#SketsaBidadari
Berserak kata yang hendak diungkap tentang sosok seorang Ibu. Kalimat bisa banjir mendeskripsikan perempuan yang meregang sakaratul saat melahirkan.
Ibu bagai penghilang penat saat raga mulai melemah. Kata-katanya bak oase di tengah gurun saat kemarau panjang.
Ibu adalah bidadari titisan Tuhan.
Ibu...
Tak butuh air mata mengenangmu, Karena kutahu surga yang pantas untukmu.
Ingin rasanya meminta satu saja, pinjami aku hatimu! Yang tak pernah kutemukan terluka, apalagi cemburu.
Sembilan janin yang bersarang di rahimmu. Bukti otentik betapa harmonis sebuah keluarga. Enam manusia yang menjadi dewasa berlatar belakang pendidikan hingga jenjang strata. Tak ada yang tahu kau mengkayuh dengan dua tanganmu--Sendirian.
Saat enam anakmu yang masih polos disuguhi pertanyaan, "ayahnya kerja dimana?"
Dengan hati yang sempurna kau akan menjawab "ayah mereka bekerja diluar kota".
Mencari nafkah untuk keluarga, walau sejatinya nafkah untuk keluarga yang lain rupa.
Hingga tujuh belas tahun berlalu. Aku tak lagi bisa kau tipu, dengan kalimat "ayah pergi bekerja" aku terhenyak ternyata bidadari itu ada di rumahku.
Tak pernah kutemukan benci di netra itu.
Apalagi menceritakan perihal seorang lelaki sejati pendamping hidupmu.
Jika kutanya di mana dia, kau akan menjawab dengan sebuah perintah tak terbantahkan.
"Lebaran nanti ayahmu akan datang. Jangan lupa menyalami dan mencium tangannya, suguhi kopi dan makanan kesukaannya,"
Begitulah.
Hingga dewasa tersemat pada anakmu.
Kau tak lagi bisa menyembunyikan. Perintahmu kadangpun tak kuhiraukan.
Justru hatimu yang selembut sutra menyatukan tali sedarah yang seharusnya membuat hatimu tersayat dan berdarah.
"Pergilah, di sana ada saudaramu! Mereka tak salah, tak ada satupun yang salah, Allah menakdirkan kalian menjadi saudara,"
Begitu, kau memberi perintah. Menyuruh untuk merentangkan tangan, berpelukan pada orang-orang yang menabur garam di atas luka sayatan. Yang kau rasakan berhari, berbulan, bahkan bertahun-tahun, yang dicintai tak kembali datang.
Jika wanita lain memoles diri bersiasat merebut gelar, 'aku ibu yang baik'
Memoles lisan agar terlihat bijaksana,
Menambal sulam menarik perhatian. Kau, justru sibuk membesarkan anak-anakmu.
"Kelak jadi orang, jangan lupa hormati ayahmu!"
Begitu pesanmu setiap hari tiada henti.
Aku mendengar tentangmu, bukan dari lisanmu seperti kebanyakan perempuan lainnya, yang sibuk memoles kata demi bercitra baik di depan sang suami. Acap kali dilakukan para wanita yang cintanya telah terampas, tapi, kau berbeda. Tak sibuk mencitra diri, karena penilaian yang kau butuhkan adalah nilai dari Tuhan. Bukan dari manusia meski bergelar 'suami'.
Tentangmu terberita dari lisan saudara seorang yang kupanggil dengan sebutan--Ayah.
Betapa kau perempuan kuat dan tak pernah menyatakan keluhan pada siapapun termasuk mertua, teman, anak apalagi nenek--Ibumu.
Bertambah syok hati ini, saat kumendengar puja-pujian keharmonisan keluarga kita dari saudara-saudaramu. "Mereka memuji kita, Ibu!" Lucu bukan? atau mata mereka telah buta.
Tak pernah terlihat ucapan keluhan datang dari bibirmu. Walau aku tahu. Kau bahkan pernah memakan rebusan ubi berhari-hari, di lain tempat, ada yang makan dengan nikmat.
Di lain waktu, ada anakmu diusir dari sekolah hanya karena terlambat bayar buku dan seragam. Berkali-kali bermohon, meruntuhkan harga diri demi anakmu tetap dapat bersekolah--Kau lakukan itu, Ibu...
Memasak nasi kemudian menyulap menjadi nasi goreng tanpa minyak, terkadang berminggu kita makan dengan menu yang sama--tak ada yang tahu. Terbuat dari apakah hatimu, Ibu?
Kau memuji sosok yang kupanggil--Ayah. Di depan saudaramu, bahkan kedua orangtuamu. Hingga umur yang semakin tua, baru mereka sadari kau mengkayuh sendiri. Itupun mereka sadari bukan dari lisanmu. Apalagi tulisanmu.
Jika kau berani memuji "nya" di depan keluarga apalagi hanya di depan tetangga. Bagimu tak ada bangke yang perlu disembunyikan. Karena menurutmu itu bukan bangke. Melainkan parfum yang harus disemprotkan agar harumnya menyebar.
Suatu hari aku pernah bertanya "tidakkah kau marah?" dengan senyumanmu yang khas. Kau menjawab. "Kita tidak tau siapa yang sedang mendulang dosa, siapa yang sedang mendulang pahala. Jika aku marah, maka betapa beruntungnya--Dia, karena, telah mendulang pahala dari marahku."
"Mengapa tak kau ceritakan pada keluargamu yang sebenarnya terjadi ibu?"
Kau justru menjawab santai, "Surgamu ada di telapak kakiku, dan surgaku ada di telapak kaki ayahmu. Tuhan tidak pernah mengatakan, jika surgamu bau bangke maka berpindah ke telapak kaki yang lain."
Kau-pun menambahkan.
"Kita tidak tahu jalan mana yang diberi tuhan menuju surga, apa ibadah kita diterima? Atau perbuatan kita yang lainnya. Aku harap, jalan yang kutempuh adalah jalan menuju surga"
Di usiamu yang mulai senja. Hanya dua permintaan yang kau pinta.
"Jangan lupa doakan ayahmu, dan sayangi saudaramu, kelak hidupmu bertabur berkah."
Enam manusia yang terlahir dari rahimmu, tertatih tapi pasti. Semua mengecap pendidikan hingga mendulang prestasi tak tertandingi.
Benar sudah kata pepatah. Jika ibunya baik maka anaknya pasti baik. Ayahnya baik belum tentu anak menjadi baik.
Nabi Nuh Alaihissalam adalah contoh ayah yang baik. Tapi anaknya tak jadi baik karena memilih ibu yang tidak baik.
Anak Fir'aun, Ayah jahat, bejat, kejam tapi anaknya menjadi penakluk Mesir yang beriman. Karena memiliki ibu yang mengenal Tuhan. Begitulah...
Benar--Wanita adalah tiang negara. Jika baik wanitanya maka baiklah sebuah negara.
Ah ibu....
Betapa banyak hal yang tak kau lisankan tapi jadi pelajaran. Semoga kelak di surga, kita di pertemukan. Karena kuyakin. Para penunggu taman surga sedang berbincang denganmu. Menunggu anak-anak yang kau ajarkan cara menuju surga itu.
Sketsa Bidadari itu adalah dirimu.
Terimakasih telah memberikan kami cinta yang luar biasa, kebahagiaan yang tak terkira.
*
Sekilas tentang sosok Bidadari. Masih banyak lagi kejadian yang mungkin akan memberi gelar padanya lebih dari seorang Bidadari. Pertanyaan yang selalu sama dari tahun ke tahun dengan jawaban yang selalu sama "surga itu dibawah telapak kaki ibu," dan aku akan bertanya lagi, lalu surga ibu ada di mana? Ibu tersenyum dan menjawab, "surga ibu ada di telapak kaki ayah."
Kalimat itu sama sekali tidak ku mengerti, sambil mengelus kepalaku, ibu akan mengatakan, "Sabar Rania, suatu hari kamu akan mengerti makna dari kata-kata itu?"
*
Tertawa cekikikan, melompat di antara lumpur jalanan akibat ulah hujan, memanjat buah sikalek hingga puncak tertinggi, kemudian berlomba mendapatkan yang paling besar dan merah. Ungkapan kegembiraan yang tak terkira bagi kami setelah tim Volli menang mutlak di babak semi final pekan kreatifitas di Sekolah Dasar se-kabupaten.
Kebahagiaan bertambah sempurna saat membaca pengumuman hasil seleksi di babak penyisihan, namaku masuk pada nominasi yang akan berlomba pada olimpiade bidang Ilmu Pengetahuan Sosial.
Aku masih duduk di kelas empat sekolah dasar. Peserta yang lolos seleksi semua kelas lima dan enam, hanya aku satu-satunya yang masih duduk di kelas empat. Bu Sinaga memberiku kisi-kisi soal yang sudah ada jawabannya, lebih kurang ribuan contoh soal.
Sambil menenteng buah sikalek aku tersenyum sepanjang jalan, ibuku pasti bahagia mendengar kabar ini. Dan ia akan menceritakan keberhasilanku pada para tetangga. Apalagi kalau sampai menang, hadiahnya uang tunai, piala, bingkisan dan makanan. Wah... bahagianya Ibu.
Ditambah oleh-oleh buah sikalek, buah hitam kemerahan persis anggur yang sangat sulit ditemukan dan pohonnya tinggi menjulang akan menambah senyum ibu dan kak Rei melihatku membawa buah keramat yang sulit didapat. Anggur bagi kami buah orang kaya, karena harganya yang lumayan mahal. Rasa dan bentuknya mirip buah sikalek. Jadi buah itu menjadi pengganti anggur si buah orang berduit.
Dan kak Rei juga akan menceritakan pada kawannya, sambil makan buah sikalek, bahwa aku. Adiknya meraih prestasi yang super bergengsi. Olimpiade Ilmu Pengetahuan Sosial. Dengan hadiah bisa membeli sepetak tanah.
Sampai di rumah, selepas membaca salam tanpa jawaban, aku tak sabar menelusuri rumah besar peninggalan ayah yang hanya pulang sekali sebulan. Entah mengapa aku tak peduli dengannya. Jika di rumah ayah hanya marah-marah. Bukankah lebih baik dia pergi?
Kamar mandi, ruang tamu, dapur, jemuran belakang tak ku temukan ibu. Sayup terdengar suara tetangga sebelah.
"Ini pita Rania. Dua hari yang lalu saya yang belikan di pasar."
"Bukan, ini pita Meysa ada tandanya ni liat...lagian suami gak pulang-pulang, si Raina juga ke sekolah gak pernah jajan, beli pita darimana?"
Aku menghampiri ibu yang sedang berdebat dengan Tante Cindy, tetangga sok kaya. Pita rambutku memang hilang kemarin, baru saja dibelikan ibu. Tapi aku tidak suka dengan Tante Cindy. Siapapun pemilik pita rambut itu. Ia tak pantas menghina ibuku.
"Bu...Sudah, gak papa Rania gak pakai pita rambut." Aku menyela dan menarik tangan ibu untuk masuk ke dalam rumah.
Mata ibu melotot melihat baju seragamku yang penuh bercak lumpur.
"Ibu baru selesai nyuci Rania, harusnya kamu mikir! air di rumah sulit, kenapa sampai sekotor ini?" Wajah merah menahan marah. Ah tapi ibu jarang marah. Seperti apapun ulahku. Paling mengomel sedikit.
Kemarin aku pulang dengan baju seragam bau amis ikan, ikut Deni mancing di parit besar belakang sekolah, Deni anak pertama Tante Cindy. Tapi dia juga tak suka dengan ibunya. Baju bau amis ikan, berlumpur, sepatu dan kaos kaki yang sudah tak berbentuk sudah terbiasa oleh-oleh buat ibu sepulang aku sekolah.
Tak pernah ku temukan marah berlama-lama menempel di wajahnya. Hingga aku tak pernah takut apapun di atas dunia ini. Aku hanya takut gurat marah di wajah itu berlama-lama bersemayam seperti Tante Cindy kalo sedang bertengkar.
"Rania makan?" Ibu menyendok nasi untukku.
Rutinitas meskipun dalam keadaan dongkol.
Kak Rei duduk di sampingku, tanpa suara. Biasanya dia paling cerewet menanyai darimana asal buah yang bergantian jenisnya, slalu kubawa sepulang sekolah. Tapi ini, ia hanya diam. Bang Handi? Kemana dia? seperti biasa, pasti pergi memancing.
Aku mengambil alih piring yang sudah berisi nasi dengan lauk tempe bacem plus ikan teri main bola. Saatnya menyampaikan kabar gembira. Kali ini, ibu bisa pamer kepada Tante Cindy bahwa aku, anaknya bisa menyisihkan murid lain untuk lolos seleksi olimpiade.
Belum sempat mulutku terbuka untuk memberitahu kabar gembira, seseorang menggedor pintu.
"Bu Rima?" Tanya sosok berbadan tegap setelah pintu terkuak dan ibu menyambut.
"Ya..." Sahut ibu.
"Apakah ibu istri dari pak Rimon?"
"Ya...."
"Suami anda sudah menunggak hutang pada kami, kalau tidak bayar, rumah ini akan kami sita." Tanpa basa basi laki-laki hitam kelat persis manusia Nigeria mengancam ibu. Aku berdiri.
"Om, ayah saya sudah berbulan-bulan tidak pulang. Dan ibu tidak punya urusan dengan hutang-piutang antara om dengan ayah, tolong jangan ganggu ibu saya" Jelasku tegas.
Laki-laki itu mendengkus, menatapku sinis.
"Rania diamlah!" Ibu memberi perintah
"Maafkan anak saya pak. Akan saya bayar hutang suami saya, beri saya waktu.
Ku tatap kak Rei yang hanya menunduk, kakak yang duduk di kelas dua sekolah lanjutan menyeka sudut matanya yang berair. Tak membantu sedikitpun untuk membela ibu.
Ibu menerima kopian surat hutang piutang dari si jelek bermata besar itu. Dan ini bukan tagihan yang pertama aku melihat ibu membayar hutang ayah. Entah sudah berapa orang manusia datang ke rumah ini, dan anehnya ibu selalu memberi bayaran hutang yang ayah pinjam dari yang berbunga bahkan sekedar hutang nongkrong di kedai.
Buah sikalek hasil panjatanku yang penuh semangat tak satupun tersentuh.
Plastik yang kubayangkan akan membawa senyum pada ibu begitupun kak Rei kini hanya teronggok di meja dapur.
Bang Handi entah di mana? Abang setahun lebih dulu berada di dunia. Kak Dee Kaka pertama tiga tahun lebih dulu mengecap manisnya gula ketimbang kak Rei, tinggal bersama Tante Rin di kota Jakarta. Tante Rin, adik ibu paling kecil. Bang Ruli--abang nomor dua sesudah kak Dee, sudah lama tak ada kabar, sejak tamat sekolah, Ia pergi merantau, dua tahun sudah tak kunjung pulang. Ibu sembilan kali meregang nyawa, mengeluarkan buah cinta dari rahimnya, hanya enam yang selamat. Kak Dee, Bang Ruli, Kak Rei, Bang Handi, dan Aku. satu lagi-- Meutia, Meutia kakakku yang sedari bayi diambil adik sepupu ibu yang tidak memiliki anak. Agar tetap mengenal sesama saudara, ibu menceritakan pada kami tentang Kak Meutia yang diboyong ke kota Samarinda. Itulah--Keluargaku.
*
Hari ini olimpiade dimulai, dengan mudah aku menjawab semua soal dibabak lima belas besar, melanglang ke semi final. Bertekad akan memenangkan lomba, wajah ibu selalu memompa semangat. Aku yakin untuk menang di final. Setelah acara selesai kak Rei menjemputku di tempat lomba bersama seorang lelaki dewasa. Untuk pertama kali, ku lihat kakakku seperti gadis pada umumnya. Bedak tipis dan sedikit olesan lipstik di bibirnya.
"Kak, kita mau kemana?"
"Ke kantor KUA." Jawab sekenanya.
"Siapa yang nikah?" Tanyaku menatap curiga mereka berdua.
Kak Rei hening, tak hendak menjawab pertanyaan. Ternyata mereka yang menikah. Setelah berbulan lamanya. Akhirnya aku melihat sosok wali kami duduk di hadapan penghulu.
Kini, aku mengerti. Kak Rei menikah dengan orang kaya sebagai penebus hutang ayah.
*
Setelah peristiwa itu, kak Rei tinggal jauh dari kami. Ayah entah di mana? kabar yang terdengar dari ocehan tetangga, ayah kawin lagi. Entah mengapa, aku tidak peduli. Fokus pada prestasi, Alhamdulillah, aku menang.
Memborong hadiah kejuaraan, memberikan pada ibu, berharap ibu pamer pada tetangga, ternyata ibu tidak memberitahu siapapun, atau bisa jadi mereka tahu, entah mengapa tak ada kebanggaan dan kebahagiaan saat pengumuman pemenang itu, ibu tidak ikut serta menerima piala, lebih mengutamakan menyetrika di rumah Tante Shopie, keluarga kaya di daerah kami.
Bingkisan plus uang tunai sebagai hadiah, ibu suruh tabung untuk sekolah, tapi aku bersikeras untuk ikut membantu membayar hutang ayah yang lain lagi. Aku tak mau ibu dibulli, tak suka ibu bersedih, yang terpenting tidak ingin menjadi korban tumbal untuk hutang ayah, seperti kak Rei.
Hari terus berlalu, bulan silih berganti, tahun beranjak satu persatu, di setiap tahunnya, aku selalu mencapai rangking pertama, pemenang event-event perlombaan, jika ada yang menagih hutang ayah, aku membantu ibu membayarnya.
Duduk dibangku Menengah Atas, aku menyadari, harga diri seorang anak perempuan ada di ayahnya. Aku mengikuti jejak ibu berbohong, demi melindungi harga diri, jika di tanya di mana ayah? Aku akan menjawab "ayah bekerja di luar kota"
Ajaibnya, kata itu mampu mengehentikan tatapan sinis mata tetangga, ocehan buruk tentang keluarga kami, bahkan acapkali ibu mengatakan pada orang-orang, bayaran hutang adalah kiriman dari ayah yang ditransfer setiap bulan.
Semakin hari semua orang seakan menganggap keluarga kami keluarga yang harmonis. Yang sangat lucu, pita yang diklaim Tante Cindy milik Meysa ia kembalikan, mengatakan ia khilaf, padahal pita itu memang milikku. Saat orang menganggap keluargamu bahagia, berlimpah harta, semua seakan ingin ikut nimbrung menyatakan peran di dalamnya, mengaku saudara, rela jadi pembokat demi sebuah pengakuan 'kenal dekat'
Hadiah setiap lomba yang lumayan besar selalu kuberikan untuk meringankan ibu. Alhamdulillah, sangat membantu perekonomian keluarga, kami rukun dan damai, ditambah kabar menggembirakan dari kak Rei--Ia hamil, sebentar lagi aku punya keponakan. Hari ini, sehari menjelang Ramadhan, Lelaki pengutang dan pamabuk itu menghampiri rumah.
"Rania, salam ayahmu, ucapkan terimakasih atas doa-doanya, kalau bukan karena ayah kamu tak akan menang lomba apapun, kalau bukan ayahmu, dari mana menempel.otak secerdas kamu?" Ibu berbicara pelan menatap lamat mataku. Agar aku memahami apa maksudnya.
Ya, aku kini sangat mengerti, sosok seorang ayah adalah harga diri anak gadisnya. Jika saja aku tak terlambat membantu ibu, atau kak Rei mengerti lebih cepat, mungkin tak akan ada pernikahannya diusia belia. Tapi pernikahan kak Rei sepertinya bahagia. Lelaki calon suaminya itu taat agama. Kuyakin bukan doa ayah yang terkabul, melainkan doa ibu.
Meski benci membuncah di dada. Jika ayahmu dianggap orang baik, semua orang akan menganggapmu gadis yang baik, karena terlahir dari keluarga yang baik-baik, begitupun sebaliknya, jika ayahmu dianggap manusia bajingan, maka anak gadisnya akan jadi korban, di--anggap gadis tidak baik. Karena dalam agama tertulis dengan jelas, cara memilih seorang gadis dengan melihat garis keturunannya.
Kini aku mengerti mengapa ibu rela membayar hutang berapapun ditagih orang ke rumah, asal suaminya tidak di anggap lupa tanggung jawab. Hingga orang lain sepele dan tak di anggap.
"Rania berhasil karena ayahnya adalah sosok yang pintar, pekerja keras, dan bertanggung jawab"
Ibu menjawab dengan tegas pertanyaan para kepoiner tentang sosokku yang acapkali di undang dalam event olimpiade mata pelajaran.
Ah, ayah. bolehkah aku tidak menganggapmu? Karena kau hanya cerminan harga diriku, bukan surgaku. Kata-kata itu hanya tinggal ucapan bhatin belaka, sejattinya aku tak berani melontarkan kalimat padanya. pada orang yang telah menelantarkan hidup kami sekeluarga.
Aku menaruh kopi serta cemilan lain, di atas meja. Beringsut malas melihat wajah itu ada di hadapan. Padahal tanpa dia aku tak terlahir kedua. Baru saja kaki mencapai pintu kamar. Bunyi dering hape di atas meja makan, menaikkan kupingku lima senti penasaran siapa yang menelepon.
"Sebentar, Ya Sayang! Nanti Abang telpon lagi,"
Rasanya sapu yang berada di pojok kamar, hendak ku lempar ke kepala orang yang hanya punya satu modal--modal cetakan. Mama sedang menjemur kain di belakang. Berjinjit agar tak terdengar, aku diam-diam sudah berada di belakang ayah.
Huppp...Aku menangkap Hape yang tengah di kotak katik, Ayah mendelik terkejut atas aksiku.
"Kembalikan ... Rania!"
Aku berlari, sangat ingin mengambil nomor telpon si pelakor itu. sayangnya.
Plak....
Lima jari mendarat manis di pipi. Ibu tergopoh berlari karena mendengar seperti bunyi petasan.
"A...au!" aku meringis, darah segar mengalir dari sudut bibirku. "Apa salah Raina, Pa?"
"Lancang sekali anak kamu, Ma! kebiasaan di manja." Ia mendengkus lalu meninggalkan kami, aku menangis menahan sakit, bekas tamparannya tidaklah seberapa, tapi hatiku terlanjur hambar terasa.
"Ayah...!"
#Bersambung