"Vin, kamu lagi sibuk nggak?"
"Enggak terlalu kok, Yah."
Kevin baru saja usai menunaikan shalat Isya di Mushala Al-Ukhuwah. Letak mushala itu tak jauh dari sekitar komplek rumahnya.
"Ah sudah lama, Ayah nggak ngobrol sama kamu. Kita ngopi yuk."
"Boleh, Yah. Ayah menunya kopi, tapi saya pilih teh aja hehe."
"Sip... sudah biasa kok, nggak masalah hehe..."
Dia biasa berangkat bersama ayahnya, Pak Sanjaya. Terkadang pulangnya pun keduanya kompak berjalan bersama. Kali ini, keduanya pulang menuju rumah bersama.
Kevin pun duduk sejenak di teras rumah. Dia membuka peci rajut putihnya. Sementara ayahnya masuk ke dalam rumah.
"Tunggu bentar ya... "
"Pa, biar aku aja yang ngambil teh dan kopinya..."
"Nggak usah, biar ayah aja."
Tak lama kemudian, Pak Sanjaya kembali bersama istrinya. Keduanya duduk bersama Kevin. Malam pun, meskipun mulai dingin menjadi diliputi kehangatan.
Teh, kopi, dan bakpia pun terhidang di meja. Ketiganya mulai menikmatinya.
"Seneng sekali Mama bisa ngumpul seperti ini. Jarang-jarang..." ungkapnya Bu Sanjaya semringah.
"Alhamdulillah, Ma, Pa..."
"Vin, Papa nitip ya, sekalipun kamu sibuk, tolong inget kesehatanmu. Tetap jaga kesehatan," ucap Pak Sanjaya, sembari menatap Kevin serius.
Tiba-tiba Kevin tercenung. Ucapan Papa memang benar. Jaga kesehatan. Tapi buat apa, toh diagnosa dokter juga sudah jelas.
Namun Kevin tiba-tiba tersenyum, "Iya makasih Pa, udah ngingetin, justru dengan menyibukkan diri Kevin bisa melupakan semua yang terjadi. Kevin justru bahagia menjalani hidup ini, Pa."
"Mama, ikut senang. Hmmm... dan pasti kebahagiaanmu akan menjadi lebih sempurna jika ada seorang gadis yang setia mendampinngimu, Nak!"
Ya, ampun Ma, Lagi-lagi bahas itu. Kenapa sih, Ma. Bahas-bahas itu terus. "Hmmm, oya Ma kabar Sasa di Jogja gimana?" Kevin buru-buru memilihkan topik pembicaraan.
"Dia baik. Adikmu itu sudah sangat bahagia hidup sama suaminya. Dari dia juga mama sudah bisa menimang cucu. Tinggal dari ... kamu, Sayang ..."
Jleeeb!!
Aduh Ma, please mengertilah dengan keadaanku.
Heartbeat!
Dug ... dug ... dug ... Dug ... dug ... dug ...
Heart attack!
Dugduddug! Dugdugdug! Dugdugdug!
Tiba-tiba dada kevin berdetak lebih kencang. Debar-debarnya tak karuan hingga nyeri di dadanya menjadi sangat luar biasa.
"Ma ... Pa ..." ucap Kevin dengan rasa nyeri tak tertahankan, dia memegang dadanya. "Aku izin ke kamar."
Orang tuanya kaget. Terlebih mamanya merasa sangat menyesal kenapa harus mengucapkan kalimat terakhir yang sungguh sangat menyinggung Kevin.
Mamanya mendekati, Kevin sembari merangkul, "Sayang, maafkan Mama...."
Kevin berjalan ke kamarnya secara terhuyung-huyung. Di samping kanan dan kirinya, mama dan papanya membantu membopong Kevin ke kamar.
"Kamu nggak akan kenapa-kenapa, Nak," kata Pak Sanjaya.
"Kamu pasti bisa sembuh," sambung Bu Sanjaya.
Setelah sampai di kamar, Kevin merebahkan tubuhnya di atas kasur. Debar-debar di dadanya, masih sangat kuat dan nyeri. Perlahan dia menangis menahan rasa sakit di dadanya.
Dengan sigap, Bu Sanjaya menelpon dokter.
Sekalipun Pak Sanjaya dan istrinya mencoba tenang, tetap saja keduanya tak mampu menyembunyikan kepanikannya. Keduanya benar-benar menyayangi putra sulungnya itu. Mereka akan melakukan apapun agar tak kehilangan kevin. Keduanya akan melakukan apa saja demi kebahagiaan Kevin.
Usai menelpon dokter, dengan mantap, Bu Sanjaya berkata, "Pa, kita ke rumah sakit aja, sekarang."
"Ma, Pa, Kevin udah ngerasa baikan. Kayaknya nggak usah."
Sebenarnya, sesak di dada Kevin, belum sirna. Namun Kevin, kali ini merasa enggan untuk entah yang ke berapa kalinya bolak-balik rumah sakit.
"Tidak, Nak. Mama nggak mau terjadi apa-apa sama kamu. Sekarang juga ayo berangkat!"
Jika Bu Sanjaya sudah bilang begitu, Kevin tak punya kuasa untuk menolak. Akhirnya dia menurut saja. Mereka pun bersiap-siap berangkat ke rumah sakit.
***
Di salah satu sudut ruang di rumah sakit, Kevin duduk menyender di ranjang rumah sakit. Sedari tadi perasaannya masih gusar. Dia gusar bukan takut akan kematian, melain gusar karena perasaannya yang hingga saat ini tak berubah semenjak dahulu. Mengapa dia tak bisa menyisihkan nama Tania dari hatinya. Padahal, dalam kondisi seperti ini, dirinya takkan mempunyai celah sedikit pun untuk hidup berdampingan dan bahagia bersamanya.
Masalah ujian yang kini tengah dia hadapi, dia sudah ikhlas, apa pun yang terjadi. Baginya inilah qada Allah, ketetapan dari-Nya yang mesti dia terima. Dia sudah belajar dari pengajian-pengajian yang sudah di laluinya beberapa tahun belakangan ini, Masalah qada Allah adalah bergantung pada sikap manusia atasnya.
Allah tidak akan menghisab qada yang berlaku atas manusia. Penyakit yang kini dideritanya, tidak akan Allah pertanyakan kelak. Yang Dia akan hisab dan tanyakan hanyalah sikap dalam menghadapi ujian penyakitnya. Apakah tidak rela, tak ikhlas, atau sebaliknya. Tentu saja Kevin kelak di akhirat ditanyakan hal itu, dia ingin mantap menjawab bahwa dirinya ikhlas menerima qadha dari-Nya.
Di saat merenung seperti itu, Pak Sanjaya dan istrinya menghampiri putra tercintanya. Keduanya baru saja berbicara cukup lama dengan dokter dan membawa hal-hal sebenarnya tak mengenakkan hati.
"Gimana kata dokter?" Kevin langsung menembakkan pertanyaan yang amat sulit dijawab oleh orang tuanya.
Sejenak Pak Sanjaya dan istrinya mengumpulkan tenaga dana akan mencoba memilih perkataan yang tepat.
Lama tak ada jawaban, Kevin menerka-nerka, "Apakah dokter bilang harus segera melakukan transplantasi?"
Pak Sanjaya dan istrinya benar-benar kaget. Mengapa Kevin begitu cepat menyatakan hal itu. Dan mereka berdua pun tak mampu menyembunyikan atau merahasiakan apa pun?
Keduanya hanya bisa memberikan kata-kata untuk menghibur anaknya.
"Vin, jangan khawatir, mama akan terus berusaha melakukan apa pun yang terbaik untuk kesembuhanmu," ucap Bu Sanjaya sambil merangkul anaknya. Pelupuk matanya dipenuhi lelehan air mata.
"Terima kasih, Ma," ucap Kevin. "Mama memang ibu terbaik di dunia."
"Papa, akan segera mencari donornya, ..." ucap Pak Sanjaya.
"Siapa yang bakal mau, Pa. Santai saja jangan terburu-buru. Aku pun tidak terlalu berharap banyak."
Mendengar hal itu, Pak Sanjaya makin merasa bersedih. Faktanya memang tak mudah untuk mendapatkan donor organ jantung. Pun ketika sudah mendapatkan donor, risiko lain saat transplantasi, belum tentu tubuh Kevin mampu menerima organ jantung yang baru.
"Pa, Ma... Aku ingin mengatakan sesuatu, Semoga Mama dan Papa bisa memahamiku."
Pak Sanjaya dan istrinya bersiap menyimak.
"Aku merasa bahagia. Rasa sakit yang mendera ini bisa sirna seketika saat membayangkannya. Dan dari dulu rasa cintaku padanya tak berubah," Kevin menghirup napas sejenak.
"Mungkin pertanyaan Mama saat di rumah bisa terjawab. Bukannya aku tak mau menikah Ma. Aku ingin menjadi imamnya. Aku ingin bahagia hidup bersamanya. Tak masalah bagiku, seberapa banyak dia melakukan penolakan atasku, akan kulakukan berulangkali upaya untuk meyakinkannya, bahwa aku bisa membahagiakannya."
"Namun, aku tak bisa melakukannya, karena aku tak ingin meninggalkan dia dan membuatnya menjadi sedih. Aku tak ingin menjadikan dia menjadi seorang janda sepeninggalku. Aku benar-benar tak ingin menyakitinya. Sehingga lebih baik aku mencintainya diam-diam saja," ungkap Kevin.
Lelaki berkacamata itu terdiam. Pikirannya masih mengumpulkan kata-kata untuk melanjutkan ucapannya.
"Aku hanya bisa berdoa, semoga dia mendapatkan imam terbaik karena sekalipun akan mencintainya, sama sekali aku takkan pernah dapat mengungkapkan, apalagi bersanding dengannya dalam akad pernikahan," lanjut Kevin.
Pak Sanjaya dan istrinya tak berkata-kata lagi. Dia sudah memahami perasaan cinta anaknya sejak dulu. Dan hari ini, keduanya diyakinkan oleh sang anak, bahwa cinta dan perasaan Kevin pada Tania tak pernah berubah. Prinsipnya pun masih sama, mencintai namun takkan pernah mau menyakiti.
Kamu bisa ikutin kelanjutan kisahnya di sini ya...
https://www.webnovel.com/book/godaan-sang-mantan_21371225806304805