Chereads / Ini Cerita Para Santri / Chapter 1 - Pengadilan Orang Bersarung

Ini Cerita Para Santri

Bayu_Patih
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 6.5k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Pengadilan Orang Bersarung

Kau mungkin takkan tertarik dengan pengalaman awalku di pesantren. OPPM, fuihh, rasa taksudi aku menyebutnya. Walau organisasi dari sekolah agama, toh tetap saja model klasik para diktator lalim. Penguasa bertangan besi yang tangannya mudah sekali mendarat di kepala anggota. Mereka racun kemanusiaan hingga anggota membenci mereka. Dan kisah ini, dimulai di tahun pertama aku berada di pondok, tepatnya saat semua kesengsaraan dan siksaan berkedok hukuman mendidik menghujam para anggota, menembus sekat fakta bahwa kami adalah anggota baru.

Ayahku bilang, pesantren ini istimewa karena mendidik santri menjadi mandiri dan terdidik. Di sinilah aku duduk di dalam ruangan masjid yang dipenuhi santri, membaca Alquran tua yang mungkin lebih tua dari usiaku saat ini. Seseorang berbadan besar dan tegap berjalan menuju mimbar. Raut wajahnya menunjukkan kewibawaan dan ketegasan. Ia menghadap para santri dengan tatapan tajam lalu menyampaikan titahnya.

"Dengar, dengan beradanya Antum di kawasan pondok maka berlakulah peraturan pondok, tidak terkecuali siapa pun itu. Tentu untuk pelanggar, ada hukuman yang berlaku!" Orang itu nanti kuketahui adalah pengurus Organisasi Pelajar Pondok Modern (OPPM) melanjutkan ucapannya dengan menyebutkan peraturan pesantren serta jenis-jenis pelanggaran dan hukumannya. Para santri bergidik ngeri membayangkan hukuman apabila melanggar. Aku tak terlalu memedulikan hal itu dan tetap terpaku pada bagaimana piawai orang ini bicara, lugas, jelas, padat, dan dengan intonasi yang meyakinkan. Aku begitu kagum pada organisasi ini, setidaknya di bulan pertama aku di pondok.

Bulan ketiga aku berada di tempat ini. Bulan penghakiman para santri dimulai. Mahkamah peradilan atas pelanggaran para santri yang terus merapal doa agar tak tercatat di 'Buku Mahkamah'. Sial bagiku, aku tercatat sebagai pelanggar di penegak bagian kebersihan karena sepuluh butir nasi yang terserak keluar dari piringku di waktu makan siang. Aku tak sempat membersihkannya karena ada hal lain yang lebih mendesak, yaitu dengan dimulainya bel maka dimulai kembali belajar siang.

Ada belasan santri di kantor itu. Beberapa dari mereka memelas dan bergidik ngeri membayangkan hukuman yang akan diterima.

"Hei, kalian! Perhatikan ke sini!" hentakan penegak kebersihan membuyarkan lamunan mereka. Di tangannya telah siap sebilah rotan lima puluh sentimeter yang siap melayang di paha kami satu per satu. Aku meringis menahan sakit di paha yang membiru, ke luar sambil terseok-seok. Kudengar dari luar kantor, para penegak hukum itu tertawa terbahak-terbahak memamerkan bagaimana kuatnya pukulan yang diberikan. Aku meludah ke tanah. Pandanganku atas mereka berubah. Kekagumanku atas wibawa mereka sirna yang tersisa hanya rasa dendam dan benci.

Empat tahun berlalu. Aku kini berdiri di kantor pengurus, bukan sebagai pelanggar, tapi sebagai penegak disiplin. Berbagai pengalaman sudah kuteguk sejak lama.

"Al Akh, apa hikmahnya peraturan seketat ini?" tanya seorang anak kelas I.

Aku tertegun. Dia berada di posisiku dulu dan merasakan apa yang kurasakan dulu. Sebelum dia membenciku seperti yang kulakukan dulu, kujelaskan kepadanya hikmah peraturan.

"Duduklah! Jika aku boleh jujur, aku merasakan hal yang sama dengan Anta. Entah apa gunanya peraturan. Entah apa gunanya hukuman. Toh kita pasti akan melanggarnya, bukan?" kantor yang kosong itu lengang, menyisakan pembicaraan kami berdua.

"Kau tahu, di semua tempat di dunia mempunyai peraturan sendiri, bahkan di rimba. Masyarakat hasil binaan peraturan itu pun bermacam-macam."

Aku berhenti sejenak, hening tanpa suara.

"Sungguh aku ingin memberitahumu, tak ada setitik pun niat dari para penegak untuk menghukum orang yang tak bersalah," aku melanjutkan.

"Lalu, kenapa yang melanggar harus dipukul?" ia memotong.

"Kau pikir , dengan nasihat dan belaian lembut, laki-laki akan paham dan sadar? Perlu kau tahu, sebuah mutiara indah didapat melalui dua hal, satu, tekanan yang tinggi dan kedua, panas yang sesuai. Jika mutiara itu sanggup menahan dua tekanan ini, tak pelak ia akan menjadi mutiara yang sempurna."

"Itu betul sekali!" sahutan dari seorang ustaz yang mendengar percakapan kami.

"Sungguh, para penegak itu menyayangi anggota mereka. Mereka terus menggiring kalian untuk tetap berada di jalan yang benar. Mereka memang sayang, tapi terlalu kaku untuk menyampaikannya dengan kata-kata lembut dan menyampaikannya lewat hukuman."

"Mana bukti lain kalau mereka sayang pada kami, Ustaz?" dia, adik kelasku bertanya lagi.

"Coba kau lihat, garis hitam di bawah mata abang kelasmu itu," ustaz menunjuk mataku. Ia melihatnya sekilas lalu mengangguk pada ustaz.

"Kau mungkin tidak tahu, tapi para pengurus ini takkan tidur sampai memastikan kalian semua terlelap dan mereka akan bangun lebih awal dari kalian untuk membangunkan kalian di waktu Subuh. Garis mata itu menjadi bukti, walau badan mereka remuk, mereka akan tetap tegar menasihati kalian. Walau tubuh ini lelah, mereka akan tetap tersenyum mendengar keluh kesah kalian. Mereka mungkin berbohong pada kalian bahwa mereka tidak lelah. Itu semua agar kalian tetap bersemangat seperti mereka yang bertekad baja. Mereka mungkin lupa akan dirinya sendiri saking pedulinya dengan kehidupan kalian. Bahkan, bisa anjlok nilai mereka karena tak sempat belajar saat mengawasi kalian belajar malam."

"Lalu, kenapa kami dipukul di mahkamah?" itu kali kedua ia menanyakan pukulan.

"Itu bukan karena ia benci kalian. Itulah cara mereka membawa kembali orang yang terlanjur salah ke jalan yang benar sebelum benar-benar jauh tersesat."

Ustaz menangkap ketidakpuasan di raut wajahnya. Ia pun membuka pintu kantor sehingga halaman pondok tampak dari dalam.

"Bagaimana keadaan halaman pondok kita? Ia tersenyum menatap adik kelasku.

"Bersih dan tertata rapi."

"Bagaimana kau pikir jika tak ada bagian penegak kebersihan yang menegakkan disiplin dan kebersihan atau mereka menegakkannya dengan cara yang tak tegas?"

"Tentulah pondok menjadi kotor dan berantakan," ia menjawab sambil tertunduk. Ia sudah mengerti arah pembicaraan kami sekarang.

"Terkadang kita selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, sedangkan apa yang kita butuhkan justru ada persis di hadapan kita," ujar Ustaz Takzim.

"Kau lihat sendiri, kan? Pondok ini begitu tertata dan santri-santri begitu disiplin hanya dari mahkamah, tempat pembentukan jati diri."

Ia tak mampu berkata, kecuali menunduk.

"Sudahlah, Nak," ujar ustaz menepuk bahuku dan adik kelasku. "Kau bukan orang pertama yang menanyakan hal ini padaku dan pada OPPM sendiri." Sang ustaz beranjak meninggalkan kami.

Tanpa kuduga, adik kelasku memelukku sambil menangis.

"Maafkan aku Al Akh, aku dulu pernah membencimu. Aku yang pernah kau hukum hingga terbersit rasa benci padamu. Aku sungguh taktahu akan hal itu."

"Tak apa. Sudah kubilang, aku juga pernah merasakan apa yang kau rasakan dulu. Jadi marilah kita mendamaikan perasaan," ujarku padanya.

Ia mengangguk.

"Apa kau tahu?" tanyaku padanya. "Apa yang terindah dari perdamaian?"

Ketika ia bertanya itu apa, aku merentangkan tanganku dan berkata, "Dalam perdamaian, semua orang menjadi pemenang," lalu aku tersenyum. "Dan itu termasuk untukmu dan aku."

Ia beranjak pergi meninggalkanku setelah berterima kasih.

Di depan pintu ia berkata, "Jika aku melanggar peraturan, nasihatilah aku di pengadilan, Al Akh," sambil merapikan sarungnya.

Ia telah berdamai dengan hatinya, begitu pula diriku. Setidaknya ketika aku mencatat para pelanggar yang akan dihukum di mahkamah, tak akan ada rasa benci kulihat di matanya.

"Pengadilanku," itu katanya.

Yang para pelanggarnya para santri yang sibuk merapikan sarungnya karena berlari menuju kantor. Pengadilan Santri Pelanggar, nama itu terbersit di pikiranku.

Ah, tidak. Bagiku itu nama yang kurang tepat. Pengadilan Orang Bersarung. Aku tersenyum, mungkin aku telah menemukan nama yang cocok untuk mahkamahku.