Pada suatu ketika, diantara gelak canda tawa dan gurauan jenaka, terselip sebuah pertanyaan sederhana. "Kenapa Tuhan membuat pertemuan jika akan membuatnya berujung pada perpisahan? Apakah kehilangan dan jatuh adalah fase yang wajar dalam kehidupan?"
Sederhana. Namun, cukup membuatku tertegun untuk beberapa saat. Pertanyaan itu terlontar begitu saja darinya. Seorang perempuan yang telah lama kukenal beberapa tahun ini. Pertanyaan yang kurasa sering bermunculan dalam benak semua orang, pertanyaan yang seharusnya tidak terdengar asing lagi bagiku.
Namun, kala itu, pertanyaan sederhana yang dia lontarkan, terasa berbeda dibandingkan pertanyaan yang pernah kudengar sebelumnya. Pertanyaan itu untuk pertama kalinya mampu membuatku juga mempertanyakan hal yang sama dengan suatu kebingungan yang hingga saat ini aku tak menemukan kunci jawabannya.
Entah, aku yang terlampau bodoh ataukah dia yang pandai dalam mengemas kalimat yang sederhana namun membuatku memikirkan jawabannya yang terlampau rumit dalam kepala.
Lantas, setelah aku tak menemukan jawaban atas pertanyaannya, dia menertawakanku dengan keras. Wajah cantiknya semakin terlihat merona saat tawa meledak dari bibirnya. Bukan, bukan karena tawanya itu aku merasa kesal. Melainkan karena kalimat selanjutnya yang tak pernah kuduga akan meninggalkan sebuah pertanyaan baru dalam benakku dan membuat isi kepalaku berhamburan.
"Kau tak perlu menjawabnya, karena dengan merasakan perasaan itu, kau akan mengetahui jawabannya. Kenapa kita harus kehilangan setelah pertemuan."
Dia beranjak pergi setelah meninggalkan seulas senyum penuh arti yang tersungging di bibir merahnya.
Dan setelahnya, dalam beberapa minggu ke depan. Dia tak datang. Sementara aku menunggu untuk bertemu lagi dengannya. Bahkan beberapa kali kutanyakan keberadaannya pada teman-teman terdekatnya, hingga teman satu organisasi dengannya di kampus biru.
Namun, aku belum mendengar kabar tentangnya semenjak pertemuan terakhir kali. Aku ingin kembali mendengar kisahnya tentang kehidupan. Tentang jatuhnya yang berulang, hingga membentuk dia menjadi perempuan yang tak mudah terkalahkan.
Sejak pertama kali bertemu dengannya, aku merasa tertarik akan sosoknya. Pada tatapannya yang tajam namun begitu sendu dalam waktu yang bersamaan. Pada senyumannya yang menawan namun terkadang penuh dengan kepalsuan.
Sebelumnya, tak banyak hal yang kutahu tentang dirinya. Karena dia lebih sering menunjukkan wajah datar dan sinisnya. Menyembunyikan semua lukanya dalam lukisan senyuman miring dan menutupi jeritannya dengan tawa sumbang. Yang bagiku, kadang terdengar sangat menyedihkan.
Dia memang bukan perempuan cantik dengan berpenampilan menarik ataupun dengan gaya fashion kekinian. Yang kutahu, dia hanyalah perempuan biasa yang membuatku tertarik saat pertama kali melihatnya.
Dia berbeda. Itulah yang kurasakan. Dia seperti setangkai bunga liar yang tumbuh diantara ilalang dan rerumputan. Meski tak semenarik mawar dan tak seceria bunga matahari, ataupun tak semenawan melati, dia mampu membuat dirinya tetap tegak berdiri meski berkali-kali angin menerpa kelopak lembutnya dan menerbangkan serabutnya. Dia tetap tegak berdiri menatap sang langit, seakan sedang mengejek kehidupan bahwa meski dirinya hanya bunga liar yang dipandang rendah, dia tak akan mudah goyah. Tidak dipenuhi oleh kepalsuan.
Dia...seperti Dandelion. Yang begitu apa adanya. Yang tak akan menyerah pada angin yang sudah membawa benihnya pergi, namun, dari situlah dia membawa sebuah kehidupan yang baru.
Terkadang di suatu waktu, dia terlihat begitu angkuh. Dan terkadang disuatu waktu dia tampak begitu rapuh. Aku tertarik akan kisahnya, bagaimana perempuan sepertinya yang pernah jatuh bangun masih mampu bertahan dengan menghadapi dunia yang kejam ini. Bagaimana perempuan sepertinya masih bisa tersenyum dan berdiri tegak ketika kehidupan pernah menghempaskannya ke dasar jurang dan membawanya pada titik terendah kehidupan.
Hingga suatu ketika, saat aku sedang duduk di taman kampus biru, dia tiba-tiba datang dengan sebuah senyum merekah dibibirnya. Menyapaku yang sedang sibuk mengerjakan tugas kuliah yang seolah tiada habisnya.
Tanpa ku minta, dia duduk disebelahku. Kemudian sebuah kalimat sederhana kembali menarik perhatianku. Yang sepenuhnya membuatku memilih meninggalkan tugas kuliahku, yang kurasa itu semua tidak lebih menarik dari kisahnya.
"Aku akan bercerita padamu, tentang si bunga liar. Dia...adalah Dandelion."
****
Ini adalah cerita pembukaan sebelum memasuki chapter pertama.
Selamat membaca dan menyelami lebih dalam.
-RYN-