"Kum...Kum...Tolong lihat. Yang ini atau yang ini? Bagus mana?" Bhiru memaksa dengan menarik kursi Kumala yang sedang fokus dengan laptopnya agar bergeser pindah ke tempatnya berada.
"Apa?" Kumala menghela nafas pelan, memilih menuruti keinginan Bhiru yang tampak sedang memperhatikan sesuatu di laptopnya.
Ternyata Bhiru sedang melihat-lihat sekumpulan gaun pengantin yang terpampang di laptopnya.
"Yang nomor dua." Jari telunjuk Kumala menunjuk salah satunya.
"Kenapa pilih yang ini?" Bhiru bertanya alasan Kumala. "Bukannya lebih bagus yang nomor satu?"
Kumala menggeleng. Ia lebih menyukai gaun nomor dua karena itu adalah seleranya. Bukan selera Bhiru.
"Kalau menurut aku, nomor dua lebih elegan, Bhi. Nggak terlalu banyak detail tapi tetap keliatan anggun. Kalau yang nomor satu menurut aku kelihatan glamour. Aku nggak suka," ujar Kumala apa adanya.
"Oh i see..." Bhiru mulai setuju dengan pendapat Kumala. Tangannya kembali menggeser mouse-nya untuk mencari referensi gaun pengantin lain.
Saat menemukan satu model gaun yang menarik perhatiannya, mouse Bhiru berhenti bergerak.
"Kalau yang ini bagaimana, Kum?" Bhiru memperlihatkan referensi lain yang baru saja ia temukan di internet. Sebuah gaun pengantin dengan model empire waist.
"Nah kalau yang itu cocok banget buat kamu, Bhi!" Jenar tiba-tiba datang menimbrung. "Kamu itu mungil, pendek, hidup pula! Kamu cocok pakai yang model gaun seperti itu," katanya dengan ceplas-ceplos.
"Kok gitu? Memangnya kalau aku pendek nggak bisa pakai model yang lain? Yang model bagian bawahnya mekar misalnya?" Bhiru penasaran dengan pendapat Jenar.
Menurutnya, gaun pengantin dengan bawahan mekar mirip gaun Cinderella itu kelihatan sangat manis jika ia gunakan. Bayangan saat ia mengenakannya sambil melangkah di prosesi wedding entrance ceremonial pun tampak menghiasi imajinasinya. Ia bakal tampak cantik seperti para princess dalam cerita dongeng.
"Boleh-boleh saja kamu pakai gaun yang modelnya mekar seperti kurungan ayam begitu, Bhi. Tapi empire waist lebih cocok buat lo. Karena..." Jenar mengambil alih mouse dari tangan Bhiru dan mencarikan referensi lain gaun pengantin model empire waist untuk Bhiru.
"Karena apa?" Bhiru menunggu dengan penasaran. Begitu pula dengan Kumala.
"Karena bikin tubuh mungil kamu jadi terlihat lebih tinggi, sayang." Jenar mengarahkan cursor mouse-nya menunjuk ke salah satu point tepat di bawah dada model wanita bergaun empire waist. "Garis potong tepat di bawah dada seperti ini bisa bikin tubuh kamu yang pendek jadi keliatan lebih panjang, Bhi. Intinya model gaun seperti ini bisa membantu menciptakan ilusi agar tubuh kamu tampak lebih tinggi dan tampak proposional. Begitu menurut pakar fashion yang pernah aku dengar."
"Wow," gumam Bhiru kagum dengan analisa Jenar.
"Kamu boleh-boleh saja mau mengenakan model mermaid, A-line dress, rok mekar seperti kurungan ayam dan sebagainya. Tapi kamu harus menyadari bentuk tubuh kamu seperti apa? Karena tidak semua model gaun cocok buat kamu kenakan. Salah pilih gaun, penampilan kamu sebagai ratu sehari malah jadi keliatan konyol di acara pernikahan," ujar Jenar panjang lebar.
Bhiru mengangguk-angguk mengerti.
"Kalo aku cocoknya pakai model gaun yang seperti apa, Nar?" Kumala ikut bertanya.
"Kamu mau menikah juga?" tanya Jenar dengan nada menyelidik.
"Ya iyalah mau!" timpal Kumala sempat gugup dengan pertanyaan Jenar. "Walau pun pacarku belum juga melamar..." nada bicara Kumala terdengar sedih karena sudah tiga tahun Kumala menjalin hubungan jarak jauh dengan kekasihnya yang berada jauh di Belanda. Itu yang Bhiru tahu.
Sorot mata tajam Jenar lalu memindai tubuh Kumala dari atas hingga ke bawah. Tatapan yang sebenarnya membuat Kumala merasa tidak nyaman. Namun ia butuh pendapat dan penilaian jujur dari Jenar yang tampak sangat memahami soal fashion ketimbang ia dan Bhiru.
"Kalau kamu lebih tinggi dari tubuh Bhiru meski sedikit lebih berisi, Kum. Jadi kamu bisa pakai model apa saja sih. Bentuk tubuh kamu aman untuk model gaun apa saja," ujar Jenar akhirnya membuat Kumala dapat menghela nafas lega.
"Sudah aku putuskan!" ujar Bhiru tiba-tiba.
Jenar dan Kumala spontan melihat ke arah Bhiru yang tampak senang dengan bola mata kecilnya yang berbinar-binar.
"Aku akan ikuti saran Jenar saja. Di resepsi pernikahan nanti, aku akan memakai gaun dengan model empire waist seperti ini." Bhiru memastikan pilihannya dengan bola mata berbinar-binar.
"Kamu mau jahit atau sewa, Bhi?" tanya Kumala penasaran. "Mumpung masih panjang waktunya."
"Jahit saja gimana ya?" ujar Bhiru sambil otaknya menerka-nerka berapa meter kain yang harus ia butuhkan? Berapa biaya beli kainnya? Di mana tempat jahit yang bagus? Hingga berapa ongkos bikinnya?
"Mahal. Nggak aku rekomendasikan buat kalian berdua yang cuma rakyat jelata," saran Jenar dengan nada pedas. Jika bukan Jenar yang mengucapkannya, Bhiru pasti bakal sakit hati hingga ribuan purnama.
"Karena aku yakin anggaran yang sudah kamu siapkan berdua dengan calon suami nggak bakalan cocok. Nggak aman pokoknya. Sewa saja lebih murah. Lagi pula cuma dipakai beberapa jam saja. Buang-buang uang saja." tambah Jenar berasumsi. "Tapi karena kamu yang mau menikah, terserah saja sih."
Bhiru mengangguk-angguk lagi. Jenar mirip seperti Langit yang kerap memintanya realistis dalam menggunakan anggaran pernikahan mereka yang telah mereka persiapkan berdua. Bhiru ingin menikah dengan cara dan gaun impiannya, tapi ia tidak ingin menyusahkan Langit apalagi keluarganya. Jika pun harus bersusah payah mewujudkannya, Bhiru bersedia menyusahkan dirinya sendiri. Meski pun ia harus banting tulang lebih keras.
Kemarin soal venue impian yang mahal, sekarang gaun impian yang bakalan mahal jika Bhiru nekat memilih membuatnya. Tabungan pribadinya bakal kandas hingga ke dasar.
"Tentukan dengan akal sehatkamu, Bhi. Karena menentukan apa yang mau kamu pakai di hari pernikahan kamu sama pentingnya seperti memilih pasangan hidup. Salah pilih, kamu menyesal seumur hidup," ujar Jenar lagi kali ini dengan ekspresi lebih serius. Bahkan tidak ada garis senyum sedikit pun di wajahnya.
Tanpa berkedip, Bhiru tertegun menatap Jenar.
"Sudah deh, Nar. Jangan bikin Bhiru takut menikah." Kumala membelai rambut panjang Bhiru untuk menenangkannya seolah mengetahui perasaan Bhiru yang mendadak gelisah dengan ucapan Jenar.
"Aku nggak bermaksud menakut-nakuti. Aku cuma ingin Bhiru, kamu atau pun para perempuan lain yang mendengarnya, jangan sampai ceroboh dalam menentukan pilihan hidup." Jenar menyudahi asumsinya dan kembali menuju kubikelnya yang berseberangan dengan kubikel Bhiru dan Kumala.
"Sudah jangan terlalu dimasukan ke hati kata-kata Jenar yang tadi." Kumala tersenyum menghibur Bhiru. "Aku dengar Jenar sedang frustasi karena sering gagal menjalin hubungan."
"Begitu?'
"Jadi maklum saja kalau omongan dia seperti itu. Bisanya cuma menjatuhkan mental saja."
Bhiru menatap ke seberang, ke kubikel Jenar. Di mana gadis cantik namun jutek itu tampak serius melanjutkan pekerjaannya.
Pendapat Jenar sebenarnya ada benarnya juga. Meski asumsinya itu kini menciptakan bulir-bulir kegelisahan baru di dalam rongga dadanya. Meski ia sudah mantap, yakin dan super percaya dengan pilihan hidupnya.
Menikahi Langit adalah harga mati untuknya. Meski sebenarnya ada satu kekhawatiran besar yang tersimpan di dalam lubuk hati Bhiru yang terdalam.