Apartemen Devian
Woahhh. Daisy tak henti-hentinya mengagumi arsitektur dan interior apartemen Kak Devian yang begitu mewah. Ornamen ruangan yang di dominasi warna abu-abu tampak selaras dengan sosok Kak Devian yang hangat.
Tiba-tiba Daisy berdiri di hadapan Kak Dev yang masih menenteng kopernya. Dia mengacungkan jempol di wajah pria itu. "Ini kali pertama aku datang ke tempat tinggal kakak. Dan suasasananya nyaman. Aku suka." Gadis itu tersenyum dengan gigi kelincinya, dia tampak begitu bahagia.
"Syukurlah kalau kau suka. Ah, aku sudah menyiapkanmu kamar. Kuharap kau juga menyukainya."
"Euum." Daisy seperti gadis polos yang mengikuti kemanapun Devian mengarahkannya.
"Karena kau harus focus pada pendidikanmu, lebih baik kau memiliki kamarmu sendiri."
Tidak. Itu hanya alasan bagi Devian, dia masih canggung pada Daisy, dia masih memandang gadis itu sebagai adiknya, dan dia bertanggung jawab untuk menjaganya.
"Jangan berpikir macam-macam, aku benar-benar ingin kau focus pada pendidikanmu dulu, mengerti?" Seolah mengerti apa yang ada dipikiran Daisy, Devian menegaskan.
"Euum. Aku mengerti, aku tidak berpikir macam-macam tenang saja."
"Woahhh, kak Dev, ternyata kau sengaja mendesain kamarku berwarna peach ya! Aku suka!" Daisy langsung masuk dan rebahan di badcovernya. Dia tampak senang. Sejak menjadi istri Devian, dia tidak berpikir muluk-muluk akan memiliki Devian seutuhnya, tidak. Untuk saat ini, dia benar-benar tulus ingin berada di samping Devian tanpa mengusik privasinya.
"Baiklah, istirahatlah. Kau pasti lelah."
" Euuum."
"Eh Kak Dev. Tunggu!"
Devian menoleh. Daisy tersenyum. "Terima kasih. Tapi bisakah Kak Dev memperlakukanku seperti biasanya? Jangan terlalu canggung padaku."
"Tentu saja. Aku pergi dulu."
"Euum."
Daisy menatap punggung Devian yang menjauh. Sebenarnya, dia tahu, apa yang harus di lakukan antara suami-istri. Tapi Daisy tidak ingin mengungkit itu, dia ingin meruntuhkan tembok di antara mereka berdua secara perlahan. Tidak perlu terlalu memaksa Kak Dev, karena dia sadar, pernikahan ini dilakukan bukan atas dasar cinta sama cinta. Daisy, juga ingin memberi ruang pada Kak Dev, tapi tidak menutup kemungkinan, jika suatu hari dia akan mengetuk hati Kak Dev dan mengatakan "aku milikmu sekarang".
***
"Selamat pagi!" Sapa Daisy ramah pada Devian yang baru keluar dari kamarnya. Dia sudah rapi dengan kemejanya. "Pagi." Balas Dev.
"Kau yang memasak semua ini?"
"Euum. Aku jarang memasak jadi aku sedikit lupa cara memasak, aku hanya memasak bento untuk sarapan."
Kak Devian menarik bangkunya dan mulai mencicipi. Daisy merasa takut, rasa dari masakannya tidak sesuai dengan selera Kak Devian. "Bagaimana?"
"Enak. Kapan kau belajar memasak?"
"Kau tahu saat kecil Papa dan Mama sering pergi ke luar kota. Kadang aku juga ikut membantu pelayan memasak, kupikir untuk jaga-jaga jika suatu hari aku benar-benar hidup sendiri tanpa pelayan maka aku harus bisa memasak. Awalnya aku hanya bisa memasak telor gulung, ehehhe."
"apa benar-benar enak?" Daisy meyakinkan
"Euum. Tapi apa kau benar-benar tidak kerepotan memasak di pagi hari?"
"Siapa bilang ini merepotkan? aku malah akan memasakanmu setiap hari." Ujar Daisy dengan senang hati.
Deggg. Tiba-tiba saja Devian merasa ada yang aneh, dia sudah lama tidak makan sarapan di rumah sebelumnya, terakhir kali dia dimasakan seperti ini 10 tahun yang lalu saat masih tinggal bersama Mama dan Papanya. Tapi sekarang, gadis kecil ini yang memasak untuknya. Dia tidak menyangka, seminggu yang lalu dirinya masih sendiri, sekarang, ada orang lain yang tinggal satu atap dengannya.
"Kau tidak ada kelas pagi?"
"Tidak. Aku ada kelas sore, jadi aku pulang malam. Mungkin aku akan tidur di asrama kalau terlalu larut."
"Aku akan menjemputmu."
"Eh?" Apa Daisy salah dengar? Ya Tuhannn ini kali pertama dia dijemput oleh pria yang benar-benar pria. Daisy tidak menyangka hari itu telah tiba, dia pernah membayangkan tokoh pria dalam novelnya menikah dengan tokoh wanita, kemudian dia menjemput tokoh wanita itu dari kantornya. Kini satu persatu alur itu menjadi kenyataan.
Daisy tersenyum, Kak Devian tidak mau mengulangi kalimatnya. Tidak apa meski baginya ini hanya perhatian seorang kakak terhadap adik, tapi Daisy sangat senang. " Baik. Terima kasih."
"Kak Dev, kenapa tidak memakai cincin pernikahannya."
"Ahh, aku sedikit tidak nyaman menggunakan benda-benda seperti cincin."
"Oh." Wajah Daisy tampak kecewa, dia melihat cincin yang mengikar di jarinya, hanya dia yang memakainya. Sementara Kak Devian melepasnya.
"Cincin hanyalah symbol. Tidak perlu terlalu dipikirkan, kau juga boleh melepasnya jika tidak nyaman. Lagipula kau masih harus fokus kuliah, jangan sampai menarik perhatian kalau jarimu terikat cincin."
Daisy masih kecewa, "Oh."
"Aku berangkat dulu." Devian beranjak dari kursinya.
"Eh tunggu dulu."
Daisy mengambil sesuatu dari meja dapur. "Ini bekal makan siang. Jangan menolak, aku hanya ingin menjaga orang yang sudah baik padaku. Terimalah." Dia menyodorkan kotak makan siang pada Kak Dev. Pria itu menatapnya dengan bingung, dia belum pernah memakan bekal makan siang sebelumnya. Daisy menepuk tangannya di depan wajah Kak Dev. Pria itu pun berkedip.
"Oh. Terima kasih." Ucapnya.
"Euum. Berhati-hatilah."
Kak Devian pun pergi, Daisy menatap punggung itu dengan hangat. Meski Kak Devian tampak berbeda dari Kak Deviannya yang sebelumnya, dia menjadi lebih pendiam, apa karena Kak Devian masih menyesuaikan diri? Dia merasa canggung pada Daisy. Benar, Kak Devian pasti masih belum menduga, gadis kecil yang biasa dia jahili, dan gadis yang suka merengek sekarang adalah istrinya. Benar, dia masih tidak menyangka.
Di dalam mobil, Devian menatap bekal makan siang itu. Dia berulang kali memutar ingatannya, apakah benar, gadis itu adalah Daisy? Devian sudah mengenalnya lama, tapi kini gadis kecil itu menjelma menjadi sosok dewasa yang bahkan menyiapkan sebuah sarapan dan bekal makan siang untuknya. Apa dia yang terlalu menutup matanya, dia selalu memperhatikan Daisy yang setiap hari tumbuh, tapi kini, dia seperti tidak mengenal gadis kecil itu, apa ini hanya sugestinya sendiri, dia-lah yang menolak mengakui kalau Daisy sudah bukan anak kecil lagi. Dia adalah istrinya, dia adalah miliknya, bukan lagi adik kecilnya.
***
"Wow kotak makan siang. Pak Dokter, sejak kapan kau jadi suka makan siang di kantor? Kau biasanya selalu menyuruhku membeli roti isi." Goda Aiken salah satu perawat pria yang dekat dengan Devian, dia sudah menjadi asisten dokter sejak 5 tahun lalu, dulu saat magang, Devian-lah yang mendidiknya.
"Diamlah. Sedang apa kau di sini, bekerja sana."
"Dia tersipu bung. Tau kok tau yang sudah punya istri."
"Hey, daripada kau menggodaku terus, kau mending cek pasien di bangsal tiga. Beberapa hari yang lalu aku memasangkannya defibrillator."
"Baik-baik. Aku tidak akan menganggumu lagi Pak Dokter." Dia pergi tapi tatapannya masih meledek. Devian mengambil berkas di sampingnya, dia kembali sibuk memeriksa dokumen pasien-pasiennya. Dia ingat besok jadwal cek-up gadis itu. Sekarang Daisy tinggal bersamanya, dia jadi bisa memantau kesehatan gadis itu kapan pun.
"Tapi Dok." Asisten itu kembali lagi.
"Wajahmu itu keliatan sekali canggung. Kau harus mulai membiasakan diri, mengerti?" Dia pergi lagi sebelum Dev menyemprotnya dengan kata-kata.
"Benar. Aku harus terbiasa mulai sekarang." Gumam Devian pada dirinya sendiri.
***