Chereads / LOVE WITH [ OUT ] LOGIC / Chapter 4 - Bertemu Pak Ranu

Chapter 4 - Bertemu Pak Ranu

"Lang, kita pergi sekarang saja yuk," pinta Bhiru tiba-tiba sambil menarik tangan Langit. Melihat atasannya itu kebetulan berada di tempat yang sama membuat Bhiru ingin cepat-cepat kabur sebelum lelaki itu melihatnya bersama Langit.

"Kenapa? Bukannya kita mau tanya-tanya juga sama pengelolanya?" Langit malah balik menarik Bhiru mendekati pengelola gedung yang tampak sedang berbincang-bincang dengan pak Ranu dan seorang wanita yang tampaknya kekasihnya.

"Aduuuh, Laaang. Jangan kesana! Itu bos aku. Kita pulang saja atau lihat-lihat gedung yang lain juga!"

"Bos kamu? Kenapa nggak kita temui sekalian?" Langit makin kuat menarik Bhiru bersamanya.

"Emoooh...ayo kita pergi saja!" Bhiru berusaha menahan langkah Langit yang gagal ia hentikan.

Tapi tingkahnya itu malah membuat mata tajam pak Ranu menangkap sosok Bhiru yang mendekat bersama seorang lelaki yang menggandeng tangannya erat.

"Kamu?"

"Hallo, pak. Kebetulan sekali ya kita ketemu di sini..." Bhiru terpaksa membuka basa-basi dengan cengiran khasnya hingga kedua mata monolidnya tenggelam. Sementara kedua lesung pipit di dekat masing-masing sudut bibirnya tampak jelas terlihat dan selalu tampak membuat wajahnya lebih manis.

"Sedang apa kamu di sini?" pak Ranu bertanya menyelidik. Sikapnya tak ubahnya seperti saat di kantor. Dingin, judes, angkuh dan membuat Bhiru tidak nyaman.

"Saya sedang melihat-lihat gedung dong pak sama calon suami saya," Bhiru menjawab sambil dengan sengaja bergelayut manja di lengan Langit. Entah mengapa Bhiru ingin sekali memamerkan Langit di depan pak Ranu. Tunangannya yang selalu menjadi tempat berkeluh kesah dari setiap kekesalannya di kantor. Langit yang selalu menjadi penghiburnya setiap kali ia sedih ketika pak Ranu melempar jerih payah pekerjaannya. Langit yang selalu mencintai dan menyayanginya sepenuh hati. Langit yang akan selalu melindunginya selamanya.

Dengan antusias Langit mengulurkan tangannya sambil menyebut namanya sendiri, untuk menjabat tangan pak Ranu.

"Saya Langit, kekasih Bhiru," Langit memperkenalkan dirinya dengan penuh percaya diri.

"Saya Ranu Tama, atasan Bhiru di kantor," pak Ranu balas memperkenalkan dirinya dengan nada kasual. Nada yang lebih ramah lingkungan terdengar di telinga Bhiru, tidak seperti nada ketus yang biasanya Bhiru dapatkan di kantor.

"Waaaah, jangan-jangan bapak mau menikah juga ya?" tukas Bhiru dengan nada penasaran sambil melirik wanita cantik tinggi langsing bak supermodel yang tampak sedang berkonsultasi dengan pengelola gedung.

"Iya," jawab Ranu singkat.

"Dia calon bapak?" Bhiru terus terang penasaran dengan siapa wanita cantik itu. Wanita yang bakal tertimpa sial karena akan menjadi istri pak Ranu. Bhiru sampai bisa membayangkan apa yang akan terjadi dalam kehidupan rumah tangga pak Ranu. Wanita itu bakal menangis sampai tinggal tulang dan kulit karena menghadapi kekejaman pak Ranu setiap hari. Bhiru yakin itu.

"Iya."

"Cantik banget ya pak kaya model."

"Dia memang model," ujar Ranu sambil menarik tangan kekasihnya. "Kania, kenalin dia anak buahku di kantor."

Wanita yang tampak tinggi semampai itu menoleh ke arah Bhiru dan mendekat sambil mengulurkan tangannya pada Bhiru dan Langit, wanita itu menyebut namanya dengan suara yang manis namun ada keangkuhan saat menyebutkan nama lengkapnya, "Kania Dewi Soetanto."

Melihat lebih jelas calon istri pak Ranu membuat Bhiru terperangah. Tinggi wanita itu benar-benar membuat Bhiru minder dan merasa dirinya bagai kuman jika disandingkan dengan wanita bernama Kania Dewi Soetanto itu. Sang calon istri bosnya.

"Bhiru Alodya Teng staf pak Ranu di kantor dan ini Langit Dirgantara calon suami saya." Bhiru sengaja menyebutkan namanya dan nama Langit dengan nada bangga.

"Kalian sedang melihat-lihat gedung juga?" tanya Kania tanpa basa-basi.

"Iya, kak. Untuk resepsi pernikahan kami," Bhiru menjawab dengan cepat. "Kalau kak Kania sama pak Ranu kapan nih nikahnya? Saya jadi penasaran..."

"Enam bulan lagi, kami menikah. Iya kan sayang?" Kania menarik tangan Pak Ranu yang sedari tadi tampak memilih mengamati layar gawainya ketimbang mengobrol dengan Langit apalagi memperhatikan calon istrinya yang sedang mengobrol dengan Bhiru.

"Ya?" pak Ranu tampaknya tidak mendengarkan obrolan calon istrinya dengan Bhiru. Bawahan di kantor yang sudah ia cap bandel.

"Bhiru tanya kapan kita nikah? Aku jawab enam bulan lagi di gedung ini."

"Iya," Pak Ranu lagi-lagi hanya meng-iya-kan. "Kalau kalian kapan?" Ranu balik bertanya pada Bhiru yang sontak gugup. Rasanya ia selalu kalah jika berhadapan dengan atasannya itu. Ternyata pak Ranu akan menikah lebih cepat dari rencana Bhiru dan Langit.

"Kalau tidak ada halangan, satu tahun lagi, pak," Bhiru menjawab dengan canggung. Sementara Langit hanya tersenyum.

"Wah masih lama dong. Kirain lebih cepat dari saya," komentar pak Ranu bagai menusuk masuk ke telinga Bhiru.

"Lebih baik direncanakan sedini mungkin pak. Iya kan sayang?" Bhiru melirik Langit menunggu lelaki itu ikut berkomentar. Namun nyatanya Langit malah hanya tersenyum meng-iya-kan.

"Bagus kalau begitu. Kalian jadi punya lebih banyak waktu untuk menabung uang sewa gedungnya," ujar Kania ikut berpendapat meski dengan nada halus namun terselip nada sinis di dalamnya. "Jika dibandingkan dengan gedung-gedung lain, mahal banget loh tarif perjam sewa gedung ini..."

Bhiru meringis mendengarnya. Dia belum menanyakannya pada pengelola gedung, namun ucapan Kania malah membuat Bhiru merasa kecil dan nyali Langit menjadi ciut.

"Nggak masalah kok. Kami berdua sudah menganggarkannya." Bhiru membalas tak mau kalah.

Berapa sih harga sewa gedung ini? Semahal apa coba sampai pasangan sombong itu meragukan kemampuanku! Bhiru diam-diam merasa kesal namun tetap tersenyum dengan senyum palsunya.

"Memangnya tarif sewa perjamnya berapa pak?" Bhiru bertanya pada pengelola gedung yang sejak tadi menyimak obrolan mereka berempat.

"Tiga puluh lima juta selama enam jam," jawab pengelola gedung itu membuat Bhiru shock dan Langit jadi gelisah.

"Pokoknya aku mau tetap pakai gedung itu," ujar Bhiru di perjalanan mereka berdua pulang dengan mobil Langit.

"Mahal Bhi, kalau kamu sayang aku tolong lah realistis. Jangan bikin anggaran kita membengkak terlalu besar," Langit menimpali dengan gelisah. "Kita cari gedung lain saja, ya sayang? Yang harga sewanya masih di bawah kisaran sepuluh jutaan."

"Ogah!" Bhiru menyahut dengan cemberut dan melipat kedua tangannya di dada. "Aku maunya kita sewa gedung itu. Tempatnya sudah paling pas karena sesuai dengan konsep acara pernikahan kita."

Mendengar Bhiru yang bersikukuh mempertahankan keinginannya, Langit hanya bisa menghela nafas panjang dan terpaksa menyetujui keinginan Bhiru meski pun dengan satu syarat.

"Oke, kita bisa pakai gedung itu," kata Langit tiba-tiba membuat Bhiru tersenyum lebar sebelum akhirnya berkata lagi, "Tapi hidangan makanan buat tamu undangan pakai nasi padang saja ya?"

"Apa?!"

"Dan dibungkus pake kertas bekas soal ujian," tambah Langit sambil menyeringai jahil dan sukses membuat senyum Bhiru rontok seketika setelah mendengarnya.