Aku terbangun dari tidurku seperti biasa. Aku melihat sekitar kamarku tampaknya tidak ada lagi air yang turun. Hujannya sudah reda. Sejak subuh tadi memang hujan cukup lebat melanda disertai angin yang begitu kencang. Aku sampai dibuat tak bisa tidur karena banyaknya atap yang bocor sehingga kasur dan area sekitar kamarku kebasahan. Aku hanya bisa duduk diujung dekat gorden kamarku agar tak terkena air akibat bocorannya sementara sesekali aku mengecek area rumah dan untungnya semua baik-baik saja. Tak ada air yang menggenang disana.
"Dariel...." Seseorang memanggil dari kegelapan. Itu adalah adik perempuanku. Ah.. tidak-tidak aku saja yang menganggapnya sebagai adik mungkin baginya aku bukan siapa-siapa. Namanya Nayla.
"Apa aku ganggu?" Tanyanya sambil membawa sesuatu ditangan kanan dan kirinya. Aku tak bisa melihat jelas apa yang dia bawa karena minimnya lampu disini yang jelas itu cukup besar.
"Engga, kamu ngapain kesini?nanti bapak marah. cepet balik lagi ke kamar." Aku mengusirnya takut bapak terbangun dan melihat Nayla bersamaku. Dia mungkin akan marah besar meskipun perkara yang dia lihat begitu kecil. Bagi Bapak semua yang berkaitan denganku adalah kesalahan. Dia tak henti memarahiku atau juga tak segan memukulku jika aku salah melakukan sesuatu. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa. karena aku hanyalah orang yang tak punya kuasa apapun.
"Ini..." Dia memberikan 2 buah celengan kepadaku. Aku tak mengerti saat itu kenapa Nayla memberikan celengannya padaku. Itukan tabungannya. Kenapa dia memberikannya padaku?.
"Apa ini?."
"Ayo cepet ambil sebelum bapak bangun." Ucap Nayla lagi sambil terus menyodorkan celengannya. Aku masih belum mau mengambil karena jujur aku sama sekali belum mengerti apa tujuannya. Apa ini jebakan?atau apa?Aku takut.
"Kita akan pergi dan kamu bakalan hidup sendiri jadi kamu butuh ini." Nayla membuatku terkejut. Maksudnya hidup sendiri itu apa?selama ini meskipun aku tinggal dirumah dengan 4 orang lainnya aku selalu merasa kesepian.
"Pergi?kemana?"
"Aku ga bisa bilang tapi aku pingin kamu simpan ini." Nayla terus memaksa sementara dari penjelasannya tadi otakku masih menangkap keabu-abuan.
"Apa aku....."
"Ya..ayah ga akan ngajak kamu.." Nayla dengan jelas, tegas dan lancar mengatakan hal yang melukai hatiku. Sekarang aku dibuang. Aku akan benar-benar hidup sendiri seperti yang Nayla katakan tadi. Sendiri dalam artian tak ada siapapun. Ada rasa kesal juga tapi entahlah aku tak bisa berbuat apa-apa. Nayla meletakkan celengan itu di bawah karena aku tak kunjung menerimanya.
"Simpan baik-baik jangan sampai ayah tahu." Nayla lalu pergi sementara aku hanya menatap celengan itu. Mungkin itulah memori yang aku ingat sebelum aku terbangun pagi ini. Aku berjalan mengelilingi rumahku lagi. Tak ada seorangpun disana. Dihalaman depan masih tertulis bahwa rumah ini dijual dengan cantuman nomer yang aku tak tahu itu nomer siapa. Aku pun tak bisa menghubungi nomer itu. Aku tak punya handphone diusiaku yang sudah menginjak 16 tahun padahal seharusnya di dunia yang serba canggih ini aku memiliki satu, tak apalah yang harga murah pun aku pasti menerimanya. Meskipun aku tahu sudah dibuang begitu saja dan rumah ini akan dijual. Aku tetap tidur dan berdiam diri disana meskipun beberapa orang sempat datang dan mengusirku tapi aku akhirnya meyakinkan mereka bahwa aku akan keluar jika pemilik baru datang dan aku akan merawat rumah ini agar ketika pembeli datang rumah ini masih dalam kondisi baik. Orang itu setuju dan membiarkan aku tinggal disana. Aku berkativitas seperti biasa, aku sekolah di salah satu SMA di Jakarta dengan bantuan dana pemerintah, jadi meskipun mereka pergi aku masih bisa bersekolah namun yang aku pikirkan untuk semester nanti apa aku masih bisa ikut ujian?biasanya kala ujian akan ada dana tambahan yang dimintakan pihak sekolah. Apa aku gunakan uang celengan Nayla saja?Jujur aku belum membukanya jadi aku tak tahu berapa banyak yang dia punya. Apa itu cukup untuk sekolahku?kalaupun cukup itu artinya aku harus mencari uang untuk sehari-hari seperti uang untuk makan. Walaupun hanya dengan nasi saja, aku sangat berharap bisa mendapatkan uang. Ketimbang mencari kemana mereka pergi aku memilih untuk mencari pekerjaan. Pekerjaan apapun akan kujalani selama itu halal. Setiap hari aku menyusuri jalanan untuk mencari lowongan pekerjaan. Kadang aku menjadi buruh disalah satu ruko untuk membantunya mengangkat karung beras kedalam mobil pick up. Pekerjaannya memang sangat berat bahkan tak jarang badanku terasa sakit dan pegal namun hanya pekerjaan itu yang bisa membantuku. Aku juga terus berpikir apa yang harus aku lakukan nanti jika sang pemilik baru datang? aku harus tinggal dimana?jika harus mencari kos itu hanya akan menambah biaya hidup sementara aku sudah engap-engapan mencarinya. Ah....lebih baik aku mati saja. Itulah adalah cara terakhir yang akan aku ambil jika aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa lagi untuk hidupku toh aku hidup sendiri dan tak ada keluarga atau siapapun jadi...tak ada yang merasa sedih aku pergi. Paling mayatku akan dikuburkan begitu saja tanpa nisan. Nasibku memang buruk. Kenapa hidupku seperti ini?.
****
Samar-samar aku mendengar suara seseorang didalam rumah. Aku yakin ada seseorang yang masuk dan aku tak tahu. Mungkin orang marketing datang lagi. Dia pasti menyuruhku untuk pergi karena sejak 3 hari lalu mereka datang dan memberitahu jika rumah ini sudah laku terjual dan sang pemilik akan datang. Untuk memastikan hal itu aku memutuskan untuk berjalan mendekati kearah sumber suara. Terlihat beberapa orang sedang mengobrol. 3 orang lelaki dan 1 orang wanita yang sepertinya sedang mengandung. Perutnya tampak terlihat besar. Aku menghampiri mereka membuat mereka terkejut.
"Kamu..udah saya bilangkan. Pergi!!" Salah satu orang langsung mendorongku untuk menjauh. Sudah kubilang tadi itu salah satu dari tim penjualan yang terus mencoba mengusirku. Aku tidak menggubrisnya. Mataku hanya melihat kearah Pria tua yang tampak rapi dengan setelah dasi da kemeja warna abu-abunya.
"Siapa anak itu?" Tanya pria yang tadi aku perhatikan.
"Oh ini cuman pembantu disini, jadi...selama ini rumah dijaga oleh anak ini. Jika bapak sudah mulai mengisi rumahnya anak ini akan segera pergi." Lagi-lagi pria itu yang menjelaskan padahal aku ingin berbicara juga namun selalu tak ada kesempatan.
"Sana kemasi barang-barang kamu!" Pria itu mendorongku lebih keras kedalam. Janji adalah janji dan aku harus menepatinya. Aku pergi ke kamar jelekku lagi. Mengambil beberapa pakaian yang mulai aku masukkan kedalam tasku. Ah..tas ku tak cukup. Ini terlalu kecil. Bagaimana ini?.
"Nak..." Seseorang menepuk bahuku.
***To Be Continue