yang bilang kalau aku cinta sama Pak Fikri? Lagian aku juga nggak mau nikah sama orang yang tidak aku cintai!" Desisku membela lagi.

"Oh ya? Ngomong-ngomong kalau kamu nggak mau menikah dengan orang yang bukan kamu cintai, lalu kamu pasti sudah punya perasaan ke orang lain kan? Siapa?" Pertanyaan Kak Yusuf terdengar sangat retoris. Namun bukan banyaknya pertanyaan yang membuatku bingung harus menjawab apa. Akan tetapi tentang pertanyaan terakhir.

Siapa?

Pada siapa aku menaruh perasaan ini?

Sungguh, hatiku terasa mencelos. Ini benar-benar hal paling sulit yang kuterima untuk dijawab. Seketika itu  aku kelabakan. Bahkan batang tenggorokanku pun terasa  kerontangan. Sebongkah kerikil seolah menyumbatnya. Keringat panas dingin sudah mulai bermunculan di bawah AC yang cukup tinggi dan cuaca yang buruk ini. Ini benar-benar situasi yang sulit.

Allahuakbar...! Apa yang mesti ku jawab ? Sementara selama ini perasaanku hanya untuk seorang laki-laki yang kini duduk semobil denganku. Haruskah aku menjawab bahwa aku mencintaimu, Kak Yusuf?!

"Najma, kamu dengar, kan?" ulang Kak Yusuf sesekali menatapku sekilas dari spion depan. Mbak Maryam juga menoleh ke arahku.

"Aku... apanya?" aku meremas ujung hijabku kuat-kuat.

"Orang yang kamu cintai saat ini?"

Allah, Apa yang mesti kujawab?!

______________________________________

Salam, readers. berjumpa lagi dengan author Hydha_87 dengan cerita yang baru. hehe. silahkan shodaqohkan amal kalian buat vote dan comment.nya. insya Allah akan menjadi amal kalian. 😉😇😇